XXXIII

600 97 0
                                    

Walaupun tidur di kasur empuk nan nyaman—meskipun di barak prajurit—Seta merasa tak nyenyak. Dia begini, karena memikirkan sesuatu.

Belati Zobens? Seta sudah menemukannya? Yang mana? Atau yang menjadi abu itu? Seta mengeluarkan sebuah kantung yang dia ambil sembarangan. Mengeluarkan isinya, berupa mutiara—pasti milik Ibunda kakak-kakak Jolyon—guna mengumpulkan abu dari belati.

Seta bingung, memberi tahu mereka atau tidak. Tentang dia menemukan benda itu. Hanya saja berbeda bentuk. Bagaimana caranya dia tanggung jawab? Membuat belati? Kalau dia pandai besi, mungkin bisa. Tapi, mana mungkin? Perihal benda itu, mereka tak pernah terdengar membahasnya. Seta jadi makin bingung dengan semua ini.

Seta dilema. Dia menatap kantong itu lamat. "Argh! Membuatku pusing." Mengacak rambutnya gemas. "Apa aku harus membuangmu?" katanya pada kantung itu. Seta mulai gila dalam arti sebenarnya. Berbicara dengan benda apa saja.

Tentang perjanjian yang Amren tawarkan. Mungkinkah seperti Raja dan Ratu dulu? Buat perjanjian, lalu menghilang dan damai, kembali seperti sedia kala.

Kenapa Amren malah memperumit keadaan, ya? Apa dia tidak tahu hal sederhana? Bertemu, bicara, berdiskusi di forum yang sama. Apa yang dia inginkan, apa yang dia mau, bisa dimusyawarahkan demi tercapainya mufakat. Seperti pelajaran kewarganegaraan saja. Dasar iblis, seenaknya sendiri.

Ibarat suatu kelompok yang suka memancing kerusuhan di dalam sebuah Negeri. Pasti ada yang semacam itu. Pengacau, pencari perkara, atau hanya sekedar cari perhatian?

"Aku jadi gagal berlatih pedang gara-gara dia!" gerutunya. Padahal Seta sudah sangat bersemangat, ketika pertama kali dilatih Vin. Meskipun tahu sendiri bagaimana cara melatihanya.

Seta masih memandang kantung itu. Tidak jadi membuangnya. Anggap saja barang bukti. Kalau-kalau ada yang tanya. Terkecuali Amren. Biarkan saja iblis itu dengan ketidaktahuan, lagipula dia tak bisa membaca pikiran Seta bukan?

Kata Vin, mereka tidak bisa merencanakan strategi apapun jika berhadapan dengannya. Karena Amren akan tahu dalam sekejap. Percuma jika sudah susah-susah berpikir.

Menatap ke luar jendela, bulan berbentuk sabit itu sudah merah. Memikirkan kembali kalimat Amren waktu itu. "Apa aku akan segera mati ... sebentar lagi?"

Menerawang, bagaimana itu akan terjadi? Disaat Seta masih berdiam di istana. Apakah benar dengan apa yang diperbuatnya? Seta cemas sendiri. Dia harus membuat rencana. Haruskah dia menyerahkan diri saja?

'''

"Tidak tidur?"

"Tidak bisa."

"Sudah aman, bukan? Kau tidak perlu cemas."

Bibir tebalnya melengkung. "Aku tahu, hanya saja, ada sesuatu mengganjal. Aku merasa, ini belum berakhir. Aku teringat Adik-Adikku."

"Mereka pasti baik-baik saja." Nex juga cemas sebenarnya. Apalagi, makhluk-makhluk itu bisa saja berdatangan lagi.

"Tentu saja. Mereka akan baik saja tanpaku. Aku yakin ... bagaimana para prajuritmu yang terluka?"

"Mereka akan segera pulih. Para Nyrs bekerja keras untuk itu." Arsus mengangguk.

"Besok pagi, aku akan ikut Nyrs mencari tumbuhan obat." ujar Arsus semangat.

"Mereka bisa mencari sendiri."

"Kau lupa aku ini apa?" Nex memutar bola matanya malas. Dia tahu, pria tinggi di sebelahnya ini juga seorang Arsts. Seperti Nyrs, hanya saja tidak memiliki kemampuan sihir. Tapi mereka juga ahli dalam membuat ramuan. Hampir semua ramuan yang tersebar adalah buatan Arsts. Tabib hanya tinggal menggunakannya, kadang mereka juga menambahkan ramuan obat lain, agar ramuan lebih cepat bekerja.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang