XXXII

709 101 42
                                    

Mengingat apa yang dikatakan Amren. Belati yang dia temukan. Belati apa? Lalu Amren tahu? Bagaimana bisa?

"Jolyon! Kenapa kau duduk disini? Dan kenapa juga bajumu basah kuyub?" tanya Vin panik. Namun yang ada, Seta hanya diam. Duduk menekuk lutut yang dipeluknya. Punggungnya menempel pada dinding kolam.

"Dia menemuiku, Kak."

"Siapa yang kau maksud?" Seta bergeming. Dia menatap kosong lantai di depannya.

"Kematian akan segera menjemputku. Tidakkah Kakak setuju?"

"Jangan bicara begitu. Kau tidak akan mati, Jolyon. Aku jamin."

"Memangnya kau bisa memberi jaminan apa, Kak?" Kedua netranya bertemu dengan manik Vin yang berkaca-kaca. "Jangan sekalipun berkorban untukku. Walaupun tujuannya untuk melindungiku. Jangan pernah, sekalipun."

"Kau bicara apa sebenarnya? Aku tidak mengerti!" Vin tentu saja marah. Adiknya ini bicara seolah dia akan mati besok. Dan dia tidak suka itu. Tapi apa yang dia dapat? Malah Seta yang tersenyum manis.

"Terima kasih, karena sudah memberi kesempatan menjadi Adikmu."

'''

Tropski Val dan Mundo De Neve dilanda kelaparan. Pula Magna yang membuat badai besar menuju daratan. Menghancurkan segala apa yang ada. Juga ombak yang semakin meninggi, ingin meluluh lantakkan daratan yang nampak. Dan belum mereda sejak kemarin.

Amren tidak ingkar janji, siang itu, namun dengan suasana sangat kelam. Mala terbang di atas kepala, membuat gempar para prajurit Entrella.

Seta dan Vin, melihat dari menara kastil. Mereka dilarang mendekat ke arena perang. Irisnya tak sanggup melihat lautan merah disana. Ketika Mala mulai menyemburkan api, membakar dan merusak rumah-rumah penduduk. Hingga bau asap memenuhi penghidu. Membuat jalan untuk pasukan Amren. Beruntung, separuh penduduk yang memaksa tinggal di rumah, berhasil diungsikan ke Pulchra, sebelum kedatangan berandalan iblis.

Noe mendapat undangan langsung dari Amren. Ketika kemarin mendapati beberapa prajuritnya terbunuh. Dan terdapat pesan yang melubangi dahi mereka. Dia membayangkan, bagaimana Amren menuliskan huruf-huruf di dahi prajuritnya. Dalam keadaan mereka masih hidup, dan dia pasti sangat menikmati kesakitan mereka, hingga sekarat dalam keadaan mata terbuka, dan mulut menganga.

Ejam kara berarti mari perang.

Di bawah sana, tak jauh dari istana. Di sebuah tempat terbuka, terdengar gema teriakan para pejuang berbaju zirah. Yang berusaha melawan bala tentara Amren, bentukannya sama dengan apa yang dilawan Arsus. Noe selalu berada di garda terdepan. Lalu Wyns, dia selalu berdiri di belakang pasukan. Agar lebih mudah menangani siapapun yang terluka. Perang benar-benar sudah di mulai.

Pasukan panah yang berada di balik bukit. Menyerang lebih dulu. Mereka melesatkan ratusan anak panah, dan banyak dari para monster juga terkena. Pula Faust juga tak tertinggal, memimpin pasukan panah, sering sekali anak panah biru itu melesat.

Hanya saja, Mala yang terbang mendekat. Menghadiahkan pasukan panah dengan api, tepat di depan barisan lurus memanjang mereka. Menghalangi pandangan mereka menyerang musuh.

Noe juga tak hilang akal. Dia menggunakan senjata besar, manjanik, ketapel raksasa yang dapat memuat batu sampai 150 kg untuk menembak Mala. Tidak hanya satu, ada beberapa lainnya.

Melesat cepat, namun Mala mampu menyambit batu melayang itu dengan ekornya. Berbalik cepat mengenai manjanik, dan hancur lebur. Beberapa orang di sekitarnya. Sebagian mampu mengenai pasukan iblis. Namun tak terlalu banyak bekerja, karena pasukan iblis tak berkurang banyak. Mereka gesit,juga agresif.

Mereka bukan lawan yang mudah. Permintaan bantuan dari seorang teman Faust, belum sampai. Tentu saja mereka membutuhkan waktu. Permintaan mendadak pula, tanpa persiapan. Yang diminta pertolongan saja sampai marah-marah, ketika Faust kesana. Baiklah, mereka akan menunggunya lagi.

Pertarungan semakin sengit saja. Apalagi ketika sekelompok Anubid, menyerang seorang prajurit, dan dia kalah. Dan menyusul, prajurit-prajurit lain. Menggunakan manjanik pun sudah tidak bisa. Karena itu untuk senjata jarak jauh.

Tidak bisa begini. Pasukan Noe sudah banyak berkurang. Bahkan jika di kalkulasikan. Pasukan iblis menang banyak. Dia akan kehilangan rekan-rekannya kalau begini.

"Pasukan mundur!"

Terpaksa, daripada semakin banyak yang tumbang. Noe harus menunggu, dan merubah strategi, lagi. Pasukan iblis bukanlah pasukan sembarangan. Apalagi hadirnya Mala. Memang naga itu tidak menyerang. Tapi siapa yang akan menduga? Jika mereka akan menjadi abu seketika dengan apinya? Amren itu tidak bisa ditebak. Mungkin dia akan sangat baik saat ini, tidak menggunakan Mala. Atau akan menjadi ganas seperti dulu.

Amren hanya melihat dari sebuah bukit. Berpijak pada batu besar yang tertanam. Mengawasi dari sana dengan senyum yang hanya nampak indah jika dipandang tanpa dicermati. "Aku tahu, kau tidak akan sanggup mengorbankan orang-orangmu—Noe, si payah."

Semua pasukan kerajaan ditarik kembali ke istana. Di sana adalah tempat perlindungan paling aman. Karena sudah di mantrai. Tentu saja itu tidak akan bertahan lama. Karena bukan mantra alami, seperti di Pulchra.

Setidaknya, mereka bisa dengan tenang berada di sana, sementara waktu. Pula mengobati para pejuang yang terluka. Jika memandang Entrella dari ketinggian. Pasti hanya duka yang ada di benak. Asap hitam tebal mengepul. Daratan rusak, seperti terkena bencana. Tidak beda jauh, dengan perang yang dulu. Hanya saja, kini mereka mampu meminimalkan korban jiwa. Apalagi Amren tidak mengincar itu saat ini.

"Kita sudah banyak kehilangan prajurit. Jumlah kita bahkan tidak sebanyak pasukan Amren." ucap Beck, setelah melepas pelindung kepala, yang terbuat dari lempengan besi dan baja.

"Svets, kenapa dia tidak muncul?" lanjut Beck.

Faust yang mendengar nama temannya—yang tinggal di pedalaman hutan—itu menoleh. "Dia perlu waktu untuk mengumpulkan semua pasukannya. Tidak mudah untuk mengumpulkan mereka, kalau kau tahu." Agak kesal. Faust tahu, apa yang Svets lakukan saat ini.

"Tapi dia sudah di panggil dua hari lalu." balas Beck tak terima.

"Kau pikir memanggil makhluk, seperti memanggil dirimu?"

"Hentikan kalian berdua." Noe berucap pelan namun tegas. "Bukan waktunya berdebat." Noe mendadak pening. Mencari beberapa strategi tidaklah mudah. Apalagi dia baru menghadapi perang sungguhan di tengah kepemimpinannya.

Noe tidak menyiapkan rencana cadangan, karena jika dia siapkan. Berarti dia sudah menduga dia akan kalah.

Pada akhirnya, meskipun dia dan pasukannya dipaksa mundur. Setidaknya dia menolong sebagian prajuritnya. Noe beringsut dari duduknya. Dia mulai mencari sesuatu. Meneliti rak-rak buku dengan seksama. Berpindah lagi pada rak satunya. Membuka laci yang berisi gulungan-gulungan perkamen lama.

Dapat. "Beck, Kak Faust, kemari!" Perintahnya.

"Peta lama?" Noe mengangguk. Gulungan itu dia taruh di atas meja yang baru saja dia singkirkan isinya dengan lengannya. Tangan kokohnya menyeret benda itu sampai terbuka penuh, bersamaan dengan debu yang naik, pertanda bahwa perkamen itu sudah sangat lama.

"Peta bawah tanah." gumam Faust. "Kau yakin itu masih ada?"

"Istana memiliki banyak jalan rahasia." Faust tersenyum tak kentara. Termasuk si pintu tidur milik Quint. "Dan kita bisa gunakan itu. Awalnya ini dibangun untuk berlindung dari perang ataupun bencana. Hanya saja, waktu itu sangat tiba-tiba. Kita tak bisa selamatkan semua."

"Lalu, apa rencanamu?" Noe menatap Beck dan Faust bergantian.

"Begini—"

Pertama-tama, udahan dulu.
Kita tunggu rencana Noe saat perang nanti. Bhay! []

Hoiland
Wonosobo, 2021, 7 Juni.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang