XLIIV

458 84 22
                                    

Visualisasi Entrella yang tampak mengerikan. Bau busuk mayat menyeruak, menusuk penghidu. Walaupun darah manusia yang menggenang di tanah sudah dibasuh oleh air hujan yang terus saja turun, bau anyir masih saja mengudara.

Bagi siapapun yang tak terbiasa dengan visi seperti ini, pasti akan sangat tertekan. Isi kepala orang-orang sedang menerjemahkan segala perasaan yang kini bahkan mulai kacau. Tidak tahu harus lega atau menangisi semuanya.

Seluruh rakyat yang berlindung di Pulchra mulai berdatangan ke reruntuhan rumah masing-masing. Mereka mencoba menyelamatkan apa saja yang masih benar bentuk dan fungsinya. Raut wajah pasrah mendominasi orang-orang itu.

Entrella tak lagi punya bangunan istana megah. Noe dan yang lain memilih pergi ke lembah kosong di mana Sumero Suno mendirikan pemukiman.

Di bawah hujan, Nex dan rakyatnya menyambut Noe yang menggendong jasad Wyns, serta 500 prajurit yang tersisa.

Nex yang ikut bersedih, mendekat dan bersimpuh ketika Noe meletakkan tubuh kakaknya di atas rumput. "Kenapa Wyns juga harus ...." Nex tak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Maafkan aku," tutur Vin pelan. Pandangan dia kosong. Vin sedih dan ingin menangis, tapi tak bisa. "Maafkan aku sudah membunuhnya."

"Itu bukan salahmu," sambung Faust. "Kau dalam pengaruh sihir. Kami mengerti." Ketika Amren musnah, keributan di negeri lain juga ikut mereda begitu saja. Walau seluruh negeri harus berduka kehilangan orang-orang tercinta.

"Kita aman sekarang, berkat mereka yang sudah berkorban." Noe memilih mengganti topik pembicaraan. Tentu saja dia berduka. Namun, bukankah terus-menerus meratapi juga tidak menghasilkan apa-apa? Malah yang ada, semak hati semakin tumbuh.

Noe sudah pernah menghadapi ini dulu. Tentu saja dia kebingungan. Namun, kali ini dia tahu harus apa. Dia harus menenangkan semua orang. Kalau pemimpinnya saja rubuh, maka seluruhnya akan runtuh. Entrella harus punya tonggak agar bisa berdiri kembali.

Ini bukan perkara mudah menjadi orang yang paling diandalkan. Noe tidak boleh tumbuh terlalu besar nan rindang. Seperti yang pernah Arsus katakan;

"Ketika tumbuh terlalu rimbun, sesuatu yang tumbuh di bawahnya akan mati. Terlalu tamak melahap seluruh sinar matahari. Hingga hanya lumut yang memenuhi. Ketika kau selalu membantu prajuritmu, mereka akan terlalu bergantung kepadamu dan kehilangan kepercayaan diri untuk mengambil inisiatif dari intuisi mereka sendiri."

Wazee tiba dengan tergesa. Dia menatap nanar jasad Wyns. Tak ada satu patah kata pun dari bibirnya. Dia hanya bersimpuh dan mengusap wajah Wyns sekali. Murid sekaligus rekan sesama Nyrs yang paling Wazee hormati telah tiada. Hatinya perih, tentu saja. Namun, mau bagaimana lagi? Merelakan adalah hal yang paling benar.

"Segera kuburkan Wyns." Wazee juga meminta beberapa prajurit untuk memberi kabar kepada seluruh rakyat.

Pemulasaran jasad Wyns dilakukan oleh saudara-saudaranya. Membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya. Nex memberikan pakaian terbaiknya untuk Wyns.

Rakyat Entrella berkumpul ketika Wyns di makamkan di sebuah bukit. Seorang pemahat menyumbangkan peti mati berwarna putih. Peti satu-satunya yang masih cukup bagus diantara peti yang terkena reruntuhan bangunan.

Ribuan air masih belum lelah menjatuhkan dirinya. Penghormatan terakhir untuk Wyns. Semua orang membungkuk tepat ketika peti mati Wyns masuk ke liang lahat. Noe, Faust, Vin, juga Quint. Memori mereka terbang, teringat Arsus dan Seta. Kedua orang itu tidak bisa mereka beri hormat layaknya Wyns.

Namun, mereka berharap kepada Dewa untuk memberikan tempat yang istimewa pada Arsus, Seta, tak terkecuali Wyns.

Untuk para prajurit yang tewas. Mereka di kuburkan dalam satu dataran yang luas. Membutuhkan waktu lebih dari dua pekan untuk mengumpulkan mayat-mayat anak buah Noe yang masih bisa dijangkau dan di bawa. Jika sudah membusuk, mereka di kubur di bawah tumpukan batu dengan pedang menancap di atas gundukan, sebagai simbol mereka telah tewas dalam perang.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang