Chapter 42

2.8K 209 16
                                    

"Ada perkembangan untuk Nara?"

Alva menggeleng lemah. Kepalanya selalu tertunduk, dan tak terhitung sudah berapa kali ia menyalahkan dirinya sendiri atas peristiwa ini.

Alva mengusap bawah matanya, ia selalu bertanya tanya. Kapan ia akan melihat wajah Nara yang ceria lagi? Kapan ia bisa menggandeng tangan mungil itu sambil tersenyum lebar. Kapan ia bisa melihat Nara cerewet padanya, kapan ia bisa mendengar suara cadel Nara yang dibuat seperti anak bayi?

Alva rindu semua itu. Kapan??

Sudah tiga hari ia duduk berdiam didepan ruangan yang merawat Nara. Menanti setiap kedatangan dokter dan menanyakan perkembangan Nara.

Namun sepertinya doa yang ia minta pada Tuhan belum dijawab olehNya. Alva tak menyerah, ia akan terus berusaha mendoakan terbaik mungkin untuk Nara. Membantu Nara untuk bangun dari koma ini.

Setiap hari Alva dilanda rasa takut. Ia takut Nara meninggalkannya dengan membawa dua bayinya. Ia sangat takut, jika hal itu benar benar terjadi.

Alva tak mau. Ia tak siap, ia tak boleh kehilangan Nara. Begitu juga Nara harus segera bangun dari koma ini dan hidup bahagia bersamanya.

"Alva" panggil Ranti pelan.

Alva menggeleng. "Engga Ma engga, Alva kuat kok, begitu juga Nara. Disana ia berusaha melawan rasa sakitnya. Ia berusaha menyelamatkan banyak nyawa. Alva nggak mau ninggalin Nara Ma. Biarin Alva disini, sampai Nara siuman"

"Alva gak akan beranjak barang sesenti pun untuk Nara Ma. Alva sayang Nara" diucapan terakhirnya suara Alva mengecil, dan ia menangis.

Hati Ranti semakin diremas melihat putranya menangis. Tak hanya Alva yang tersiksa melihat keadaan Nara didalam sana.

Kini semua anggota keluarga juga sudah berkumpul sejak tiga hari yang lalu. Mendengar kabar dukacita lagi dari Nara, keluarga mereka tak tinggal diam.

Alva menatap jendela itu dengan tatapan sendu, kapan ia dibolehkan masuk kedalam ruangan itu? Kapan ia bisa melihat wajah cantik Nara lagi?

Kapan ia bisa mengusap perut Nara lagi? Kapan ia bisa menyapa anak anaknya lagi? Kapan ya Tuhan?

"Nara" lirih Alva.

"Plase bertahan demi keluarga kita sayang"

Dan ini adalah hadiah paling mengejutkan dihari ulang tahunnya.

🍂

"Keluarga Nona Nara?" ucap sang dokter yang baru muncul dari ruangan Nara.

Alva yang tadi tertunduk lesu dan tak ada tenaga seketika berdiri dengan cepat, tapi sebelum berucap ia melihat kebelakang dan menemukan Hendra serta Kiran yang memandanginya juga. Kedua orang itu mengangguk, mengerti pikirannya.

Alva mandangi dokter itu kembali. "Saya calon suaminya. Bagaimana perkembangan Nara dokter?"

Dokter laki laki itu menghela nafas. "Kami sudah mengeluarkan racun yang ada didalam tubuh pasien, namun kondisi pasien sangatlah lemah dan kemungkinan besar akan lama untuk sadar"

"Berapa lama lagi dok?" lirih Alva.

"Maaf saya tidak dapat memastikannya, tapi semakin hari saya melihat perkembangan fisiknya mulai membaik" sahur dokter.

Alva terdiam beberapa saat. "Lalu bayi kami?" ucapnya begitu lirih.

Dalam hatinya ia berharap banyak Tuhan masih melindungi dua anaknya.

Dokter itu menjawab. "Puji Tuhan, karena janin masih bisa diselamatkan. Hanya saja keadannya sangat lemah, untuk kepentingan kesehatan nona Nara. Alangkah baiknya, jangan dijenguk dahulu sebelum memulih. Saya permisi" ucapnya dan berlalu.

Alva terduduk kembali dengan tubuh yang tak kuat menyangganya. Kabar Nara dan bayinya membuatnya kehilangan semangat hidup lagi.

Rey menepuk pundak anak laki lakinya. "Harus kuat" bisiknya tepat ditelinga Alva.

"Jangan terlihat lemah didepan kita, kamu anak Papa yang dewasa, dan sebentar lagi dirimu akan menjadi seorang ayah juga."

Rey membisikan satu hal lagi.

Alva mengangguk dalam menunduknya. Tiga detik setelahnya ia mengangkat wajahnya dengan tatapan tak terbaca.

"Alva ada urusan sebentar" ucapnya pada semua orang dan langsung turun menuju lobi rumahsakit tanpa menghiraukan tatapan bertanya dari pada orang orang.

Ranti menatap suaminya dengan alis naik sebelah. "Papa ngomong apa tadi sama Alva? Sampai Alva pergi gitu aja?"

Rey tak menjawab pertanyaan istrinya lantas duduk disebelah Hendra.

🍂

Alva mempercepat langkah kakinya, bulir bulir keringat jatuh dari pelipisnya mengenai lehernya dan turun kesemua anggota tubuhnya.

Ia menghiraukannya begitu saja. Alva melepas jaketnya dan membuangnya ditempat sampah, agar memudahkan ia berlari dan semakin tak kepanasan.

"Pak Alva!" teriak seorang dibelakangnya. Beberapa saat kemudian Alva memelankan langkah kakinya dan berbalik. Menatap anak buahnya yang berlari kecil menyusul kearahnya.

Alva menatapnya serius, seolah menunggu ucapan apa yang dilontarkan anak buahnya itu. "Sa-saya sudah mengurus surat untuk Daniel" ucap laki laki berbadan gagah itu.

Alva tak banyak bicara namun mengulurkan tangannya meminta surat itu. Anak buahnya memberikan sebuah map dan diambil dengan cepat.

"Terima kasih" ucap Alva singkat lalu kembali berlari.

Anak buah itu dibuat berdecak kagum akan tingkah Alva. Meskipun irit bicara pada bawahannya, tapi seorang Alvaro tetap mengutamakan sopan santun. Bahkan kepada bawahannya sendiri.

Kata terima kasih itu sebenarnya hanya sebagai bentuk ucapan balas budi, namun Alva tetap mengucapkannya walau ia sudah mengeluarkan uang untuk orang pesuruhnya.

Alva memasuki mobilnya dengan cepat. Segera menyalakannya, menancapkan gas dengan kecepatan tinggi, lalu baru memasang sabuk pengamannya.

Membelah jalan raya dengan rasa amarahnya yang tak dapat dibendung lagi.

Tatapan Alva tertuju pada map disamping kursi kemudinya. Ia meremas stir mobil dan memukulnya keras.

Sebentar lagi.

Sebentar lagi, ia akan menunjukan taringnya yang selama ini ia simpan.

Jika ia tadi sudah menangis didepan kamar inap Nara. Ia juga bisa berteriak lantang dihadapan Daniel saat si antagonis itu mendekam dibalik jerat jeruji.

Dengan kekuasaan ditangannya yang ia punya.

Kali ini Alva bukan si Leon lagi.

TBC

Mau vibesnya itu kaya di drakor gituu, tapi kayaknya engga deh. Wkwk

Jangan lupa vote dan komennya..

Love u!

Falling Love With Boss Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang