XIV

1K 164 16
                                        

Harinya mulai berubah sejak itu. Seperti buronan yang diintai interpol. Iya, Vin. Dia terus mengawasi Seta. Atau dia sengaja? Agar Seta tidak betah? Sepertinya bukan itu tujuan Vin. Dia ingin mengusirnya. Ingin melihat Seta pergi dengan sendirinya.

Kesempatan memang, mungkin nanti, dia menemukan jalan pulang. Tidak ada siapapun disana. Cuma Seta, yang ditinggal sendirian. Dirinya memang tengah dilarang untuk pergi. Dan para pangeran sedang melakukan perjalanan, untuk dua hari ke depan. Karena penting untuk semua, dan bukannya ke luar negeri, iya kan, betul? Anggap saja mereka ke luar kota.

Mumpung belum gelap. Dia akan pergi diam-diam, karena meskipun Seta ditinggal. Ada penjagaan di depan gerbang sana. Sepertinya benar apa yang Vin katakan, dia membebani mereka.

Lewat jalan tikus, alias bawah tanah yang pernah Quint tunjukkan, waktu mereka keliling kastil. Dia akan pergi lewat sana, kalau tak diperbolehkan keluar. Ternyata berguna juga.

Minim sekali cahaya. Beruntung, dia sudah mengambil obor tadi. Cukup panjang, dan goa kecil itu berakhir di belakang kastil, tepat di dinding pembatas. Seta muncul dari bawah tanah, ditutup sebuah pintu kayu, yang di lapisi rumput.

Lega juga, walaupun tadi cukup takut lewat sana. Keluar dekat dengan jalan setapak, yang Seta tidak tahu itu menuju kemana. Dia harus ke kanan atau ke kiri? Karena sejauh mata memandang hanya pohon.

Tak jauh dari dia berdiri. Tengah berjalan dua kuda dengan penunggangnya. Membawa gerobak dibelakangnya. "Kau! Pemuda! Apa yang kau lakukan disini?"

"A-aku, aku tersesat." Jawabnya tanpa pikir panjang. "Aku mau ke pasar." Kenapa ke pasar? Tapi, ada benarnya juga. Disana, dia akan mencari pekerjaan, lalu bertanya pada siapa saja yang tahu jalan, agar dia bisa kembali--kembali ke mana? Golden Wood? Memang ada pintu ajaib, begitu? Ah! Masa bodoh lah, yang penting dia tidak berada di kastil dulu. Nanti dia akan pikirkan lagi jalan keluarnya.

"Oh, naiklah. Aku juga akan kesana." Tawar pria--kalau dalam pandangan Seta, dia paruh baya, tapi tidak tahu umur sebenarnya--pemilik kuda itu murah hati. Kulitnya belum terlalu keriput, hanya garis yang kentara, dengan rambut abu-abu yang menjuntai panjang. Dan diikat kebelakang.

"Te-terima kasih sebelumnya." Dengan canggung, dia ikut naik, di kursi depan gerobak yang terbuka itu.

"Kenapa kau tersesat disini? Ini bukan daerah yang sulit dipahami." Seta cuma tertawa canggung. Pria itu berceloteh banyak hal. Dari dirinya yang petani gandum, lalu selain dijual, dan dikonsumsi, dia juga mengirimkannya pada Adiknya yang memiliki kedai roti di pasar.

"A-aku kabur dari rumah." Maksudnya rumah orang, bukan rumahnya sendiri.

"Ah! Kau pasti bertengkar dengan Ibumu, karena tak mau mengurus ladang, bukan?" Seta tertawa canggung. Dan mengiyakan saja pernyataannya. "Lalu, kau mau kemana? Dan mau apa?"

Sedikit berpikir, "Mencari pekerjaan mungkin. Apa Paman--boleh ku panggil Paman?" Sang Pria mengangguk. "Apa aku boleh bekerja dengan Paman?"

"Kau bercanda?" Si Paman terbahak. "Kau saja kabur dari Ibumu. Mau jadi apa ladang milikku." Kikuk, Seta merasa lucu. "Atau begini saja, nanti biar ku tanya Adikku, kalau-kalau dia butuh bantuan. Kau punya pengalaman di kedai roti?"

"Ya, tentu saja. Aku sering membantu di toko muffin milik seseorang."

Paman mengernyit heran. "Maf--apa?"

Sadar apa yang dia katakan. "Maksudku--toko roti. Terima kasih sebelumnya."

Bincang-bincangnya cukup lama. Sampai benar-benar tiba di keramaian pasar. Walau dasar perbincangan mereka sebagian besar adalah kebohongan Seta.

"Bantu aku menurunkan karung gandum, di belakang. Nanti ku bantu carikan pekerjaan disini." Bau harum panggangan begitu nikmat rasanya. Sepertinya, karena Seta lapar.

Mengangkat karung berisi gandum, mungkin sekitar duapuluh lima kiloan. Sedikit banyak membuat peluh Seta bercucuran. Tapi itu tak masalah baginya, bekerja apapun asalkan bukan kejahatan. Seta juga pernah menjadi supir taksi, sebelum bekerja di ladang.

Cukup lama, untuk memindahkan satu gerobak penuh ke lumbung di samping kedai.

"Pekerja barumu, Kak?" Tanya pria yang mungkin seumuran dengan si Paman. Seta tidak mau bertanya, kalau tidak mau terkejut. Vin saja yang termuda berusia tiga ribu tahun, lalu mereka mau berumur berapa?

"Bukan. Dia cuma menumpang tadi. Ini bayarannya. Benar, kan--siapa namamu?"

"Se--Ron. Namaku Ron."

"Iya, dia butuh pekerjaan, dan tempat tinggal." Sepertinya Paman ini, paham betul dengan keadaan Seta--yang entah kenapa, dia juga merasa harus menyembunyikan jati dirinya.

"Benarkah? Sepertinya dia orang kaya?" Menelisik Seta dari atas ke bawah, nampak pakaian satin yang Seta pakai. Seta ingin sekali bilang bahwa itu semua bukanlah miliknya. "Lihat saja pakaiannya." Bisik Adik dari Paman, yang masih bisa di dengar Seta.

"Sudahlah, dia sedang butuh saat ini." Ucap Paman, abai dengan segala pemikiran kalau Seta itu orang kaya. "Kau ada pekerjaan untuknya?"

Manggut-manggut, "Sebenarnya, aku memang sedang membutuhkan orang. Tapi apa dia bisa?"

"Katanya, dia pernah membantu di toko roti."

"Baiklah, tapi, untuk tempat tinggal, aku tidak punya. Kalau mau, dia bisa tinggal di lumbung. Di sana ada ranjang kayu. Dan upah dariku tak sebesar jika kau jadi koki. Kalau mau tentunya."

"Ya, aku mau." Baiklah, dimana-mana, Seta harus bekerja keras sepertinya. Tak apa lah, selagi keberuntungan mengikutinya. Daripada di kastil, dan dipandang seperti seorang pembunuh oleh Vin.

"Baiklah, kau mau tinggal sebentar Kak?"

"Aku mau langsung saja. Hei! Anak muda! Bekerja keraslah, lalu pulang ke Ibumu." Lagi-lagi, Seta cuma tersenyum menanggapi itu. Pulang ke Ibu, ya? Ibu siapa memangnya? Sebelum kepergian si Paman, Seta tak lupa berterima kasih terlebih dulu.

"Baiklah, mari kita bekerja."

Disana, Seta ditunjuk sebagai pelayan. Kesulitan ya, karena pembayaran mereka menggunakan keping koin emas atau perak. Dirinya masih tidak paham, dan harus sering bertanya. Beruntung, mereka baik dan mau menjelaskan. Roti disana, semua roti gandum. Dan tersedia juga bubur gandum, untuk pilihan yang lain.

Hingga menjelang petang kedai itu harus menutup gerainya. Otomatis surut, tak ada pelanggan, penjual pun mulai menggulung dagangannya. Beranjak pulang, ke rumah masing-masing.

"Kau bisa gunakan ini. Besok akan aku bawakan selimut." Seta menerima jubah tebal dari sang pemilik kedai.

"Terima kasih banyak."

Benar-benar, hari ini Seta merasa sangat beruntung. Meski harus bekerja kembali demi sesuap roti. Baiklah, disini sepertinya dia akan berkutat dengan roti dan susu, juga susu dan roti.

Beralaskan jerami yang cukup empuk, jubahnya pula sedikit banyak menghangatkan tubuhnya. Ruangan itu agak dingin memang.

Namun, sebelum memejam. Seta sempat berpikir. Apakah dirinya akan dicari nanti? Seta harap jangan, kalau kehadirannya itu membuat petaka. Lebih baik Seta ditempatnya saja sekarang.

Kumohon Tuhan. []

Hoiland
Wonosobo, 2021, 18 Maret.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang