XLI

519 93 28
                                    

Dia yakin ketika membuka mata, dirinya bukan berada di dunia nyata. Duduk di sebuah lembah landai berkabut tebal yang lama-lama menipis. Dengan tebing tak jauh dari tempatnya. Mega karang membentang sejauh mata memandang. Mengurung Seta di dalamnya.

Tiba-tiba muncul seseorang dari tengah kabut mendekatinya, entah siapa, Seta tidak tahu. Dia begitu tinggi dan sangat berwibawa. Begitu sampai di depan Seta. Pria itu segera menghapus lelehan kesedihan yang menjejak di pipi Seta yang bahkan tak dia sadari.

"Hai, Jolyon. Aku ...." bisik si pria di telinga Seta. Namun, si manik biru tidak mendengar apapun.

"Kau melihatnya, 'kan?" Seta masih bingung dengan apa yang pria itu bicarakan.

"Sebuah penglihatan ketika kau menarik belati Zobens dari sarungnya." Seta terhenyak ketika pria itu menunjukkan sebuah belati yang sangat mirip. "Kau melihat dirimu sendiri menusuk dada Amren yang sudah berubah wujud secara total." Seta mengangguk kaku. Iya, ketika menemukan belati dan saat menariknya, dia mendapat kejutan itu. Sebuah penglihatan. Namun, dia belum pernah mengatakannya pada siapapun. Karena dia takut bahwa semua itu hanya ilusi semata.

"Boleh ku pinjam sesuatu darimu?" Apa? Pinjam apa? Seta tidak mengerti. "Aku akan membantumu, tenang saja, belati itu juga akan muncul nanti."

Berikutnya, Seta seperti mimpi atau berhalusinasi sesaat. Dia membuka mata kembali. Padahal dia merasa tidak memejam barang sedetik pun tadi. Namun, dengan cepat dia sudah berpindah tempat.

Langit-langit batu menjadi pemandangan utama. Setengah tubuh Seta berendam di genangan air. Basah tapi tak terasa dingin. Memutuskan segera membangkitkan tubuh untuk duduk. Bola matanya menuju tempat yang cukup terang di panampakan. Ada penjara dan seseorang tengah meringkuk di sana.

Penasaran. Siapa kira-kira dia? Kepalanya mulai ribut sendiri. Mencoba berspekulasi. Bahkan mengabaikan pertanyaan 'di mana dia saat ini?'.

Meski terlintas sejenak, Seta tak ingin mencari tahu. Lagipula dia harus bertanya pada siapa? Toh, yang ada hanya dirinya dan orang yang kini sudah berada di depan mata.

Mendadak keraguan muncul. Bibir yang terbuka otomatis terkatup sempurna. Namun, belum juga niat ingin berbicaranya menguap, orang yang tadinya meringkuk perlahan terbangun dan menunjukkan rupanya.

"Kak," Seta bergumam lirih.

"Jolyon, ini sungguh dirimu?" Seta mengangguk mengiyakan. "Maafkan aku, aku tidak bisa melindungimu dan kakak-kakak kita." Seketika Seta diam. Sinar matanya berbeda dengan beberapa detik sebelumnya.

"Bagaimana kau tahu, Kak Quint?" Seta tidak mengerti bagaimana dia bisa bertemu Quint dalam keadaan semacam ini. Seta pikir ini alam baka, tapi sepertinya bukan.

"Aku pemilik tubuh, aku tahu apa yang iblis ini perbuat. Rohmu di serap dan sebentar lagi kau akan ... Lenyap." Seta menunjukkan senyum simpul yang nampak begitu kosong. Dia bertanya dalam hati. Apakah ini akan menjadi jalan dia kembali ke dunia nyata? Beginikah pada akhirnya? Dia tak mampu berbuat apa-apa. Malah menyusahkan dan membuat perkara.

"Aku terkejut ketika aku sendiri adalah iblis. Aku mempelajari mereka tanpa tahu di dalam diriku ada sesuatu yang mengerikan. Aku dan iblis ini, kita berbagi pikiran saat ini.

Aku melihat semuanya, Jolyon. Aku membunuh kalian. Walaupun bukan dari pikiranku, tapi itu tanganku. Aku melukai kalian semua. Ini semua salahku."

Quint mulai tersengut-sengut. Sementara Seta menunduk dalam. Membuang sorot matanya ke arah lain. "Kalau saja kau tidak membawaku waktu itu. Membiarkan aku tetap di sana. Mungkin semua ini tidak akan terjadi, Kak." Keduanya saling menyalahkan diri dari sudut pandang masing-masing.

"Apa yang kau bicarakan Jolyon? Kau tahu? Aku sangat senang ketika kau bangun. Ada hasrat ingin melindungimu, walau nyatanya akulah yang lemah di sini." Quint terbahak di sela tangisnya.

"Sebenarnya, untuk apa kita hidup?"

"Kau ini bagaimana, Adik. Kita hidup untuk membuat bahagia orang yang menginginkan adanya kita." Seta kembali menatap Quint. Lalu, mengulurkan tangannya. Melewati celah jeruji.

"Aku pulang ya, Kak." Seketika, hidung Seta mulai panas, pandangannya memburam, hatinya mendadak sakit. Respon tubuhnya sangat cepat. Dalam sepersekian detik.

Quint menangkup jemari adik kecilnya dengan kedua telapak tangan. "Terima kasih sudah berani bertandang kemari. Ke relung jiwaku yang terdalam dan terima kasih karena sudah menyempatkan waktumu berpetualang di Entrella. Semoga kita bertemu lagi kelak. Maaf sekali lagi, aku membunuhmu." Seta menggeleng kencang.

"Bukan salahmu, berikan salamku pada kakak-kakak. Maaf sudah membuat mereka kerepotan. Sampai jumpa, Kakak."

Perlahan tapi pasti. Wujud Seta menghilang sembari tersenyum pada Quint. Seperti petal mawar bercahaya menghambur di udara. Meninggalkan sekelopak yang bersinar di genggaman Quint.

"Selamat tinggal, Seta."

'''

Dalam keadaan yang sebenarnya, Seta sudah tak bergerak barang sesenti pun. Membuat Vin yang baru sadar dari pingsannya, menjerit dan berteriak histeris.

Apalagi saat tahu Wyns juga mati, ditangannya pula. Meskipun dia dikendalikan, tapi tetap saja, Vin merasa sangat bersalah.

"Sialan! Aku tidak peduli lagi. Akan ku bunuh kau, Amren!"

Amren terbahak saat mendengar seruan Vin. Sekali lagi, tanpa menyentuh, Vin sudah dibuat terbang membentur atap gua yang kasar dan jatuh kesakitan di lantai. Noe serta Faust segera mendekati. Namun, mereka juga mendapat akibat yang sama sebelum menyentuh Vin.

"Kalian sampah. Aku ingin bermain dulu dengan kalian. Kalian bersedia?"

"Amren, lawanmu bukan mereka." Seketika Amren terkejut dan berbalik. Menatap siapa yang berani memanggilnya. Bukan, bukan Seta. Suaranya berbeda, tapi dengan tubuh Seta. Lalu, tangannya memegang sebuah belati, belati Zobens tepatnya.

"Eiden?" Amren mendengus. "Apa yang kau lakukan, hem? Dengan tubuh itu."

"Lalu, apa bedanya dengamu?" Amren tertawa keras mendengarnya.

"Jadi kau juga ingin hidup lagi, Eiden?"

"Tidak, aku tidak pernah ingin hidup lagi, kalau hanya sekadar menikmati kekuasaan. Aku bangkit karena ingin ... membunuhmu," kata orang yang Amren panggil Eiden itu.

Amren berjalan mendekati Eiden yang hanya bergeming. Si iblis masih tidak bisa membaca pikiran Eiden. Apa karena Seta?"Kau tidak akan mengulangi sejarah dua kali ... Eiden."

"Kita lihat saja nanti. Belati ini siap untuk memusnahkanmu kali ini. Benda ini tidak akan menyisakan apapun di dunia ini." []

Hoiland
Wonosobo, 2021, November 25

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang