Kamar Aldi terlihat berantakan dengan segala bekas bungkus snack dan beberapa ceceran remahannya yang tercecer di lantai. Dengan beberapa kotak susu beberapa rasa yang sudah nampak kosong.
Eza dan Dirga tertidur pada bean bag masing-masing setelah menyelesaikan beberapa babak game. Aldi tengah mandi sekitar beberapa menit yang lalu. Dan tersisa Nata yang tengah duduk di sofa balkon dengan benda pipih di tangannya.
Tidak ada notifikasi pesan masuk ataupun telepon dari siapapun yang ia terima, bunda, ayah, abang, serta kakaknya. Padahal tadi saat melihat sg milik saudaranya itu ia melihat keluarganya tengah berkumpul bersama.
Hidupnya terasa seperti bayang-bayang yang tak kasat mata oleh keluarganya. Ia memiliki keluarga tapi tidak bisa menggapainya. Hidupnya seolah hanya sekedar status semata. Inginnya menangis sekarang, sesak sekali rasanya.
Lamunannya buyar saat Aldi ikut duduk di sampingnya dengan kedua tangan yang sibuk mengeringkan rambutnya dengan handuk. Nata segera menghapus bulir yang sempat menetes di pipi tanpa diminta.
"Udah ngabarin orang rumah mau nginep?" Tanya Aldi membuka obrolan
"Udah" jawabnya singkat, tadi ia memang sempat mengirim pesan pada bunda dan ayahnya akan menginap disini. Meskipun tidak ada balasan dari keduanya.
"Kenapa?" Tanya Aldi setelah meneliti wajah sang adik, terlihat seperti baru menangis dengan mata yang sedikit memerah.
"Apa?" Nata balik bertanya tak mengerti.
"Kenapa nangis?" Lebih terdengar seperti tuntutan daripada pertanyaan.
Nata diam, percuma menyembunyikannya dari sepupunya ini. Seseorang yang paling mengertinya. Tanpa berkata, Nata hanya memberikan handphone nya pada Aldi. Yang sekarang menampilkan sebuah potret keluarga yang terlihat bahagia. Potret yang tadi ia screenshot dari sg yang diupload Byan.
"Aku bahagia bisa terlahir di keluarga ini, aku bahagia punya bunda, ayah, abang, kak Byan" ujar Nata menggantungkan ucapannya.
Aldi diam, ia mengerti. Mengenal Nata dari kecil membuatnya mengerti. Membiarkan Nata menyalurkan apa yang dirasakannya. Bukan hanya memendamnya.
"Salah ya Nata ada di tengah-tengah mereka"
Aldi tak tahan ia lantas memeluk adiknya dengan erat. Sungguh Nata jarang seperti ini. Aldi paham rasanya kesepian. Tak memiliki seseorang yang peduli.
"Tenggorokannya sakit ya?" Tanya Aldi pada Nata yang masih membenamkan kepalanya di dadanya. Nata mengangguk. Tenggorokannya terasa sedikit sakit, matanya juga terasa sedikit panas, ditambah kepalanya yang ikut pusing.
Mendengar suara Nata yang sedikit parau jelas Aldi paham itu bukan efek menangis semata tapi Nata sepertinya akan demam. Tiga segelas boba dengan tambahan es batu ekstra mungkin tersangka utamanya.
Aldi bangkit kemudian menggendong Nata ala koala dengan Nata yang menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Aldi yang terasa hangat dari hembusan nafas Nata. Tidak sulit bagi Aldi untuk menggendong Nata yang bisa dibilang kurus.
Setelah masuk, iya merebahkan Nata dengan perlahan di kasurnya. Kemudian menutup pintu balkon, dilanjutkan membangunkan Eza dan Dirga sekaligus menyuruh keduanya untuk pulang karena hari sudah sore. Setelah mengantar Dirga serta Eza kedepan rumahnya, Aldi bergegas ke dapur meminta Bu ayu membuatkan bubur untuk Nata.
Ia bergegas kembali ke lantai dua dimana kamarnya berada. Tak lupa mengambil plester penurun panas serta minyak kayu putih pada kotak obat.
Nata terlihat tengah terlelap, sesekali ia bergerak gelisah. Aldi menempelkan punggung tangannya pada kening Nata. Dan benar saja anak itu terserang demam. Aldi lantas menempelkan plester penurun panas yang dibawanya pada kening Nata. Kemudian mengganti baju anak itu yang sudah basah oleh keringat. Tak lupa mengoleskan minyak kayu putih pada area tenggorokan Nata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita Beda
Teen Fiction"Hidup bagaimanapun jalannya tetap harus dijalani". -Abiyana Adinata Nugraha- "Penyesalan adalah sesuatu yang pasti akan terjadi". -Abyan Aditya Nugraha-