37

1.8K 165 11
                                    

Pernah berpikir tuk berhenti, tapi terlalu pengecut dan hanya mencoba bertahan seorang diri.

***

Tidak bisa diharapkan. Sejak awal memang sudah timpang sebelah. Ruangan itu hening. Hanya ada seorang remaja yang terbaring dengan titik hidup atau mati.

Tak lama, pintu terbuka. Menampakkan wanita yang berumur lebih setengah abad. Seketika ruangan yang tadinya hening kini terisi suara tangisnya.

"Ya Allah mas Nata"

Hanya itu yang mampu terucap. Bi Narti menatap sendu remaja yang terbaring. Setiap hari selalu terpanjat do'a dan harapan untuknya.

Bi Narti duduk di kursi kosong di sebelah brankar. Tangannya yang sudah berkeriput meraih tangan kurus yang hanya berselimut kulit. Kembali menitikkan air mata.

Anak yang dari bayi sudah ia rawat, kini hanya memejamkan mata. Tak ada keusilan, tak ada cerita, tak ada tawa, tak ada sapaan. Beberapa waktu ini, bi Narti merasa begitu kehilangan sosok itu.

"Mas, cepat sembuh. Ibu kangen" ucapnya mengelus tangan yang ada di genggamannya.

***

Yah, Aldi terpaksa pulang karena kedua orang tuanya. Sebenarnya jika bukan paksaan dari Arkan, Aldi tidak akan ikut kedua orang tuanya pulang.

Tidak peduli jika orang tuanya pulang sekarang. Yang jelas baginya untuk tidak berjarak dengan Nata.

Toh memang sudah menjadi hal biasa jika orang tuanya jarang pulang. Dan lagi alasan sebenarnya ia tidak ingin meninggalkan Nata karena waktu itu, saat Nata sendirian dan dirinya tidak bisa ke sana memeluknya.

Aldi terlalu takut dengan pejamnya Nata. Terlalu takut jika Nata lebih memilih untuk tidak kembali. Poros dunianya yang bahkan melebihi orang tuanya.

Meskipun sekarang raganya ada di sini, duduk bersama dengan orang tuanya. Tapi tidak dengan jiwanya.

"Al, Aldi" panggil papanya

"Apa pa?"

Arya tersenyum menatap putranya. Ia tau pasti apa yang ada dipikiran anak semata wayangnya itu.

"Kenapa?" dengan lembut, Arya mengusap punggung anaknya.

Aldi menggeleng, otaknya terlalu penuh dengan pikirannya sendiri sampai ia sendiri bingung dengan perasaannya.

"Papa sama mama kapan balik ke Singapura?" tanya Aldi, mungkin dulu ia akan bertanya berapa lama keduanya akan menetap bersamanya. Tapi seiring berjalannya waktu, pertanyaan seperti itu tidak begitu penting baginya.

Cepat atau lambat, keduanya pasti akan tetap meninggalkan dirinya. Aldi sudah terbiasa sendiri. Walaupun sebenarnya tidak benar-benar bisa. Tapi ia sudah terlanjur biasa akan hal itu.

Arya tau betul pertanyaan dari Aldi hanya basa-basi saja. Ia tau anaknya mungkin kesepian. Tetapi ia dan sang istri juga pergi untuk bekerja. Mereka melakukan semuanya juga untuk memberikan yang terbaik untuk Aldi.

"Kok Al tanya gitu?" Ujar Sarah sedih

"Nggak apa-apa ma" jawab Aldi seadanya. Sarah tersenyum sendu kemudian memeluk anak satu-satunya yang dimilikinya.

Kita BedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang