Dua puluh tiga

594 63 11
                                    

Oliv baru saja menginjakkan kaki di dalam kantin saat teleponnya berbunyi menunjukkan notif dari Alvin.

Alvin

|Beliin gue jajan. Gue tunggu di kelas

Gak mau|

|Harus mau. Lo kan babu gue

Gue laper|
Mau makan dulu|

|Gue juga laper
|Pokoknya lima menit lagi lo harus udah ada di hadapan gue sambil bawain gue roti sama minuman
|Inget, lo masih babu gue, dan ini konsekuensi dari kesalahan lo sendiri

Oliv mengerang dalam hati namun melakukan perintah Alvin juga. Tak lupa ia membeli roti untuk dirinya sendiri, siapa tahu ia tak sempat kembali ke kantin lagi.

Beberapa menit kemudian, ia berada di dalam kelas Alvin yang sepi, hanya ada cowok itu di kelas. Oliv berdiri di samping bangku Alvin dan memberikan pesanan Alvin.

"Duduk. Temenin gue makan." Malas berdebat, Oliv pun duduk di bangku depan Alvin. Dia sedang membuka bungkus rotinya saat Alvin merebut roti yang ada di tangannya. "Siapa yang nyuruh lo makan?"

"Gue kan laper."

"Gue gak bolehin lo makan. Lo cuma boleh lihatin gue makan dan ngobrol sama gue."

"Gue laper, Alvin."

"Terserah. Itu hukuman karena lo suka ngadu."

"Dih, lo nyebelin tau gak," gerutu Oliv yang dibalas senyum miring oleh Alvin.

"Hari ini jadi belajar?"

"Iya lah."

"Gak bisa diundur? Mulai minggu depan gitu," tawar Alvin seraya menggigit roti di tangannya.

"Gak bisa. Gue udah mutusin, semakin cepat kita belajar, semakin cepat nilai lo membaik, dan semakin cepat juga gue lepas dari tanggungjawab jadi guru privat lo."

"Segitunya banget lo gak mau berurusan sama gue."

"Bukan gitu. Masa di sekolah lihat muka lo, di rumah juga lihat muka lo. Bosen gue."

"Idih, harusnya lo bersyukur karena bisa lihat muka ganteng gue setiap hari." Oliv membuat gestur orang muntah. "Dih, apaan kayak gitu?"

"Lo Alvin kan?" Dengan polosnya Alvin mengangguk. "Gak nyangka, cowok nyebelin yang gue kenal bisa narsis kayak gini."

Bukannya tersinggung, Alvin malah tertawa. "Gak tahu. Tadi emang gak kayak gue sih, mungkin gue ketularan virusnya Farel."

"Eh, dua temen lo itu kemana?"

"Kantin. Mau makan katanya."

"Lah, terus kenapa lo gak ikut mereka aja?"

"Sengaja. Gue emang mau nyuruh-nyuruh lo aja sih. Soalnya lo udah bikin gue kesel."

"Tega banget jadi cowok," gumam Oliv pelan, namun masih bisa didengar oleh Alvin. "Balikin roti gue dong, gue bener-bener laper nih."

"Gak ada. Gue balikin kalau udah bel masuk."

"Percuma. Gue gak bisa makannya dong."

"Emang itu tujuan gue," kata Alvin tersenyum miring. Oliv menghela nafas lelah menghadapi cowok satu ini, ia memilih diam saja daripada meneruskan obrolan gak jelas mereka. Bel masuk bunyi saat Oliv tengah sibuk menahan perutnya yang perih. "Udah bel. Gak mau ke kelas?" tanya Alvin karena Oliv masih setia duduk di depannya.

"Eh, iya." Oliv berdiri dan langsung keluar kelas, melupakan roti miliknya yang dijulurkan Alvin kepadanya.

Saat ia sampai di depan tangga samping kelas Alvin, pandangannya mulai buram. Ia menghentikan langkah dan mengerjab-ngerjabkan matanya, berharap pandangannya kembali jelas. Namun usahanya itu tak berhasil. Pandangnnya semakin kabur dan ia tak mampu menyangga tubuhnya lagi. Ia bersiap menghadapi kerasnya lantai saat sebuah tangan kokoh melingkar di pinggangnya, menahan tubuhnya dari dinginnya ubin.

Just MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang