XXXI

562 101 18
                                    

"Kau tak apa?"

Jangan bercanda. Apa dirinya nampak baik-baik saja,Vin? Tubuh Seta bahkan gemetaran saking kagetnya.

Sedetik setelah Beck—orang kepercayaan Noe—yang memiliki insting di luar nalar. Dia seperti binatang, bisa mencium sesuatu yang asing. Anak buahnya, berubah menjadi awas, mengamati sekitar. Hingga, lagi-lagi. Jantung Seta terasa anjlok.

Bagaimana tidak, dihadapkan ujung pedang lancip tepat di depan, hanya beberapa inci dari pangkal hidungnya.

Tes!

Berikut setetes darah yang tiba di pipi, dekat cuping hidungnya.

Srash!

Seketika Seta menutup matanya ketika darah dari sesuatu di hadapannya itu muncrat kemana-mana. Sebab Beck menarik pedangnya ke atas, membelah sebuah kepala, membuatnya tergeletak mati setelah ekornya bergerak rusuh beberapa detik.

"Vin." Beck adalah pengecualian, orang yang boleh memanggil para Pangeran hanya dengan nama. Karena masih bersaudara dengan mereka. "Bawa adikmu pergi."

Seta begitu pucat, sangat kontras dengan titik-titik darah yang berada di wajahnya. Tangannya bergetar hebat, karena terlalu kaget. Apalagi dengan dua mahkluk yang mati di arena latihan. Berkepala manusia, tubuhnya melengkung, karena tulang punggung yang menonjol, namun bagian pinggang kebawah seperti kalajengking, dengan ekor berotot, dan ujungnya yang lancip. Hanya saja bagian mulutnya, memiliki 4 taring di bagian mulut atas, dan dua di lidahnya yang membelah. Tangannya panjang, dengan tulang hasta yang menonjol.

"Leaper, dia haus darah. Bentuknya juga buruk, dan bau busuk. Mereka tidak terlihat, namun setelah mati, akan nampak bentuknya." Seta tidak begitu dengar. Dia sangat pusing, karena keterkejutan yang melandanya. Untung dia tak punya riwayat penyakit jantung, ya? Kalau punya, mungkin sudah cardiac arrest.

Seta pergi ke paviliun tabib istana. Tidak ada Wyns disana, tapi ada Alf. Lagipula disana tempat teraman untuk saat ini, tersembunyi, di bawah tanah, namun tetap nyaman. Vin dengan telaten, membersihkan darah di wajah Seta—yang cuma bergeming.

"Kepalaku pusing."

"Alf sedang membuatkanmu ramuan. Tahan sebentar, setelah itu kau boleh tidur."

"Sampai kapan?"

"Seben ...."

"Sampai kapan semua ini berakhir? Aku ingin pulang." Vin paham, pulang yang Seta maksud, adalah kembali ke dunia asalnya. Tapi dia pun tak tahu, bagaimana caranya anak ini dapat pergi kesana. Dari awal dia tidak mengerti Seta yang menurutnya ajaib ini. Kendati saat ini, Vin tak ingin Seta pergi. Dia sudah kehilangan Quint. Masa harus kehilangan adiknya ini?

"Minum ini." Terima kasih Alf, sudah menjadi penengah mereka. Vin juga tak tahu harus menjawab apa. Dalam tiga kali teguk, ramuan dalam bejana perak itu berhasil membasahi kerongkongan Seta yang mendadak kering.

Beberapa menit setelahnya, Seta mulai mengeluh. "Kenapa mataku buram juga berat?"

Vin mengernyit, merasa heran. Hanya sepersekian sekon. Karena berikutnya, Seta mendadak jatuh di dadanya. Lelap.

Vin menatap Alf yang tersenyum damai. "Sangat efektif untuk orang yang sedang panik dan ... takut." Sebentar, takut?

"Fomenta, ramuan pendeteksi perasaan. Memiliki zat yang akan aktif dan bereaksi ketika peminum sedang berada dalam perasaan tertentu. Dan adik kecil anda, sedang sangat ketakutan."

Berpikir sejenak. Lalu tersenyum miris. "Tentu saja, siapa yang tidak takut, kalau dirinya berkali-kali hampir jadi santapan iblis."

'''

"Apa yang terjadi?"

Wyns datang, bertepatan ketika anak buah Beck, menyulutkan api pada dua iblis tewas itu. Lalu terdiam ketika matanya yang berkilat, menemukan bangkai yang tengah terbakar.

"Mereka seperti bunglon."

"Tidak, dia tidak bisa berada disini."

"Lalu aku harus kemana?" Semua tertuju pada Seta. "Kenapa tidak ada yang menginginkanku? Kecuali iblis itu. Apa aku harus menyerahkan diri, agar ini semua berakhir? Aku muak! Harus di lempar sana! Lempar sini!

Sekali saja, ku mohon. Kalau perlu, akan aku hadapi dia. Dengan jaminan nyawaku sendiri. Aku lelah! Aku ingin berhenti takut sekarang juga!" Kepala Seta terasa sangat penuh. Rasanya akan meledak saja. Napasnya tersengal.

Seta berjalan cepat, keluar dari sana. Berpapasan dengan Vin yang bingung dengan sikap Seta. Menubruknya kasar, lalu berlari menjauh.

Menenggelamkan diri, di kolam pemandian adalah salah satu cara pelarian Seta. Katakan saja, dirinya hampir depresi. Mengingat bagaimana dia berada disana tiba-tiba. Pula tak ada penjelasan tentang kejadian itu. Lalu dihadapkan pada situasi-situasi yang tidak pernah dia mengerti pula mengerikan itu.

Beberapa menit di dalam sana sepertinya cukup untuk mendinginkan kepala dan segala-galanya. Hanya saja, ketika Seta hendak mengangkat kepala, juga tubuhnya. Sebuah tangan menekan dadanya kuat.

Panik, Seta meronta di dalam air. Dada kirinya juga sakit, rasanya seperti ditusuk. Dia kelabakan, air mulai masuk ke mulutnya, Seta mencari oksigen. Saat itu pula, dia di tarik keluar dari air.

Uhuk!

Uhuk!

Disela batuknya, dia mendengar tawa. Dari suaranya, dia kenal warna suaranya. Setelah mereda, matanya menuju pada apa yang tengah menyeringai padanya.

"Kak," Lirih Seta.

"Menyenangkan bukan?" Lagi, tawa remeh itu datang dari dua belah bibir plumnya. Seta tahu kini yang berada di hadapannya ini adalah sesuatu yang lain.

"Aku tidak akan membunuhmu sekarang Jolyon. Karena aku juga akan mati jika ku lakukan itu, dan itu hanya berlaku untukku. Akan ada waktunya nanti ... ketika bulan semerah darah secara sempurna."

"Apa setelah membunuhku kau tidak akan macam-macam?" katanya sembari meringis. Dadanya masih nyeri.

"Tergantung dengan para manusia bodoh itu. Mereka akan tetap bertingkah. Dan aku tidak akan segan mencabut nyawa mereka."

"Apa yang menyenangkan dari ini semua? Setelah kau dapat segalanya, lalu apa?" Seta terkekeh. "Kau akan memimpin dunia? Kau akan menjadikan para manusia itu budak? Lalu? Setelah itu apa?"

Seta kembali meringis, kala tangan itu semakin kuat mencengkeram erat bajunya. Jari-jarinya mengangkat dagu Seta kasar. "Aku akan mencabut kebahagiaan mereka, membuat mereka hidup dalam sengsara tak berkesudahan." Bibir itu tersenyum miring, menampilkan sedikit keganasannya.

"Seharusnya kau yang merubah dirimu. Kau yang tak suka mereka, kau yang bermasalah dengan dirimu sendiri. Kenapa kau hancurkan orang lain? Apa yang kau cari dengan kebencianmu, itu?" Seta nampak sangat tenang, seolah sudah siap menjemput kematian. Bukankah orang yang melakukan apapun termasuk kekacauan adalah mereka yang kesepian? Dia hanya marah pada diri sendiri, karena tak memiliki siapapun.

"Diam kau! Atau aku sobek mulut sialanmu itu!" Jemarinya bertengger di leher Seta kuat. Dingin, telapak miliknya sangat dingin. Tidak ada kehangatan disana. Apalagi karena Seta yang terpojok ke dinding kolam. Jangan lupakan, kukunya yang menancap di kulit lehernya. Mencecap sedikit darah Seta di sana.

"Siapa kau, bisa berbicara seenaknya terhadapku?!" Matanya nyalang tepat di manik biru Seta. "Sialan! Aku tak bisa membaca pikiranmu."

"Jolyon!"

Sudut bibirnya terangkat lagi, menyeringai saat mendengar suara dari luar. "Terlalu mudah sebenarnya untuk membawamu. Akan aku jadikan ini sebuah permainan yang menarik. Pada akhirnya juga, kau akan mati di tanganku.

Ku ingatkan. Percuma jika kau lari, aku akan menemukanmu, dimanapun kau sembunyi. Aku harap kau datang padaku secara sukarela, sebelum aku membuat kekacauan semakin merajalela, bawa pula belati Zobens yang kau temukan. Mari buat perjanjian. []

Hoiland
Wonosobo, 2021, 6 Juni.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang