BRS - Bagian 30

65 27 0
                                    

'Panti Asuhan Muara.'

Naya menatap sekilas spanduk yang ada di depan halaman rumah yang cukup luas tersebut.

"Ayo, gua mau kenalin lo ke ibu panti."

Naya tersenyum sambil mengikuti langkah Gibran menuju dalam panti.

"Permisi, Bunda Sarah ada di rumah?"

Seorang wanita yang lagi menyapu halaman langsung memberhentikan aktivitasnya.

"Ada, masuk saja."

Gibran menatap Naya sejenak, lalu melanjutkan langkahnya memasuki lorong panti.

"Pemandangan disini cukup sejuk juga, ya."

"Assalamualaikum."

"Sebentar." Terdengar teriakan dari arah dalam.

"Ehhh, bang Gibran? Wa'alaikumussalam, kapan datangnya bang?"

"Barusan, bun."

Gibran langsung menyalim tangan Sarah, disusul Naya setelahnya.

"Ini siapa?"

"Assalamu'alaikum, saya Naya tan."

Sarah tertawa kecil, "Wa'alaikumussalam, panggil Bunda saja nak. Ayo, masuk dulu. Kebetulan banget Bunda baru selesai buat kue. Ayo, ayo."

Cukup canggung bagi Naya untuk berada di sini. Apalagi biasanya ia hanya mengobrol santai dengan orang yang sudah benar-benar ia kenali.

"Cia mana, Bun?"

"Itu si Cia, lagi main di taman."

Gibran menatap ke arah luar jendela, ia menyunggingkan senyum sebentar.

"Gak usah kamu pikirin. Cia udah bisa beradaptasi dengan yang lain."

Sarah meletakkan dua piring kue ke atas meja makan.

"Silahkan dimakan, kasih tau bunda gimana rasanya, ya. Bunda takut kurang gula, kebetulan tadi gula tinggal pas-pasan."

"Siap, bun." Gibran hormat ke Sarah, membuat Naya tersenyum diam-diam. Baginya itu hal yang jarang ia temuin di diri Gibran.

"Eum, enak."

"Kamu mah selalu bilang masakan bunda enak, bang. Sekali-kali bilang gak enak aja, biar bunda bisa belajar dari kesalahan."

"Bunda selalu melakukan kebaikan dimata Gibran, jadi bisa dibilang Gibran selalu jujur kalau bahas tentang bunda."

Gibran kembali menikmati kue buatan Sarah.

"Kamu bisa aja, bang. Ini tadi namanya siapa? Maaf ya bunda lupa."

"Naya, bun."

"Maa Syaa Allah kamu cantik sekali, nak. Teman sekolah bang Gibran ya?"

"Iya, bun."

"Bagaimana rasa kuenya? Apa yang kurang, nak?"

"Lezat dan enak."

"Selezat apa tuh?"

"Bunda nanya terus, Gibran udah sering bilang kalau masakan bunda tidak ada tandingannya."

Sarah tertawa kecil. "Udah ah, bunda jadi malu kalau kamu puji-puji terus. Dilanjutin ya makannya, bunda mau ke belakang dulu angkat jemuran. Kayaknya akan turun hujan."

"Butuh bantuan, bun?"

"Kamu disini aja temanin nak Naya, kasihan kalau ditinggal sendirian."

"Tapi Gibran mau bantuin bunda."

Bidadari Rasa Setan (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang