"Pagi ini Pak Ahmad gak masuk, kita semua disuruh latihan main basket untuk pengambilan nilai minggu depan."
"Yeayy..." Semuanya bersorak senang.
Seisi kelas langsung berhamburan keluar untuk mengganti pakaian.
"Nay, kami mau ganti baju."
"Bentar." Naya menutup buku pelajarannya dan mengambil baju olahraganya dari dalam tas lalu keluar dari kelas.
Anan ikut keluar dari kelas dengan masih berpakaian baju putih dan bawahannya celana olahraga. Ia menyeimbangi langkahnya bersamaan dengan langkah Naya.
Naya berbelok, Anan pun ikutan belok. Naya sudah dari tadi risih, namun ia coba tahan. Ia mencoba berpikir baik bahwa Anan juga ingin ke toilet. Berhubung toilet cewek dan cowok berseberangan dari lorong masuk.
Naya berhenti, Anan pun ikut berhenti. Namun saat Naya menatap dirinya, Anan pura-pura menunduk dan mengikat tali sepatunya yang padahal tidak lepas sama sekali.
Naya langsung meninggalkan Anan yang masih berjongkok memasang tali sepatu. Sedangkan Anan sendiri, ia kembali ke kelas saat teringat baju olahraganya tertinggal di sana.
"Satu... Dua... Tiga... Empat... Lima... Enam... Tujuh... Delapan."
Semua melakukan pemanasan sesuai instruksi sang ketua kelas yang memimpin di depan.
"Baiklah, kalian boleh berkeliaran di area lapangan tapi tidak boleh berkeliaran di kantin juga kelas."
"Iyaa, buruan main woi elah. Kelamaan bisa lumutan gua!" Teriak Anan sudah grasak-grusuk di tempat.
Ketua kelas melempar bola basket ke arah Anan. "Nih lo pimpin."
Anan tersenyum sumringah, ia langsung membentuk tim bersama yang lain.
"Jangan lupa beri waktu buat para cewek main!" Teriak Angga.
Anan mengangkat jempolnya ke udara bertanda sip.
Angga sebagai ketua kelas tidak ikutan main. Ia hanya memantau teman-temannya dari tepi lapangan. Lebih tepatnya mengawasi para cewek yang biasanya langsung terjun ke kantin atau malah ke kelas untuk bergosip ria.
"Gua izin ke uks sebentar ya."
Angga menggangguk, "Ya."
Naya langsung pergi dari sana. Ia berjalan sambil memegangi perutnya yang keram.
"Duh..." Naya sudah tidak sanggup lagi berjalan. Ia juga sudah menopang pada dinding tapi keseimbangannya runtuh.
Naya hampir terjatuh di tempat, namun ada tangan seseorang yang memegangi kedua bahunya sehingga menyandar ke dada bidang milik seseorang yang Naya tidak tahu siapa dia.
Naya hendak menoleh ke arah belakang, namun dirinya sudah tidak lagi kuat untuk membuka mata.
Uks
Sepasang mata indah terbuka perlahan.
"Nih minum dulu Nay."
Naya langsung menoleh ke asal suara. Sudah ada Gibran yang duduk di kursi.
Naya menggeleng lirih.
"Tehnya dicampur rempahan jahe, baik untuk menyembuhkan sakit perut. Nih, habisin." Gibran meletakkan segelas teh jahe hangat ke tangan Naya.
Terpaksa Naya meminumnya, tapi hanya sanggup tiga degukan. Setelah itu Naya menyerahkannya kembali ke Gibran.
"Lo sakit apa?"
"Gua cuma sakit perut biasa."
"Lo punya sakit maag?"
Naya menggeleng pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Rasa Setan (End)
Teen Fiction𝐆𝐞𝐧𝐫𝐞 : fiksi remaja | humor °°°°° "Lo ngapain ke sini?" "Mau ketemu papa. Papa udah pulang, bi?" "Papa siapa yang den maksud?" "Papanya Naya lah bi, siapa lagi. Gak mungkin papanya tetangga sebelah." Naya langsung menarik Anan keluar dari ruma...