Bergerak meliuk, menari, menjalari udara, seperti sulur yang berkelakar, kemudian hilang membias tanpa jejak. Menyeruputnya konstan sebelum mendingin.
Duduk sendirian, sesekali memandangi kendaraan yang melintas di depannya. Sangat menyenangkan bagi Seta. Melepas penat dan lelah, ditemani cake yang sudah habis barusan. Juga, secangkir kopi yang tinggal setengah.
"Boleh aku duduk disini?"
Mendanga, laki-laki yang menurut Seta rupanya agak seperti seorang profesor atau ilmuwan. Dahi lebar, rambut botak di depan--tipis dibelakang, dan jambang tipis. Jangan lupakan, kacamata bulat yang menggantung di hidungnya. Tanpa persetujuan, karena masih tergemap dengan situasi barusan, dia duduk di kursi kosong, depan Seta, hanya dibatasi meja, sebagai jarak.
Lelaki yang Seta tebak umurnya sekitar setengah abad, tersenyum hangat. Sangat hangat, bahkan Seta merasa mendapat aura seorang Ayah, walaupun tak pernah dia rasakan.
Tidak ada yang dilakukan orang itu, disana. Dia hanya membaca sebuah buku, yang menarik perhatian Seta. Buku lusuh, warnanya pun sudah nampak semakin kekuningan dimakan waktu, dengan sampul yang geripis di bagian ujung-ujungnya.
Namun, lambat laun, Seta seperti mengantuk. Perlahan, matanya menutup sempurna, dengan lipatan tangan sebagai tumpuan kepala. Begitu lelap dan dalam. Seperti tidur melayang di atas padang bunga. Aroma gardenia seakan merambati indera penghirupnya. Matanya rapat, tapi entah kenapa, dia mampu melihat semua. Lalu angin, mulai menerbangkan kelopak bunga itu, bak musim gugur. Tersenyum dia disana.
"Tuan!"
Terperanjat. Seta merasa terkejut setengah mati. Dia kehilangan objek pandangan.
"Ah! Maaf, kau lihat seorang yang duduk disini?" Terlihat bingung--lelaki berkulit cenderung kuning, nampak seperti asiatic mongoloid ; dengan muka oval dan mata sipit--pelayan kafe bahkan mengernyit heran.
"Emm, sepertinya kau bermimpi Tuan. Sedari tadi kau duduk sendiri." Seta tersentak kembali, dia merasa linglung sekarang. Dia bingung sendiri jadinya. "Maaf, kami mau tutup."
Apa? Jam berapa memangnya? Menilik jam di dinding seksama. Ah! Jam sembilan ternyata. "Baiklah, aku akan pergi sekarang."
'''
Satu hari.
Dua hari.
Bahkan seminggu.
Pria itu tak lagi menampakkan batang hidungnya sama sekali. Seta menunggunya hampir setiap malam, bahkan sampai kafe itu tutup. Dan pelayannya juga sudah hapal dengan pesanannya, satu cup kopi, juga chesee cake.
Menyerah? Bukan Seta namanya, dia akan terus menunggu, karena dia merasa penasaran. Dia bertemu manusia atau hantu. Walau Seta dianggap gila sekalipun oleh Dowey, si pelayan. Ya, mereka jadi berkenalan, karena setiap hari, Seta kesana.
"Bagus yang ini atau ini?" Flo menunjuk bunga untuk dia jadikan buket. Seta yang seolah bosan dengan Flo, berdecap.
"Yang kau inginkan seperti apa? Kau bisa langsung pesan, kan? Daripada bingung memilih. Mawar, lily, pioni, tulip atau rangkaian bunga papan sekalian." Ingin sekali Flo menimpuk Seta dengan pot di depannya.
"Aku cuma takut dengan apa yang aku berikan." Seta maju satu langkah, mendekati pot-pot besar berisi berbagai bunga.
"Kenapa tidak mawar putih dan ekstra baby breath?" Flo mengangguk-angguk, berpikir.
"Oke." Setuju dengan usul Seta. Setelah tabrakan waktu itu, Flo memang langsung dekat dengan Kate. Ya, namanya Kate. Gadis yang mempunyai darah Timur Tengah, yang begitu cantik dan lucu. Seta tidak menampik itu. "Omong-omong, gelangmu bagus. Beli dimana?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓
Фэнтези[FINAL] "Hei, pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa." Bermula dari jatuh ke jurang. Tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang tak dia kenal bernama Entrella. Bertemu dengan orang-orang ajaib bagi benak pemuda itu. Di sana, dia dihadapkan pe...