28. selamat tinggal (1)

658 90 6
                                        

Toro berdiri tegap sembari menatap lurus pada seseorang yang duduk di depannya. Tadi pagi, Toro mendapat panggilan dari kantor pusat dan segera pergi ke sana.

Pria paruh baya itu menatap nyalang ke arah Toro sembari berpangku tangan. "Ada apa ini?" tanyanya dengan suara berat. Toro tak menjawab, ia melihat pada pahatan nama di meja ketuanya yang bertuliskan 'Arseno'

"Tenggat waktunya sudah lewat dan kau belum melakukan apa pun?" tanyanya lagi.

"Kau tau bukan, jika sudah lewat tenggat waktunya maka kau harus mendapatkan hukuman?"

"Saya tidak bisa melakukannya kali ini," ucap Toro tegas dan setelah mengatakan itu sebuah peluru melesat nyaris mengenai matanya jika saja ia tidak menghindar dengan cepat.

"Apa?"

"Saya tidak bisa membunuh target saya kali ini. Mohon anda batalkan saja kontraknya," ucap Toro lagi. Ia bisa merasakan aura kemarahan dari ketuanya.

"Apa maksudmu?" pria itu menatap nyalang ke arah Toro.

"Saya tidak bisa membunuhnya, karena dia adalah teman saya(?)" jawab Toro tegas.

"Teman?"

"Salah satu syarat menjadi pembunuh bayaran adalah kau tidak boleh terikat dengan siapa pun. Kau tidak bisa memiliki teman ataupun kekasih." tegas si ketua.

"Saya tau dan saya mengerti. Saya ingin berhenti dari pekerjaan ini, ayah." menerima jawaban dari Toro seketika wajahnya berubah kelam.

"Toro Arseno. Kau bermain denganku?"

"Toro serius, ayah."

"Panggil aku, pak!" tukas pria paruh baya itu. "Apa maksud ucapanmu?! Sebagai seorang pewaris dan pemimpin selanjutnya harusnya kau tidak memiliki rasa kasih sayang dan tidak boleh terikat denga siapa pun!" Ayah Toro marah besar dan berjalan ke depan Toro.

"Jika terjadi?" tanya Toro.

"Maka orang itu harus dibunuh!"

"Itu tidak tertulis dalam aturan."

"Itu peraturan dari ketua, mengerti? Batas waktumu diperpanjang satu hari. Jika orang tersebut tidak langsung kau bunuh maka aku akan menugaskan yang lain."

"Saya tidak mau melakukannya lagi."

"Toro!"

"Apa?!"

Plak, satu tamparan mendarat mulus di pipi Toro. Pipinya terasa panas dan sudut bibirnya sedikit sobek.

"Kau berani melawanku sekarang?"

"Saya berhenti."

"Baik, baiklah." pak Arseno menganggukkan kepalanya beberapa kali. "Tapi sebagai gantinya, kau tidak bisa keluar hidup hidup dari sini."

"Saya mengerti, beri saya satu hari terakhir untuk menemui seseorang."

"Cukup sudah, aku sudah muak. Kau tidak bisa berhenti dari ini. Kau pewaris ku!" ayah Toro semakin marah.

"Lalu dimana ibuku?" tanya Toro. Arseno makin geram saat Toro meresponnya dengan dingin.

"Apa itu penting?" Toro mematung di tempat mendengar itu. "Aku lupa wanita mana yang melahirkan mu."

"Ayah punya banyak wanita, berarti ayah juga punya banyak pewaris." wajah Toro sudah mengelam.

"Kau yang paling kuat dari mereka."

"B**n***k." umpat Toro. "Saya tidak mau diperalat lagi oleh anda. Saya ingin hidup seperti orang normal, punya teman dan punya kekasih!"

Arseno tertawa hambar mendengar itu. "Kau pikir setelah semua ini kau bisa hidup normal? Kau tidak akan mengingat semua yang telah kau lakukan? Ingat tidak jeritan orang yang kau bunuh? Tangan mu itu ditakdirkan untuk membunuh, bukan menebar kasih," ucap Arseno yang membuat Toro terdiam di tempat.

"Mengapa anda melakukan ini kepada saya?" tanya Toro begitu saja. "Mengapa tidak kepada anak kandung anda, pak?" Toro mengangkat kepalanya menatap Arseno nyalang.

"A-apa?" tanya Arseno gagap.

"Apa karena anda terlalu menyayangi mereka? Apa karena anda tidak mau mereka menderita seperti saya, pak?" Toro diam sejenak. "Apa? Kenapa saya tidak bisa memiliki kekasih sementara anda memiliki istri? Anda tau rasanya dicintai tapi kenapa anda merebut semua itu dari saya, pak?" tanya Toro lagi.

"Apa yang--"

"Alah, udah lah gue udah muak! Setiap ketemu sama bapak saya harus bersikap formal! Bapak selalu bilang untuk tidak terikat dengan siapa pun,  tapi bapak sendiri punya keluarga! Lalu bapak bilang apakah ibu saya penting? Kalo gitu boleh gak saya nanya apakah ibu dari anak bapak penting?!"

"Apa bapak pernah mengajarkan anak bapak caranya membunuh? Apa bapak membiarkan anak bapak mendapatkan masalah? Apa bapak pernah kunci anak bapak di gudang yang ada algojonya? Yang siap buat bunuh dia kapan aja?"

"Dan apa istri bapak tau kalau benih bapak itu bertaburan dimana-mana? Sebejat apa anda, pak? Lalu bagaimana jika anak bapak tau? Apa dia gak malu punya ayah kayak anda?!"

"Tutup mulut, ibu kamu dan istri saya itu berbeda. Ibu kamu itu pelacur!"

Mendengar itu, hati Toro rasanya disayat ribuan belati. "Kalau begitu, harusnya yang anda jadikan pewaris itu anak kandung anda, anak anda yang terhormat. Bukan anak pelacur seperti saya kan?"

"Cih, anda lebih rendah dari pada sampah. Menebar benih dimana-mana. Saya berhenti! Jika anda mengusik saya dan orang-orang saya. Saya akan memberitahukan semuanya pada anak dan istri anda. Permisi, pak!" Toro mengakhiri ucapannya dan meninggalkan ruangan yang sudah berisi umpatan dan rasa geram dari orang didalamnya. Toro mengetik sesuatu di ponselnya dan mengirim rekaman suara tadi pada nomer yang tidak di ketahui. Toro yakin hidupnya tidak lama lagi karena ini, ia baru saja membuat ayahnya marah besar. Mungkin besok pagi mayatnya akan ditemukan mengapung di sungai.

Toro keluar dari kantor kotor itu dan pergi ke suatu tempat, entah kemana.

RajendraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang