9. Taecyeon - Makan Siang

79 14 7
                                    

Hari ini aku mangkir latihan karena ada jadwal memberi kuliah umum. Entahlah apa yang dipikirkan pihak K-Arts saat mengundangku sebagai dosen tamu. Tapi bagaimanapun, aku senang. K-Arts adalah kampus tempat Lana berkuliah. Kalau aku cukup beruntung, mungkin hari ini aku akan bertemu dengannya.

Karena nampaknya nasibku sedang baik, keberuntungan berada di pihakku. Kami bertemu di aula pertemuan. Ia terlihat tak memperhatikan, maka ia kutegur. Setidaknya agar ia tahu bahwa aku memperhatikannya sejak awal.

Sayangnya aku tak memikirkan akibat dari perbuatanku. Sepertinya, Lana habis dijadikan bahan kasak-kusuk mahasiswa lain. Kuharap hal itu tak berlangsung lama. Aku juga berharap ia tak lantas membenciku.

Dan demi menebus dosaku padanya hari ini, sengaja kuamati ia dan temannya dari bangku paling belakang setelah acara selesai. Sesuai dugaanku, mereka masih tinggal sampai semua orang berlalu.

Saat kurasa sudah cukup sepi, aku bergegas menghampiri mereka dan mengajak mereka makan siang. Untungnya Lana tak menolak, meski sempat ragu. Tapi ia menolak pergi bersamaku. Tak apa, kupikir ia pasti menjauhi gosip. Hehe, meski harusnya aku yang menjauhi gosip, bukan dia.

Jadi di sinilah aku, di sebuah ruangan VIP salah satu restoran favoritku, menunggu kedatangan Lana dan temannya.

Aku baru selesai mengabari Woyoung bahwa aku akan makan siang dulu baru menyusul untuk latihan, saat Lana datang.

"Yak, kenapa kalian lama sekali?" Aku memanyunkan bibirku, berpura-pura kesal menunggunya cukup lama. Entahlah, aku senang menggodanya.

Lana menggerutu, entah dengan bahasa apa. Kulihat temannya memukul tangannya dan mereka terlihat seperti bertengkar dalam bahasa asing.

"Joesonghamnida, Taecyeon-ssi. Lana belum terlalu mahir berbahasa Korea." Teman Lana yang tak kuingat namanya membungkukkan tubuhnya, meminta maaf atas nama Lana. Sementara yang diwakilkan malah sibuk meniup-niup poninya.

Aku tersenyum lebar melihat kelakuan Lana. Kugelengkan kepalaku dan kupersilakan mereka duduk.

"Aniya, gwaenchana. Jangan terlalu formal. Kau bisa memanggilku Sunbae. Meski aku bukan lulusan K-Arts, tapi anggaplah begitu."

Aku tau, setidaknya mereka pasti lebih muda beberapa tahun dariku. Ya, meski mereka mengambil kuliah s2, bukan berarti mereka pasti sudah tua, kan.

Makanan yang kupesan tak lama kemudian datang. Aku langsung membuka mangkuk nasiku, karena aku tau mereka juga pasti lapar.

"Makanlah, jangan malu-malu. Semua yang kupesan hari ini harus dihabiskan." Aku tersenyum menatap Lana yang terlihat berusaha mengabaikanku.

"Lana-ya, kau tak makan?" Kusuapkan sesendok besar nasi ke mulutku, disusul dengan daging.

"Makan." Ia mengikuti jejakku, menyuapkan sesendok besar nasi dan daging. "Kalau kau mengajakku makan untuk melihat apakah aku seperti perempuan kebanyakan yang makan dengan anggun, kau harus menelan kekecewaanmu."

Pernyataannya membuatku ingin tertawa, yang malah berakhir jadi tragedi. Memalukan, aku tersedak segumpal nasi yang belum sempat kukunyah.

Dengan rasa tercekik, aku berusaha menelan sisa makanan di mulutku, lalu terbatuk-batuk. Mataku sampai berair saking menyakitkannya. Aku sampai berpikir, mungkin aku perlu dilarikan ke rumah sakit.

"Yak, makanlah dengan hati-hati." Entah sejak kapan ia berpindah, tapi kini Lana sedang menggerutu di sampingku sambil menepuk-nepuk punggungku pelan. "Kau harus mengunyah dengan baik sebelum menelannya. Ini, minum dulu." Ia menyodorkan gelas besar berisi air padaku, yang entah dari mana datangnya.

Kutenggak setengah isi dari gelas yang ia sodorkan, dan menyelesaikan batukku dengan deheman elegan. Sial, mengapa aku merasa sangat malu sekarang?

"Kau sudah baikan?" Tangannya kini tak lagi menepuk punggungku, tapi beralih mengusapnya. Rasanya aku ingin bilang aku tak baik-baik saja agar ia terus mengusap punggungku.

Kuanggukkan kepalaku. "Ne, aku baik-baik saja. Terima kasih banyak." Kulontarkan senyuman setulus yang kubisa padanya.

Ia kembali duduk di tempatnya dan melanjutkan makan. Kami makan dalam diam, dan mengunyah dengan hati-hati. Terlihat dari ritme makan kami yang melambat.

Selesai makan, aku sesungguhnya ingin mengobrol dengan mereka. Namun Wooyoung sudah berkali-kali mengirim pesan, menanyai keberadaanku. Aku memang belum bilang bahwa aku bertemu dan makan dengan Lana. Biarlah nanti kujelaskan di ruang latihan.

"Apa kalian akan langsung kembali ke flat?" Aku berbasa-basi sebelum mengakhiri pertemuan kami.

"Aniya, aku meminta Lana menemaniku pergi sebentar. Ada barang yang perlu kubeli." Temannya menjawab, mewakili Lana yang sibuk dengan ponselnya.

"Aah, arasseo. Sayang sekali aku tak bisa mengantar kalian. Wooyoung sudah memanggilku berkali-kali." Kulihat teman Lana mengangguk sambil tersenyum, sementara Lana masih sibuk dengan ponselnya.

Aku sangat ingin menegurnya sekedar mengucapkan selamat tinggal, dan meminta maaf kalau kelakuanku tadi menyusahkannya. Tapi kalau kulihat dari raut wajahnya, sesuatu sepertinya sedang terjadi. Dan karena aku belum cukup dekat dengannya, jadi aku cukup tau diri untuk tidak bertanya. Mungkin suatu hari nanti akan ada kesempatan untuk bertanya. Nah, lagi-lagi aku berharap akan ada 'suatu hari'.

"Kamsahaeyo, Sunbae. Aku dan Lana permisi duluan." Ia mengamit lengan Lana yang terlihat seperti orang linglung, dan pergi setelah kuanggukkan kepalaku.

Kuhela napasku kasar setelah mereka hilang dari pandangan. Apa yang terjadi pada Lana? Apa yang dilihatnya di ponselnya? Hey, kenapa bahkan aku mau tahu? Itu sungguh bukan urusanku.

Kulangkahkan kakiku menuju tempat parkir, dan kulesakkan tubuhku ke jok. Aku diam sesaat di dalam mobil, mengulang kembali kejadian hari ini. Aneh, sepertinya tangki bahagiaku sudah terisi hanya dengan bertemu dengannya. Ponselku bergetar sesaat setelah aku menyalakan mesin mobilku. Chansung.

"Ne, Chansung-ah?" Kupasang teleponku di mode loud speaker dan menginjak gas menuju JYP Entertainment.

"Hyeong, eodiya?"

"Di jalan menuju JYPE, waeyo?"

"Ah, kau sedang menyetir. Arasseo, josimhae Hyeong." Chansung langsung memutus sambungan telepon.

Kami memang membiasakan tak mengganggu siapa pun yang sedang menyetir, karena bisa sangat fatal akibatnya bila tak konsentrasi di jalan. Maka saat kami tahu orang yang kami telepon sedang menyetir, kami akan segera memutuskan sambungan telepon. Kuulurkan tanganku meraih tombol pemutar musik, dan menginjak pedal gas lebih dalam agar mobilku melesat lebih cepat.

#
Joesonghamnida : maafkan aku
Aniya : tidak
Gwaenchana :  tidak apa-apa
Sunbae : senior
Ne : ya
Arasseo : baiklah
Kamsahaeyo : terima kasih
Hyeong : kakak laki-laki, digunakan oleh laki-laki
Eodiya : di mana
Josimhae : hati-hati

***

Lovely BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang