41

2.5K 227 14
                                    

Tidak terucap bukan berarti tidak merasa

***

Arkan bersandar pada pembatas rooftop. Dinginnya angin yang berhembus tidak berhasil membuatnya meninggalkan tempat ini.

Ada rasa sesak yang terasa menghimpit dadanya. Tidak tau apa yang salah. Rasanya ada batu besar yang menimpanya.

Pintu rooftop terbuka, siapa lagi kalau bukan Aldi. Aldi berjalan mendekati Arkan, jujur ia masih belum sanggup melihat kondisi Nata.

Keduanya sama-sama memilih bungkam. Pandangan mereka tertuju pada aktivitas kota yang tak pernah berhenti walau sudah tengah malam. Masih banyak kendaraan yang berlalu lalang.

"Hidup atau mati itu tidak bisa dipilih, tapi kalau memilih pun apa ada yang ingin hidupnya menyakitkan?" Aldi bertanya entah pada siapa.

Arkan tidak menjawab, tidak ada kata yang bisa ia suarakan.

"Nata nggak milih dia yang selamat, dia lupa pun mungkin itu bonus dari Tuhan biar dia nggak begitu terluka. Tapi nyatanya, saat ia lupa pun luka itu tetap ada"

"Mungkin kalau aku jadi Nata, aku udah gila atau lebih buruknya udah mati"

"Aku bersyukur dia bisa lupa semuanya, tapi aku kecewa yang dewasa malah nggak bisa. Bahkan kalian lupa, mungkin dia yang paling menderita jika dia ingat semuanya"

"Aku nggak tau kalian benci atau hanya belum bisa mengikhlaskan. Tapi sikap kalian sebagai orang yang lebih dewasa menunjukkan kalau Nata emang salah dan dia pelampiasannya"

"Aku nggak bisa menyalahkan siapapun, tapi apa nggak lebih sakit kalau Nata milih nyerah?"

Setelah mengucapkan itu Aldi pergi dari sana. Rasanya ia juga tidak sanggup untuk melanjutkan kembali katanya. Terlalu sulit.

Arkan membiarkan Aldi pergi. Apa yang barusan dikatakan Aldi membuatnya menjadi kakak yang begitu buruk.

Meski sudah beberapa tahun berlalu, kenangan pahit yang terjadi seolah terus menjadi bayangan yang tak pernah hilang.

Ardi bukan hanya sekedar om yang merupakan adik bungsu sang ayah, sosok Ardi dalam hidupnya lebih dari itu.

Saat kecelakaan terjadi, yang berada bersama Ardi terakhir adalah Nata. Arkan sempat berpikir kenapa bukan dirinya. Bahkan omnya itu pergi tanpa pamit. Tidak ada salam perpisahan sedikitpun.

Rasa sesak itu, masih terasa hingga kini. Kecelakaan tunggal yang terjadi karena rem mobil yang dikendarai Ardi blong.

Jika bisa diulang mungkin Arkan akan memilih ikut pergi bersama Ardi dan Nata yang akan pergi ke taman bermain saat itu.

Bukannya tidak bersyukur Nata yang berhasil selamat, tapi hanya hatinya yang belum siap akan kehilangan yang begitu tiba-tiba.

Arkan juga merasa kepergian Ardi yang tiba-tiba membuat Nata terabaikan. Nata seperti disalahkan dan menjadi pelampiasan akan rasa kehilangan.

Namun karena keegoisan, tindakan yang tanpa sadar dilakukan itu beralih menjadi kebiasaan.

Arkan mendongakkan kepalanya, menatap bintang paling terang yang ada di langit malam. Apakah dari atas sana omnya bisa melihat semuanya? Apakah omnya itu kecewa?

Kita BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang