33

2.8K 213 9
                                    

"Bagaimana kabarnya? Rasanya aku ingin melenyapkannya langsung dari dunia"

"Masih sama, dari informasi yang aku dapat belum ada perkembangan yang berarti. Sepertinya anak sialan itu lebih suka bersama dengan om tersayangnya di alam lain"

"Tapi jika aku lenyapkan dia begitu saja, tidak akan ada pertunjukan yang memuaskan. Enak saja ia bisa begitu mudahnya lenyap dari bumi tanpa tahu penderitaan yang ia sebabkan"

"Tenang saja, hubunganku dengan kakak kembarnya yang bodoh itu mungkin bisa menjadi pertunjukan yang menarik" sahut wanita lain

"Ck, aku melupakan orang bodoh itu, sudah sejauh mana kebodohan yang dilakukannya?"

Seorang wanita itu tersenyum penuh makna.

"Bahkan apapun yang ia rasakan, ia beritahu kepadaku" jawabnya puas.

"Kau memang bisa diandalkan Dira" pujinya

"Anak sialan itu begitu kasihan, memiliki kakak yang bodoh dan juga Abang yang mengabaikannya ckck"

"Ahh ya bagaimana kondisi Tante Mia, apa sudah membaik?"

"Tidak, bahkan ia masih sering menangisi pria yang sudah meninggal itu. Dan kemarin ia kembali mencoba bunuh diri, beruntung ia masih bisa diselamatkan" ucapnya sedih

"Lihat saja aku akan melenyapkannya dari bumi ini. Dan Aldi akan menjadi milikku. Anak sialan tidak berguna itu selalu menghalangiku. Aku tidak tahu mengapa Aldi begitu menyayangi dirinya. Hingga aku yang begitu mencintainya tidak ia lihat sama sekali" ujarnya kesal

"Ia memang anak sialan yang membawa petaka, setelah puas mungkin kita bisa membantunya meninggalkan dunia ini" ucap wanita satunya.

***

Byan tersenyum, memandang ponsel di genggamannya. Tadi Nandira bilang ingin menjenguknya serta Nata. Belakangan ini kedekatannya dengan Nandira sedikit demi sedikit melangkah. Bagi Byan, Nandira merupakan teman wanita pertama dalam hidupnya. Apalagi kabar baik yang beberapa hari lalu ia terima. Ayahnya memperbolehkan ia untuk sekolah umum. Hilang sedikit rasa sedihnya karena Nata yang masih enggan membuka matanya.

Aldi yang sedari tadi memperhatikan Byan mengernyitkan dengan alis menyatu. Apa yang membuat Byan terlihat sangat senang?

"Eh by, nape lu senyum-senyum? kesambet?" Aldi celingak-celinguk melihat sekeliling entah mengapa dia merinding, dan kebetulan hanya ia dan Byan yang ada di ruangan Nata.

"Kak Al jangan gitu, kalo aku beneran kesambet gimana?" jawab Byan yang juga ikut takut, bukan apa tapi dari cerita-cerita tentang rumah sakit pasti selalu memiliki cerita mistisnya sendiri.

"Lagian lo juga, kenapa senyum-senyum gitu. Aneh banget, biasanya kan lo jarang senyum gitu." Sahut Aldi

"Hehehe, aku lagi seneng aja kak" Jawab Byan dengan senyum kotaknya.

"Seneng apa lo, Nata aja belom bangun" ketus Aldi tiba-tiba

"Aku senin boleh sekolah umum, senin besok bareng ya kak?" tanyanya

"Nggak, gue nggak sekolah. Adek gue belum bangun, males gue sekolah" tolak Aldi mentah-mentah.

Byan seketika murung, apakah dirinya bukan adik Aldi? Toh ia dan Nata saudara kembar.

"Hmm ya udah gapapa nanti aku minta anter sama ayah juga gapapa." ujar Byan sedikit kecewa.

"Terserah" Aldi memutar matanya malas. Akhir-akhir ini, perasaannya sangat sensitif. Melihat Nata yang hanya memejamkan mata membuatnya gelisah. Bahkan kemarin ia telah mengingkari janjinya pada Nata. Seketika Aldi menarik lengan baju kirinya, menariknya hingga menenggelamkan jari-jarinya. Air matanya turun melewati pipinya, dan dengan cepat ia menghapusnya.

"Gue pergi dulu ada urusan" Ucap Aldi berlalu dengan cepat, meninggalkan Byan yang memanggil dan menanyakan ia hendak kemana.

Aldi seakan tuli, ia terus berjalan tanpa ada niatan menoleh dan menjawab panggilan Byan. Tujuannya sekarang hanya satu rooftop. Mencari udara segar untuk menghilangkan kegelisahan hatinya. Sesampainya disana, langit mendung dengan awan gelap seakan menyambutnya.

"Aaggrrrhhhhh" Teriaknya marah, kepada siapa harus marah? Om Adi? Tante Dinda? Arkan? Byan? Atau pada siapa?

Aldi memukul dinding di depannya berkali hingga tangannya berdarah. Tidak ada rasa sakit yang ia rasakan.

"Kenapa?" Tanyanya frustasi tidak tahu kepada siapa.

Ia mengusap wajahnya kasar, menghapus air mata yang turun tanpa ia minta. Meluruhkan tubuhnya bersandar pada dinding. Memeluk erat lututnya, wajahnya ia sembunyikan. Kembali menangis berharap semua resahnya bisa hilang tanpa tersisa.

Langit yang seakan tahu kesedihannya ikut menurunkan hujan. Namun Aldi tidak ada niat sedikitpun untuk berteduh melindungi dirinya dari tetesan air.

Aldi mendongak, melihat langit gelap yang terus meneteskan hujan yang kian deras.

"Lo kalo marah sama gue harus bangun, kalo lo mau pukul gue juga nggak peduli"

"Lo liat kan, gue nggak bisa liat lo gini"

"Maaf gue udah ingkar janji sama lo"

"Maaf"

"Maaf"

"Lo harus bangun, lo harus bangun biar lo bisa marahin gue" ujarnya begitu lirih

Aldi kemudian kembali memeluk lutunya, terus mengumamkan kata maaf. Tak peduli dengan pakaiannya yang sudah basah, tak peduli dengan matanya yang akan terlihat sembab karena menangis, tak peduli jika ia akan sakit, tak peduli dengan tangannya yang masih meneteskan darah. Ia hanya ingin adiknya kembali bangun itu saja.

Brakk

"Aldiii" Teriak Arkan marah setelah berhasil menemukan adik sepupunya.

"Lo udah gila hah?" ujarnya mengguncang bahu Aldi, emosinya naik saat melihat keadaan adik sepupunya ini.

Aldi tak menjawab, tangisnya kian pecah saat melihat Arkan.

Arkan menghembuskan nafasnya pelan, kemudian menarik Aldi dalam dekapannya. Ia tahu emosi Aldi saat ini sangat tidak stabil. Mengusap lembut punggung anak itu menenangkan. Arkan terus membisikkan kata penenang, tangannya tanpa henti mengusap punggung Aldi. Air mata Arkan turun tanpa ia sadari.

***

Bersambung...

Kita BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang