36

2.1K 170 4
                                    

Ketika realita tak seindah ekspektasi, mematahkan seisi ketangguhan hati.

***

Dua wanita berbeda umur itu duduk berhadapan. Dengan segelas teh yang masih terlihat mengepulkan sedikit asap.

"Aku sudah bilang bukan, jangan terlena" ujar yang lebih tua.

"Tidak, aku tidak seperti itu. Aku juga kan bukan suka dengan targetmu" ketus yang lebih muda tak mau disalahkan

"Dia memang bukan target, tapi sikapmu yang melemah itu. Ingat fokus saja dengan tujuan, kau tak ingat bagaimana kondisi bibimu? Atau perlu aku menceritakan kembali agar dirimu kembali memiliki akal sehat?"

Yang lebih muda menggeram, kedua tangannya mengepal erat. Matanya menatap tajam sang lawan bicara.

Wanita itu menyeringai melihat ekspresi remaja dihadapannya ini. "Tetapi aku juga memaklumi sikapmu sebagai remaja, aku juga pernah remaja sepertimu" tandasnya.

"Dia tidak ada hubungannya dengan ini"

"Jangan lupakan fakta mereka bersaudara, bukankah lebih menarik jika dia menerima kesakitan yang sama? Kehilangan orang yang paling disayang? Sayang sekali dia melupakan perbuatannya dimasa lalu" jelas sekali ada begitu banyak kebencian terpancar dari wanita yang lebih tua.

"Tapi mereka berbeda, jelas tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini"

"Tunggu dulu, kau sedang membela siapa? Bocah egois itu atau cinta butamu itu? Tidak penting sebenarnya mereka sama saja"  

"Bukannya lebih menarik jika kehilangan yang diterimanya jauh lebih banyak?"

"Pilih saja Aldi atau Byan pecundang itu" kata-kata yang membungkam remaja cantik itu.

"Jangan salah aku juga sudah pernah menyakiti hatinya karena lebih memilih kakaknya daripada dirinya" kesal yang lebih muda.

***

"Kapan matamu terbuka? Tidak lihat kakak sungguh mengkhawatirkamu?"

"Apa yang terjadi di mimpimu hingga belum mau kembali?"

"Apa adik kelapa kakak sudah tidak mau berjuang?"

"Sesakit apa, kakak ada untukmu tolong"

"Tolong jangan mau ikut om Ardi, kakak menyayangimu hikss"

"Kumohon kembali"

Diruang yang hanya ada dua insan itu, Aldi menangis. Meluapkan kegelisahan hatinya. Apa yang harus ia lakukan agar Nata bangun. Ada banyak hal yang belum bisa berikan untuk adiknya. Bahkan Nata belum menerima kembali kehangatan keluarganya.

Tanpa disadari ada Dinda yang menegang berdiri di depan pintu. Ia tak sengaja mendengarnya. Dinda mengurungkan niatnya masuk ke dalam ruangan itu. Terlalu sakit mengingat kenangan lama yang coba mereka kubur.

***

"Ah ya Byan, bagaimana keadaan Nata? Apa sudah membaik?" Tanya Nandira yang sekarang duduk bersama Byan di kantin.

Byan tampak lesu, menggeleng perlahan. Dan Nandira tau itu bukan hal yang menyenangkan.

"Aku turut bersedih, terus do'akan untuk kesembuhannya" Nandira memberikan senyuman terbaiknya.

Kita BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang