[FINAL]
"Hei, pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa."
Bermula dari jatuh ke jurang. Tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang tak dia kenal bernama Entrella. Bertemu dengan orang-orang ajaib bagi benak pemuda itu.
Di sana, dia dihadapkan pe...
Vin menghentikan kegiatannya, karena memang sudah selesai. Lalu, dia memberikan satu tusuk ikan bakar kepada Wyns.
"Apa?"
"Aku hanya akan bicara intinya saja. Aku dan kakakmu yang lain ... Kami menyembunyikan sesuatu darimu." Vin sedikit tak paham. Ketara sekali dahinya yang berubah penuh kerutan. "Aku tidak akan menjelaskannya di sini."
"Lalu?" Vin benar-benar penasaran. Wyns seolah tidak pusing memikirkannya. Manik sipit itu tertuju pada kobaran api unggun yang melahap susuan ranting dan kayu.
"Besok ketika kita sampai di hadapan Amren. Dengarkan saja apa yang dia katakan. Iblis itu tidak pernah membual." Ada perasaan tidak enak di hati Vin. Kenapa sang kakak bicara demikian.
"Aku tidak ingin kau berpikir bahwa kita selalu benar. Amren tahu segalanya, jadi iyakan saja pernyataan yang dia katakan. Kau paham?" Sang adik tidak mengangguk ataupun menggeleng. Keduanya sama-sama terus menatap perapian di malam yang semakin merah itu.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Teringat percakapan kemarin malam. Wujud bulan pun bertambah semakin merah dan bukan pertanda baik. Namun, Jolyon masih bisa diselamatkan, batas waktunya sampai penghujung malam ini.
"Dariet to!"
Vin menghindar ketika pedang Wyns menancap pada sesuatu tak kasat mata dan membuat keduanya terpental. Lalu, dengan sendirinya pendar biru itu meluas, membentuk garis lingkar tak beraturan yang semakin lama semakin besar setelah pedang Wyns terjatuh, membuat bunyi yang cukup keras.
Sepasang kakak-beradik itu tersenyum begitu pendar berhenti bercahaya. Nampak seseorang yang memeluk lutut dan menenggelamkan wajah di lengannya.
Amren tersadar ketika tahu Vin dan Wyns hanya bersandiwara. "Sialan kalian!"
Vin dan Wyns memang tidak merencanakan apapun. Dari awal mereka melakukan semuanya sesuai kemauan Amren, yaitu diadu domba. Namun, dengan akhir yang mereka susun di otak masing-masing. Bak telepati, Wyns tahu apa maunya Vin. Membuka penjara mantra milik Amren. Wyns juga sadar ketika Amren memandang sebuah ruang yang seakan kosong. Kebetulan sekali Wyns juga tahu tipe penjara seperti apa yang iblis itu buat.
"Menarik sekali." gumam Amren ketika melihat Wyns juga Vin menghampiri sang adik kecil, Jolyon.
"Ayo pulang." Seta seperti orang linglung. Dia bingung sendiri dengan kehadiran dua kakaknya.
"Berapa hari aku di sini?"
"Lima," jawab Vin pelan seraya menaruh lengan Seta di pundaknya. Seta nampak sangat pucat dan lemas.
"Kalian kira semudah itu membawa peliharaanku?"
Iya, memang tidak mudah. Wyns mengambil alih Seta. Sedangkan Vin bersiap melawan Amren. Walau dia tak yakin mampu mengalahkan iblis itu. Namun, belum apa-apa, punggung Vin sudah terbanting keras pada dinding batu yang tidak ada halus-halusnya. Bahkan sampai membuat batu-batu yang menggantung berguguran menimpa Vin. Dia menggeliat dan merintih kecil sebagai tanda kesakitan.
"Habisi aku kalau bisa," tantang Amren beralih pada Wyns yang tengah memapah Seta.
"Kak," Seta menggumam pelan.
"Aku akan baik-baik saja." Tidak, itu malah membuat Seta cemas berlebihan. Masih sama seperti sebelumnya, Wyns menyusul Vin. Dia terlempar agak jauh sampai tangga, menggelinding cepat, dan membentur dinding pembatas tangga.
"Sial." Seta harus berhadapan langsung kali ini. Beruntung dia tidak dibiarkan kelaparan dan kehausan. Untuk ukuran iblis, Amren sedikit memiliki rasa tanggung jawab. Apa karena dia tidak mau melawan seseorang yang lemah? Mungkin saja. Makanya Seta diberi makan.
Entah pemikiran dari mana. Seta berlari ke arah Amren yang membelakanginya. Lalu melompat dan mendarat di punggung Amren. Kedua kaki dan tangannya mendekap erat sang iblis. Sejurus kemudian, Seta mendekatkan mulutnya ke arah telinga Amren. Seketika, Amren berteriak kencang karena Seta menggigitnya.
Nahas, Seta tak memperhitungkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia ditarik dan dibanting ke arah depan. Tak tanggung-tanggung, Amren menendang ulu hati Seta hingga anak itu terlempar ke batu-batu berujung lancip dan merantasnya.
Bukan main sakitnya. Kekuatan Amren luar biasa kuat. Punggungnya seolah patah. Kepalanya bagian belakang juga sudah berdarah.
"Tak akan ku biarkan kau menyakiti adikku!" Vin geram, dia berlari dari tempatnya terjerembab. Menghunuskan pedangnya ke arah Amren. Namun, gerakannya terhenti saat Amren menghentikan lajunya hanya dengan tangan. Padahal mata pedang milik Vin sudah menempel di telapak tangan Amren, tapi dia sama sekali tidak bisa melanjutkan langkahnya.
"Percaya diri sekali kau, Vin." Amren menyapu sekitar, lalu berhenti tepat di dwimanik milik Vin.
"Jangan tatap matanya, Vin!" teriak Wyns setelah berjibaku dengan kakinya yang dia rasa patah. Bola mata Vin ingin sekali menghindar, tapi tidak bisa. Netranya hanya bisa bergerak gelisah dan terasa basah. "Vin!"
"Bunuh Wyns." Terdengar mengerikan. Suara itu sungguhlah berat. Detik berikutnya, Vin tampak berbeda. Bola matanya berubah sewarna darah.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Wyns menggeleng cepat, tidak mungkin Vin dalam pengaruh sihir Amren. "Vin! Sadarlah!" Nyatanya semua itu tiada guna. Vin mulai mengejar Wyns yang masih diam di tempat. Dia tidak melarikan diri.
Amren mulai tertawa ketika Vin mengayunkan pedang secara membabi buta pada Wyns yang pincang. Dia pasti tidak cukup waktu untuk menyembuhkan dirinya sendiri. Sebuah pertunjukkan yang menarik. Selagi menunggu bulan menjadi merah sempurna.
"Vin!" Percuma. Wyns hanya harus meladeni sang adik. Tapi keadaannya tidak memungkinkan. Apalagi dia bukan petarung hebat.
Pedang dalam genggaman Wyns seolah akan terbelah menjadi dua menerima serangan terus-menerus dari Vin. Dia harus menggunakan mantra kalau begini. Sembari memusatkan keonsentrasi, Wyns terus saja melafalkan sesuatu di dalam kepalanya. Tidak lama, pendar biru segera menyergap senjata miliknya.
Desingan dari dua benda panjang itu menggema ke setiap sudut gua. Mereka masih beradu pedang dan belum ada satu pun yang menunjukkan tanda lelah. "Lama sekali, kapan kau akan menancapkan pedangmu di dada Wyns, Vin?"
Napas Wyns terengah, ketika dia menahan serangan Vin hingga dirinya terpojok di dinding. Mata Vin sungguh berkilat marah lagi merah. Tidak ada kelembutan di sana.
"Vin, kumohon sadarlah!" Sekali lagi, mereka berdua menari tanpa henti. Wyns mulai kelelahan setelah mempertahankan mantra menyelimuti pedang. Di saat mantranya perlahan hilang. Vin yang tak sadar mengambil kesempatan. Mengayunkan pedangnya ke samping, membuat Wyns kehilangan cengkraman pada pedang. Saat itu, waktu seolah merambat sangat cepat, sampai Wyns tak bisa menolak ketika pedang Vin menghunus ke perut dan tembus melewati punggungnya. Membuat sang kakak muntah darah dan ambruk seketika saat Vin menarik pedangnya.
Seta yang mencoba berdiri sejak tadi melihat semuanya. Air matanya lolos begitu saja, dia terisak tanpa suara saat melihat kakaknya lagi-lagi terbunuh. Mirisnya, Wyns terbunuh di tangan Vin.