31. Hima kemana? (Baru)

510 101 23
                                    

Lio mendaratkan pantatnya pada kursi tunggu yang ada di sana. Ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jari-jarinya, tangannya mulai turun ke pipi dan menangkup pipinya dengan cemas.

"Lio, tenang dulu," ucap Aron yang berada di samping Lio. Beruntung saja Aron juga ada keperluan di rumah sakit ini, jadi ia bisa mewakili untuk menandatangani surat izin untuk melakukan operasi.

Lio terlihat gelisah di tempat, tangannya yang tadi menangkup pipi sekarang sudah menarik rambutnya sendiri sembari menggigit kuku-kuku jarinya. Lio mulai mengeluarkan ponsel untuk menelpon orang tuanya.
Lio masih tak berhenti menggigit kukunya sembari menunggu panggilannya diterima. "Ah, Assalamualaikum, pa?"

"Wa'alaikumsalam, ada apa?" tanya Kayden dari seberang.

"Pa, S-senja kecelakaan pa. Sekarang Lio di rumah sakit kota."

Sambungan terputus sepihak, Kay mematikan sambungannya setelah Lio menyelesaikan kalimatnya. Lio menatap ponselnya dengan raut wajah sedih.

"Pa, Lio panik setengah hidup loh ini, papa malah tenang banget. Ya Allah, bapak gw," ucap Lio di tempat. Aron yang ada di sampingnya terkekeh singkat.

"Anu... Lio, maaf banget nih om harus pergi sekarang. Kamu gak apa-apa sendiri di sini kan?" tanya Aron.

"Oh, yaudah om gak apa-apa. Makasih ya om, untung ada om Aron kalo gak, mungkin Lio harus nunggu papa dateng dulu."

"Iya, sama-sama. Om doain semoga Senja sama temen-temennya gak apa-apa ya? Tapi beneran nih gapapa om tinggal sendiri?" tanya Aron lagi.

"Iya om, Lio tau om pasti sibuk kan?"

"Yaudah kalo gitu, om pamit dulu ya?" ucap Aron sembari berdiri dan ingin melangkah.

"Iya om, hati-hati. Sekali lagi makasih ya om?" Aron melambaikan tangannya ke belakang dan pergi menjauh dari sana. Lio memperhatikan punggung Aron yang makin lama makin menjauh hingga hilang di lorong sana.

Lio kembali melihat pintu ruangan operasi yang tertutup, tetapi atensinya teralihkan ketika papanya sudah berada di ujung koridor rumah sakit.

"Buset, cepet banget?" celetuk Lio takjub melihat papanya yang masih memakai jas kerja berlari ke arahnya.
"Mana dia?" tanya Kayden pada anak keduanya. Lio menunjuk pintu ruangan operasi yang tertutup. Kayden menghela napas panjang dan terduduk di samping Lio.

"Papa ngebut?" tanya Lio.

"Senja kecelakaan apa?" tanya Kayden balik, Lio sedikit ragu mengatakannya pada papanya. Tetapi...

"....Senja ditembak," ucap Lio, membuat Kay yang tadinya bersandar sembari menengadahkan kepalanya ke atas langsung melihat ke arah Lio.

"Di tembak siapa? Kok bisa?" tanya Kayden.

"Lio gak tau, Pa. Tadi Senja lagi nyusulin Hima sama Toro, eh tiba-tiba mereka ditembak."

"Hima juga?" tanya Kay sambil membeliakan matanya.

"Iya, sama Toro."

Kay tanpa ba bi bu, mengeluarkan ponsel dari balik jasnya dan menelpon Raven untuk memberitahukan bahwa anak angkatnya di serang. Sementara Kay mengabari Raven, Lio malah bingung kenapa mamanya tidak ikut.

Setelah Kay menutup sambungan teleponnya, Lio bertanya. "Kok mama gak ikut pa?"

"Papa langsung ke sini dari kantor, jadi gak sempat jemput mama," jawab Kayden. Lio manggut-manggut di tempat.

"Terus kenapa gak kasih tau mama?" tanya Lio lagi. Kay menoleh sepenuhnya pada Lio.

"Kamu tau lah mama kamu. Nanti aja kalau Senja udah selesai operasinya," ucap Kay.

"Kok papa yakin banget Senja selamat?" Kay mulai malas menanggapi anaknya yang serba ingin tahu ini.

"Nak, kata mama mu, perkataan itu doa, jadi doakan saja yang baik-baik. Oke?"

Lio memperhatikan air wajah Kayden yang tersenyum, papanya ini memang selalu tenang atau bagaimana? Perhatian mereka berdua teralihkan saat pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan sang doktor dengan pakaian hijaunya.

Mereka tak perlu bertanya, karena doktornya sudah akan memberitahu. "Maaf, dua orang dari mereka tidak bisa terselamatkan," ucap sang doktor. Lio dan Kayden sudah cemas memikirkan apakah itu Senja atau bukan.

"Innalillahi wa innailaihi raji'un." gumam mereka berdua.

"T-terus yang satunya lagi dok?" tanya Lio mewakili papanya.

***

Senja mengerjapkan matanya beberapa kali, pandangannya yang semula kabur lama-lama jelas. Senja menatap langit-langit putih itu juga suara mesin yang berbunyi pelan.

Senja dapat mendengar napasnya sendiri, juga merasakan sebuah alat yang bertengger di hidung dan mulutnya. Senja membuka alat itu dan terbatuk kecil untuk beberapa detik.

Ia memperhatikan jendela ruang inap yang dimasuki cahaya matahari dan pepohonan hijau diluarnya. Entah sejak kapan Senja membenci suasana seindah ini. Suasana ini meninggalkan kesan buruk untuk Senja, seperti saat ia yang dirawat oleh psikolog sewaktu kecil.

Senja baru sadar, ia sedang dirumah sakit sekarang dan harusnya ada dua orang lagi di sini. Kemana mereka?

Pintu ruangan terbuka, menampilkan wanita dengan wajah teduh yang mulai memasuki ruangan. "Mama?" panggil Senja pelan. Alisya yang baru saja kembali dari kantin itu langsung berjalan menuju anaknya saat dipanggil.

"Senja," Alisya mengusap surai anaknya lalu mencium keningnya. "Ada yang sakit?" tanya Alisya yang sudah beranjak menaikan kepala ranjang agar Senja dapat duduk bersandar.

"Enggak, udah ma segitu aja," ucap Senja. Alisya kembali duduk di samping Senja.

"Kenapa bisa kayak gini sih, Mamakan nyuruh kamu kerumah Hima buat ngajak mereka liburan, kenapa jadi ketembak?" tanya Alisya.

"Emang Lio gak cerita?"

"Mama mau denger langsung," ucap Alisya.

Senja memandangi ibundanya dengan seksama sembari memaparkan senyum. "Ma, mama cantik banget deh. Resepnya apa sih?" tanya Senja mengalihkan pembicaraan.

"Udah, gausah ngomong yang lain. Cerita ke mama."

Senja diam sejenak sembari memainkan jarinya. "Ish, Ma berdarah!" seru Senja lucu sembari menunjuk tangannya yang diinfus. Alisya menatap malas anak sulungnya itu.

"Heh, itu wajar!"

Senja benar-benar tidak bisa mengelabui mamanya. Senja lagi-lagi menatap mamanya dengan senyum. "Senja gak tau ma, Senja nyamperin Hima yang pergi sama Toro, dan ketembak," ucap Senja. Sebenarnya Senja benar-benar tak mau menceritakan semuanya, karena ia akan teringat kepada Hima lagi.

"Mereka gimana ma?" tanya Senja, ia masih tetap bertanya walau sudah tahu jawabannya apa.

"....Mereka," Alisya menjeda sejenak ucapannya. "Toro udah dimakamkan dua hari lalu," lanjut Alisya. Senja bergeming di tempat, ia melipat bibirnya ke dalam lalu memaparkan senyum paksa. Senja melihat ke arah luar dan kembali melihat mamanya.

"Himawari?" tanya Senja. Alisya menatap anaknya sekilas lalu menggeleng pertanda tidak tahu.

"Mama gak tau, soalnya pas mama ke sini mama cuma ngeliat kamu," ucap Alisya.

Alisya mengusap surai Senja membuat kepala Senja sedikit bergerak ke arah samping lalu memeluknya.


Becanda kok tamatnya, masih lanjut ini. Kalo bisa tembus seratus.

RajendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang