Hampir seperti menaiki roller coaster dengan jalur jungkir balikyang tiada habisnya. Seta mendarat dengan tidak elit. Terjungkal, lalu menggelinding. Kepalanya pusing, perutnya mual bukan main. Sensasi itu terasa sangat menyebalkan.
Cukup lama, Seta menenangkan diri, dengan posisi meringkuk, berhias peluh sampai rambutnya lepek. Beberapa saat kemudian, dia menegakkan tubuh dan disapa oleh Amren yang berjongkok di depannya. Melihat dengan mata merah sangarnya. Seta juga tak takut untuk bertemu manik sewarna darah itu.
"Sialan! Kau tidak pernah bisa kubaca." gerutunya, seraya berdiri, meninju angin. Lalu kembali ke Seta. Menerkam dagu dengan tangannya. "Tenang saja, aku tidak akan melukaimu. Aku tidak sepicik itu menyiksamu dulu lalu membunuhmu. Itu tidak adil karena tak ada perlawanan. Tunggu saja waktunya."
Seta berlari ketika Amren berjalan menjauhinya. Namun, tinggal beberapa langkah jaraknya dengan iblis itu. Seta seperti menabrak sesuatu karena tubuhnya terpental seketika.
Menyadari itu, Amren berbalik. "Kau tidak akan bisa keluar dari penjara mantraku, Jolyon. Selamat menikmati malammu di sini."
"Argh!" Seta mengacak rambutnya sebal. Manik birunya mengedar tempat gelap itu, lantai batu, dinding batu, apa ini gua? Penerangan hanya ada di dekat pintu mantra. Terasa seperti penjara bawah tanah. Namun, tak memiliki jeruji besi atau pintu kayu sebagai penghalangnya. Menekuk kaki dan memeluknya. Bagaimana caranya dia keluar dari tempat itu?
Memikirkannya membuat Seta mengantuk. Tak sadar, tubuhnya limbung membentur lantai. Mungkin saking lelapnya, sampai Seta tidak terbangun.
Hingga beberapa waktu, cukup lama sejak Seta tidur. Dahinya tampak mengernyit, bibirnya bergetar, sesekali terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu.
Menyelami dunia mimpinya. Seta memasuki sebuah ruangan yang dia tahu itu di dalam kastil Entrella. Seta mulai hapal dengan seluk beluk di dalam sana. Semua nuansa disana tampak hitam dan putih saja. Kaki telanjangnya menapak selangkah demi selangkah menuju seseorang yang sedang berada di tengah ruangan dengan tungku perapian yang menyala ... merah.
"Velna Karalis! Ku persembahkan raga ini untukmu!"
Dengan tenang, pria muda itu mengiris telapak tangannya menggunakan sebuah belati.
Tunggu! Belati itu ... belati yang menjadi abu.
Mulut Seta terbuka tanpa perintah ketika darah dari tangannya jatuh pada seonggok jantung manusia tepat di hadapannya. Detik berikutnya, jantung itu berdetak. Senyum pun terpancar dari mulut si pria—Amren. Seta tidak tahu isi kepalanya mendadak di penuhi nama itu.
"Terimalah persembahanku." Dia merentangakan tangannya, mendongak ke atas. "Damailah di tubuhku dan berikan kekuatan penuhmu."
Berangsur dalam sekejab, tungku api itu padam dan menyala kembali. Dengan cepat si pria menusukkan belati itu ke dada tepat dimana jantungnya berada. Membuatnya berteriak kesakitan, menggelepar, dan meronta di lantai. Namun, hanya beberapa saat karena dia mendadak tak bergerak dan menutup mata.
Tak lama setelah itu, matanya terbuka kembali. Manik hitam itu berubah semerah darah. Bersamaan mata Seta yang terbuka, bangun dari mimpinya. Terengah, berkeringat, kerongkongannya juga terasa kering. Seta jadi ingin minum. Mana tidak ada air pula.
"Dasar iblis, bercandanya kelewatan." Harusnya Amren sediakan makanan, walau status Seta itu sandera. Katanya tidak akan membuat lawan lemah? Tapi Seta haus. Sama saja bukan?
Terpekur sejenak. "Ini siang atau malam? Atau jangan-jangan masih hari yang sama? Seharusnya Amren beri ventilasi di sini." Seta tertawa sendiri. "Aku gila."
Semakin kesini, entah kenapa Seta merasa sangat tenang saat berhadapan dengan Amren. Seseorang yang dia pandang Quint tapi Amren, Amren tapi Quint itu sama saja.
Dia penasaran, sampai mana kekuatan iblis itu? Kalau dia kuat, kenapa harus dibantu pasukan? Harusnya lawan saja sendiri, bukankah dia hebat? Beraninya keroyokan.
Kalau belati Zobens memang benar dapat membunuh Amren. Bagaimana Seta mengembalikannya ke bentuk semula? Belati itu masih dalam bentuk abu. Kantung abunya saja dia bawa kemana-mana. Siapa tahu bisa muncul lagi itu belati.
Sepertinya benar, Amren memang kesepian. Disini saja tidak ada orang, tapi mungkin ada hantu?
Seta! Berhentilah berpikiran konyol!
Maaf jika kewarasan Seta mulai lenyap. Ini semua bukan kemauannya. Mentalnya sudah diserang sejak pertama kali berada di Entrella. Dia jadi berpikir bahwa dirinya sudah cocok hidup di sana. Tanpa fasilitas dari dunianya berada. Handphone, TV. Ah! Seandainya saja ada TV, Seta bisa menunggu kematiannya sembari menonton film horor atau thriller.
Bicara tentang kematian. Memang Seta belum tahu dirinya sudah mati atau tidak. Pasalnya dia tidak pernah dapat tanda kehidupan atau pemakaman di dunia aslinya. Harusnya adalah mimpi atau bagaimana. Biar nasib Seta jelas. Kalau mati, yasudah.
Ringan sekali bicara mati kau Seta.
Seta mulai berpikir kembali. Apa yang dia lakukan benar? Membuat dirinya dikurung lalu dibunuh. Menyerahkan nyawa semudah menyerahkan rumput ke kuda. Apa semua ini benar? Atau ternyata hanya jebakan Amren semata? Untuk memancing para kakaknya, lalu membunuh mereka satu per satu ketika mereka kesini untuk mencarinya? Seperti Arsus.
Seta pikir tidak akan serumit itu masalahnya. Nyatanya? Kalaupun benar mereka akan menolongnya. Seta harap jangan, dia akan bertanggung jawab sendiri jika masalah ini timbul karena ulahnya. Asalkan mereka selamat, mereka bisa hidup damai.
Namun, sepertinya harapan Seta meleset. Vin dan yang lain, sedang berangkat menuju ke tempat Seta berada. Kecuali Faust, dia menuju ke tempat dimana Mala berada. Ya, Velnias Miskas. Bersama Svets sang Viatori bersama dua Griffin, masing-masing menunggangi satu.
Dengan misi menaklukan Mala. Noe yakin Faust bisa melakukan itu. Adiknya itu punya keistimewaan. Griffin itu terbang cukup cepat, melintasi Velnias Miskas dari atas, yang bisa mereka lihat hanyalah kabut tebal memeluk tempat itu.
Tidak butuh waktu lama, Griffin mereka ajak terbang rendah. Namun, belum apa-apa. Semburan api muncul dari bawah seolah ingin melahap keempatnya.
Berbelok cepat, menghindari bahaya itu. Lalu menukik, memutari, menghampiri sang naga yang terus menyemburkan api panasnya.
Tepatnya di samping kepala dan leher panjangnya. Faust menyiapkan panah ruhnya. Tetapi belum apa-apa, Mala terus menerus menghadiahi dirinya dengan api.
Svets tak ketinggalan memberi pengalihan. Agar Mala tidak menyerang Faust terus. Membiarkan pemuda itu menyiapkan senjatanya. Sesekali Griffin yang Svets tunggangi, mencakar kulit Mala yang bahkan cuma tergores kecil. Namun, cukup untuk melukai Mala.
Hanya saja, kala sedang giat-giatnya menyerang. Svets tak sadar, bahwa ekor Mala sedekat itu untuk mampu menyabetnya. Tidak butuh waktu banyak untuk membuat Svets dan tunggangannya terlempar jauh.
Faust hampir melesatkan panahnya, kalau Mala tidak menyemburkan api tiba-tiba. Mengakibatkan Griffin memekik, berdiri di udara, menghindari api. Hal itu juga yang akhirnya menggulingkan Faust, dirinya jatuh tepat pada rerantingan pohon dan terjerembab di tanah lembab.
Mala menggunakan kesempatan itu untuk menghabisi Griffin yang masih setia terbang di atasnya. Faust menatap nanar dari bawah ketika hewan itu jatuh terbakar tak jauh darinya.
Mengetahui manusia hidup di bawahnya, Mala bersiap mengisi mulutnya kembali dengan api. Berputar membentuk pusaran hitam panas di dalam sana.
Tidak, Faust tidak boleh mati disana. Sialnya, partikel ruhnya tidak sebesar tadi. Velnias Miskas mempengaruhi itu semua.
Faust masih mencoba membuat anak panah di busur yang mulai memudar.
"Ku mohon." []
Wonosobo, 2021, 9 Juli.
Hoiland

KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓
خيال (فانتازيا)[FINAL] "Hei, pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa." Bermula dari jatuh ke jurang. Tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang tak dia kenal bernama Entrella. Bertemu dengan orang-orang ajaib bagi benak pemuda itu. Di sana, dia dihadapkan pe...