Empat puluh enam

284 27 11
                                    

Oliv bangkit dari kasur saat mendengar ketukan berulang kali di pintu kamarnya. Saat ia membuka pintu, Adel berdiri di depannya dengan senyum cerah, berpakaian rapi dengan atasan pastel lengan panjang dan rok pendek berwarna hitam. Rambut panjang dengan ombre merah yang kemarin lurus itu, sekarang sudah ia curly.

"Ke mall yuk."

"Males," kata Oliv menggeleng pelan.

Namun, Adel malah menarik lengan Oliv dan berkata, "Ayolah, temenin gue ke mall." Lagi-lagi Oliv menggeleng. "Ayolah, Liv."

"Gausah maksa!" Dengan kasarnya Oliv menyentak tangan Adel. "Pergi aja sendiri."

"Mana bisa, gue kan pengen tau selera lo kayak gimana. Bentar lagi lo ultah, gue pengen ngasih sesuatu."

Beberapa detik Oliv terdiam menatap gadis itu. "Lo ... ngapain sok asyik? Jelas-jelas gue gak ramah ke lo."

"Karena kata mama, lo itu orangnya baik, ramah. Mungkin ... sekarang belum terbiasa kali ya, makanya jutek. Sedikit banyak, gue paham sama keadaan lo."

Lagi, Oliv dibuat terdiam beberapa detik. "Oh."

"Jadii, ke mall?"

"Nggak. Males." Sebelum mendengar protesan Adel, Oliv buru-buru menutup pintu kamar.

**

Malam menyapa, kini Oliv sudah berdiri di depan pintu rumah sang ayah. Tadi Dena mengantar, tetapi wanita itu langsung pergi karena ada urusan. Terlebih, saat ini sudah pukul sepuluh malam.

Dengan santai Oliv membuka pintu, yang untung saja tak terkunci. Walau, jantungnya saat ini berdetak lebih kencang dari biasanya.

Saat melewati ruang tamu, ingin menaiki tangga ke kamarnya, terdengar suara sang ayah dari arah dapur.

"Masih inget rumah, kamu?"

Oliv berbalik, disuguhi wajah dingin sang ayah. Lelaki paruh baya itu bersedekap dada, sembari menatap Oliv dengan tajam.

"Pergi gak bilang, pulang juga gak bilang .... Dihubungi gak bisa."

"Mama jemput Oliv."

"Terus? Kalau mama yang gak pernah nemuin kamu selama bertahun-tahun itu ngejemput, kamu langsung pergi gitu aja tanpa pamit ke Papa?" tanyanya sembari mendekati Oliv.

"Paling juga istri Papa itu udah ngasih tau," jawab Oliv berusaha santai.

"Memangnya bisa membenarkan tindakan kamu yang pergi tanpa bilang? Mau jadi anak gak tau tata krama, kamu?"

Percikan amarah mulai menghampiri diri Oliv. Ditatapnya sang papa dengan tak suka. "Emang Papa masih peduli sama Oliv? Bukannya udah enggak, ya? Lebih peduli sama keluarga baru Papa," katanya menekan kata 'baru'.

Kenzo yang berniat ke dapur, menghentikan langkah di undakan tangga saat melihat kakak dan papanya saling tatap penuh permusuhan.

Zidan menghela napas panjang dengan mata yang senantiasa menatap sang anak. "Mau sampai kapan? Papa capek sama tingkah kamu."

"Oliv juga capek sama tingkah Papa."

"Kamu ...." Zidan memejamkan mata sejenak. Tangannya ia turunkan, berada di kedua sisi tubuhnya. "Setelah ketemu sama mama kamu, sekarang makin ngelunjak, ya?" tanyanya sembari mendekat ke Oliv dengan tatapan tajam.

Kenzo yang melihat itu pun sedikit melangkahkan kaki ke depan, namun sedetik kemudian berhenti, sadar bahwa ia tak berhak ikut campur.

"Cukup ya Pa, gak usah ngejelekin mama."

"Kenapa? Kamu lebih sayang sama mama yang ninggalin kamu itu daripada Papa yang ngerawat kamu?"

"Papa gak berhak nanya gitu. Papa sama mama itu sama, sama-sama mengecewakan Oliv! Sama-sama kepincut sama orang lain tanpa inget ada Oliv di sini!"

Plak!

Suara itu terdengar nyaring di telinga Oliv, Kenzo, bahkan Zidan. Kenzo tak tega melihat sang kakak yang sekarang menahan sakit di pipi karena tamparan sang papa. Namun, ia batal mendekat saat mendengar perkataan Oliv.

"Semengecewakannya mama di mata Oliv, mama gak pernah kasar ke Oliv," katanya dengan mengusap pipi kiri dengan tangan kirinya.

Zidan yang semula menatap nanar telapak tangannya itu, langsung mendongak saat mendengar perkataan anak gadisnya. Namun, seakan harga dirinya tak mau kalah, ia malah berujar, "Ya udah, pindah ke rumah mama kamu sana. Lebih nyaman di sana, 'kan? Gak akan ribut sama papa. Gak akan ngeliat wajah mama Nilam yang kamu benci itu. Suasana di rumah ini juga akan tenang, gak ribut setiap hari."

Sedetik kemudian, Zidan menyesali perkataannya saat melihat tatapan terluka anak gadisnya. Anak gadis yang selalu ingin ia jaga, yang selalu ia manja sewaktu kecil, yang selalu ia perlakukan layaknya barang pecah belah saking ia takut anak gadisnya terluka. Namun, tanpa sadar malah ia yang menorehkan luka itu. Hal yang dulu sangat ingin ia hindari.

"Oh, gitu, oke," kata Oliv sembari menghapus setitik air mata yang jatuh di pipi kanannya.

Saat Oliv berbalik dan berlari menaiki tangga, Zidan hanya bisa terdiam. Sedikit terkejut saat menyadari ada Kenzo yang menatapnya di tengah tangga.

Kenzo memutus tatapan itu, berbalik, berniat mengejar Oliv saat suara Zidan terdengar, "Jangan dikejar."

"Tapi, Pa, Kak Oliv—"

"Biarin. Dia mau nenangin diri."

Kenzo pun menghela napas gusar, mengangguk dan menuruni tangga, melanjutkan langkah ke dapur.

**

Di kamar yang sunyi ini, menjadi saksi bisu seorang Olivia Zhafira menangis tersedu-sedu setelah sekian lama menahan perasaannya. Baja yang selama ini ia dirikan, kini hancur sudah karena sebuah pukulan.

Ia kesal. Ia sedih. Ia kecewa. Semua perasaan negatif bercampur aduk di dalam benaknya. Membuat tangisnya tak kunjung berhenti. Ponselnya yang berdering pun ia abaikan begitu saja. Lagipula, orang kurang kerjaan mana yang menelfon di jam segini?

Tak sanggup jika esok masih harus menatap wajah sang papa, ia pun bangkit, mengambil tas ransel dan memasukkan baju-baju dan perlengkapan lainnya secara asal. Kemudian, ia mencangklung tas itu dan melangkah keluar. Rumah sepi, tak ada suara ataupun seseorang, hanya ada ampas pertengkaran dirinya dengan sang papa.

Beberapa saat kemudian, Oliv sudah berada di jalanan yang sepi. Tak ada orang ataupun kendaraan yang lewat. Hanya ada Oliv dengan sejuta pemikiran di kepalanya. Ditengoknya kanan-kiri, sembari menimang-nimang haruskah pergi ke rumah Vania atau Dena.

Saat sedang berpikir, lagi-lagi ponselnya berdering. Dilihatnya layar ponsel, ternyata dari Alvin. Oliv berdecak sebal.

"Gue pusing, gausah bikin gue tambah pusing," batinnya menatap ponsel yang masih berdering. "Tapi, beberapa hari ini dia baik."

Ibu jarinya bergerak, ingin menggeser icon hijau saat sinar membutakan mata datang dari arah kirinya yang merupakan tikungan.

Oliv terkejut, hingga tak bisa menghindar, begitu pula sang supir mobil yang kini berusaha merubah haluan. Namun, terlambat, bodi depan mobil sudah mencium Oliv dengan ramahnya. Membuat sang gadis terlempar tak sadarkan diri.

***

Waduuh, mending dicium Papa, Liv, daripada dicium mobil. Iya gak sih gaes?

Sabtu, 21 Agustus 2021

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 21, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Just MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang