29. Selamat tinggal (2)

621 74 6
                                    

Himawari menghela napas untuk kesekian kalinya. Ia kembali mengingat perkataan Toro saat itu. Apa katanya? Dia mencintai Hima?

Tetapi Hima tidak benar-benar memikirkan itu, ia malah memikirkan Senja yang masih hidup atau tidak. Hima ingin sekali menghubungi Senja tetapi ia tidak mengetahui nomor telepon Senja atau sosial media lainnya milik Senja. Ingatkan? Ponselnya dihancurkan oleh Toro dan menggantinya dengan yang baru?

Tiba-tiba Hima mengingat sesuatu. Raven dan ayahnya Senja bukannya saling kontakan? Mungkin saja Raven memiliki nomer telepon Senja kan?

Hima bangkit dari ranjangnya dan hendak berjalan membukakan pintu, tetapi sebelum itu ponselnya bergetar. Himawari menghentikan langkahnya dan melihat ke arah benda pipih yang menampilkan pop up di sana.

Hima meraih ponselnya dan membaca pesan masuk dari nomer yang tidak dikenal. Keningnya berkerut saat sudah selesai membaca teks singkat itu.

Lo udah pulang ya? Lo baik-baik aja kan? Toro gak ngapa-ngapain lo kan? Gw otw ke rumah lo. Tadi mama nyuruh gw- senja.

Begitulah isi pesannya, tanpa sadar bibir Hima sedikit terangkat membentuk senyum. "Sakit nih anak." gumam Hima sembari mengetik balasan pesan dari Senja.

Tak lama berselang setelah Hima duduk kembali di atas kasurnya. Sebuah pop up kembali muncul, namun kali ini bukan dari Senja.

Toro.
Keluar, gw di depan gerbang. Penjaga gerbang gak bolehin gw masuk, cepat. Gw gak punya banyak waktu.

Kening Hima berkerut. Ada apa gerangan sampai Toro berani datang ke sini lagi. Tanpa membalas pesan dari Toro, Hima langsung turun ke bawah dan berjalan cepat ke arah gerbang yang jaraknya lumayan jauh dari pintu utama.

"Buru-buru banget, mau kemana?" tanya Leo sedikit berteriak dari lapangan sana, sedang memanah. Hima menjawab pertanyaan Leo dengan jarinya yang menunjuk ke arah pintu. Leo mengerutkan keningnya pertanda bingung.

Hima terus berjalan dengan langkah lebar mendekati gerbang depan hingga kakinya menapak tepat beberapa langkah di depan Toro.  Himawari sedikit ngos-ngosan karenanya.

"Kenapa?" tanya Hima yang sedang mengatur napasnya. Toro tak langsung menjawab, ia menatap Himawari lekat-lekat dengan senyum simpul lalu menatap kedua pengawal yang berjaga di depan gerbang.

Menyadari itu, Hima melihat kearah dua pengawal gerbang. "Pak, bisa tolong tinggalin kami sebentar?" tanya Himawari sopan. Kedua orang itu menggagguk dan langsung masuk ke dalam. "Hm, kenapa?" tanya Himawari lagi.

Toro yang memasang senyum simpul menarik napasnya dalam dan menghembuskan kembali dengan tenang. "Gw mau pamit," ucap Toro yang masih setia menatap lekat Himawari.

"Mau kemana emang?" tanya Hima dengan alis yang nyaris menyatu.

Bukannya menjawab, Toro malah memberikan senyuman manisnya. "Gw udah keluar dari semua itu." Toro menjeda ucapannya sembari melihat ke arah lain. "Menurut lo dosa gw di ampuni gak ya?" sambung Toro yang terlihat menyesal. Toro menggulum bibirnya kedalam sembari menunduk.

"Gw udah banyak banget ngebunuh orang. Berlaku seenaknya." Toro semakin menunduk menyembunyikan wajah menyedihkannya.

"Lo udah minta maaf sama mereka?" tanya Hima.

"Mereka kan udah meninggal, gimana?" tanya Toro polos.

"Bukan, sama yang masih hidup. Sama anak-anak cewek yang lo perlakuin seenaknya itu?" tanya Himawari.

Toro kembali tersenyum dan mengangguk. "Udah, gw langsung pergi ke mereka satu persatu sambil bawa buket uang dan minta maaf." jelas Toro.

"Terus?"

RajendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang