XLII

575 91 12
                                    

Hanya mampu ternganga tanpa suara. Faust, Noe, dan Vin menatap Amren serta Eiden dalam wujud Seta nanar.

Apalagi bagi Vin yang tidak tahu kejadian apa yang menimpa orang-orang mati tetapi hidup kembali dalam raga orang lain. Bagi Vin, semua ini bagai awan hitam yang menggantung di atas kepala dan selalu mengikuti ke manapun mereka pergi. Di saat yang sama, Faust dan dua adiknya kedatangan beberapa pasukan Amren yang berhasil menerobos gua.

"Tidak ada kesempatan lagi bagimu, Eiden."

"Siapa? Siapa yang berani bicara?!" Amren dan Eiden seketika bergerak begitu cepat. Seakan saling menabrakkan diri. Melesat, sama-sama menerjangkan belati.

Amren menyeringai ketika berhasil menyayat perut bagian samping kanan Eiden, katakan saja nama itu. Karena Seta memang sudah mati. Iya, dia ... mati. Walaupun begitu, Eiden tetap merasakan sakit yang tidak pernah dia rasakan lagi.

Ingin Eiden melesat lalu membantai Amren membabi-buta, tapi itu hanya akan memberikan petaka lain. Eiden bagaikan terjebak di persimpangan. Membinasakan Amren itu misi utamanya, tapi melindungi Quint juga sebuah prioritas.

Tak ada pilihan lain, Eiden terpaksa menurunkan tempo bertarungnya, demi meminimalisir efek fatal yang akan berimbas pada Quint. Pilihan itu menempatkan Eiden terpaksa berlama-lama berurusan dengan bedebah ini.

Eiden membangun kuda-kuda, menjejakkan kaki kuat-kuat dan menyerang Amren yang tengah menampilkan senyum bengis. Disela langkah yang Eiden ambil. Sebuah belati melayang cepat ke arah wajahnya. Beruntung, Eiden mampu menghindari lesatan dengan memalingkan wajah sehingga belati menancap pada batu. Amren tak mau kalah, masih dengan sihir, dia menariknya kembali. Sayang sekali, benda itu menyayat kulit Eiden sepanjang tulang pipi. Membentuk garis tak beraturan.

Dari menggerakkan benda-benda, melakukan sihir, sampai mempengaruhi pikiran, bukan perkara sulit untuk Amren. Memang itu keahliannya dan itu sungguh menguntungkan saat di posisi seperti ini.

Bukan masalah bagi pria itu. Memang benar, melawan Amren saat ini butuh sekali kemampuan yang mumpuni. Diimbangi pula dengan waspada tinggi. Walau Eiden tahu, kekuatannya tak sebanding dengan iblis jahanam satu itu.

Eiden berlari ke arah Amren, melompat dan menendang dada sang iblis dengan kedua kakinya. Mereka mulai bergulat sengit. Pertarungan jarak dekat memang sangat cocok dengan belati yang sama-sama mereka miliki.

Eiden menggenggam belatinya terbalik. Karena dia memerlukan keterampilan tambahan dalam gerak kaki yang lebih gesit dari sebelumnya dan gerak tubuh defensif untuk mengimbangi peningkatan bahaya. Gerakan Eiden berubah menjadi lebih cepat seiring lamanya pertarungan.

Keduanya begitu agresif. Saling menyerang dan menangkis. Menekan satu sama lain di ruang yang tidak terlalu sempit itu. Dalam suatu kesempatan Eiden mencoba untuk menusuk perut musuhnya, tetapi dengan cepat Amren menahan serangan itu. Mencekik Eiden, lalu mendorongnya ke dinding.

Jiwa yang ada di dalam tubuh Seta itu tidak langsung menyerah begitu saja. Eiden menjulurkan kaki sebelum tubuhnya mencumbu mesra dinding gua. Menahan pada dinding batu dan memakainya sebagai tumpuan untuk berjalan cepat dan melentingkan tubuh, melepaskan diri dari Amren.

Dengan cepat membenarkan posisi siaga. Eiden kembali menyerang Amren. Dia menendang lutut sang iblis. Membuat Amren terjatuh, lalu saat itu, Eiden mengambil kesempatan menendang lagi dada musuhnya.

"Maaf Quint," gumam Eiden. "Aku tidak akan membuatmu mati, tenang saja."

Semua tidak berarti apa-apa bagi Amren. Seolah sentilan kecil, tak menyakitkan sama sekali. Dia masih bisa berdiri gagah alih-alih tumbang.

Eiden masih terus mencoba melumpuhkan Amren. Menjajal mengarahkan pukulan ke rahang Amren. Tak lupa menghindari tinjuan balik sang iblis dengan menunduk dan terus meninju bagian perutnya. Memutar ke belakang Amren sambil menyikut kuat rusuk sebelah kanan.

"Tidak buruk," kata Amren remeh.

Begitu keduanya maju, Amren langsung menahan Eiden dengan mencengkeram bagian rahang, melemparnya ke dinding batu dibantu kekuatan sihirnya.

"Kau hidup sebatang kara, Eiden. Haruskah kita saling membunuh? Bukankah lebih baik jika kita bersatu menguasai dunia ini?"

"Tidak akan!"

Eiden kembali berlari membawa belatinya. Mencoba menusuk Amren yang terpojok di dinding gua. Namun, iblis itu menahan serangan dengan mudah. Kekuatannya memang tak tertandingi. Eiden harus ingat, tujuannya hanya membuat Amren lelah, tetapi yang terjadi malah dirinya yang kehabisan energi.

Amren lagi-lagi dapat bebas dari serangan dengan menggeser tubuh ke samping, mengakibatkan Zobens menancap pada celah batu. Tak butuh waktu lama. Amren memelintir tangan lawannya. Kemudian mengangkat dan membanting tubuh Eiden. Detik itu, Amren kembali memunculkan belati spiral miliknya. Iya, dia bisa mengeluarkan saat dibutuhkan dan menyimpan ketika merasa tidak perlu digunakan.

Amren membuat Eiden berada digenggaman dengan sihir. Lalu, dia cekik hingga terangkat seperti terakhir kali dia lakukan pada Seta. Eiden meronta saat Amren benar-benar akan menusukkan benda tajam ke leher.

Sesekali Eiden melirik ke arah belati spiral milik Amren. Lalu, beralih ke mata sang lawan. "Q-quint, ka-u men-de-ngarku?"

Eiden berusaha melepaskan diri sembari mencoba berkomunikasi dengan Quint. "Kau mencoba bicara padanya? Tidak akan pernah bisa."

Terlintas di kepala sebuah perlawanan, Eiden mengangkat kedua kakinya dan mengalungkan mereka di pundak Amren. Dengan begitu, dia bisa lepas dari kekalahan yang hampir merenggut jiwa. Keduanya terjatuh dengan posisi punggung Eiden menimpa lantai untuk kesekian kali. Menggunakan kesempatan karena posisi kakinya masih menyangkut di pundak Amren. Eiden melancarkan aksi dengan menendang dada Amren, hingga membuatnya terbang membentur langit-langit berbatu.

Bukan Amren kalau masih bisa jatuh dengan siaga. Kembali menyongsong Eiden yang tengah berdiri. Menerjang keras, membentur dinding lagi, lalu mencoba memberikan kenang-kenangan di perut Eiden. Laki-laki itu berusaha menahan tangan Amren. Namun, tidak bisa. Perlahan namun pasti, Amren mulai menekankan dan diputarnya ujung lancip belati ke perut Eiden.

Jiwa itu merasakan seperempat dari belati sudah menembus kulit. Eiden menahan napas, masih berusaha menahan sekuat tenaganya. Tidak sampai di sana. Belati yang masih menancap, Amren tarik ke atas. Membuat sensasi sakit yang lebih buruk bagi Eiden. Namun, menyenangkan bagi Amren.

Tidak! Eiden tidak boleh mati sekarang. Kesempatan ini tidak boleh berakhir dengan kematian lagi. Bertemu tatap dengan Amren meningkatkan rasa geram Eiden. Tidak ada ampun lagi baginya.

Saat terdesak, apapun bisa diperbuat. Eiden mempertemukan dahinya dengan dahi Amren. Iya, cara itu ternyata berhasil untuk sekedar melepaskan diri. Membuat Amren mundur sejenak. Memberikan jeda dan jarak untuk dirinya sendiri mengatur napas. Sesekali menengok pada Zobens yang masih gagah menancap di dinding.

"Menyerah saja, lah." Amren berjalan dengan santai ke arah Eiden. Tidak terjadi apapun setelah diseruduk keningnya. Amren datang kembali dan menjambak Eiden sampai kepalanya mendongak. Bahu Amren bergetar kencang dengan suara menyebalkan yang keluar dari mulut.

Eiden menjawab dengan sangat tenang, "Aku tidak akan membiarkan iblis sepertimu hidup. Aku tidak akan membiarkan usaha mereka semua sia-sia begitu saja." Nampak begitu sinis Amren memandang. Tangannya mulai menyiapkan lagi belati yang telah beberapa kali meneteskan darah milik Eiden. Amren sudah gatal ingin segera menusukkan senjata ke dada orang yang berada dalam genggamannya saat ini.

"Kalau begitu, bersiaplah untuk mati." []

Hoiland
Wonosobo, 2021, November 30

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang