Detik terasa bergerak lebih cepat. Hembus napas dari dua orang yang tengah menyusuri jalan panjang gua pun semakin memburu.
Noe dan Faust terpaksa masuk berdua. Sedangkan lainnya harus terus menumpas para musuh. Iya, memang tak semudah itu. Apalagi mereka terus-terus saja muncul, seperti semakin banyak yang dibunuh semakin banyak pula yang bertambah.
Namun, pemandangan yang hampir membuat nyawa keduanya juga ikut melayang adalah saat melihat Vin menarik pedang dari perut Wyns.
"Vin!" teriak Faust. Matanya sudah berair, detak jantung meningkat, dan suhu tubuh jadi naik. Rasa panas seperti membakar tubuh. Faust marah.
"Dia dikendalikan," celetuk Noe mencegah Faust beranjak dari tempatnya berdiri. "Lihatlah mata Vin, Kak."
"Bunuh mereka juga, Vin." Suara seseorang tak jauh dari Noe, Faust, Vin, juga Wyns yang sudah tergeletak tak bergerak. Dia Amren yang sedang menyeret kerah belakang baju milik lelaki yang terlihat kelelahan, Seta.
Vin mulai maju, menyiapkan pedang di tangannya. Siap menyerang kedua kakaknya. Noe menghindar ke samping, ketika Vin mengayunkan pedang tepat menuju kepalanya. Bergeser cepat dan memukul punggung Vin dengan gagang pedangnya.
Tak lupa, Faust mengambil kesempatan untuk membuat anak panah khusus. Roh Magija, roh paling beda yang bisa digunakan untuk melemahkan sihir. Namun, butuh waktu membuatnya, bahkan menghisap energi Faust lumayan banyak.
Bentuknya lebih besar dari yang biasa. Faust memastikan arah, agar tepat sasaran. Hanya saja pergerakan Noe dan Vin yang cepat cukup menyulitkan Faust untuk menembak.
"Kenapa kalian berdua bergerak terus, hah!" gerutu Faust. Dirinya belum menemukan titik pas. Salah-salah dia memanah Noe. Tidak ada efeknya. Namun, usahanya menjadi sia-sia.
Sesekali Faust melihat Wyns yang diam tak bergerak dan Seta yang lemas tak berkutik. Sedangkan Amren tengah membuat sebuah bongkahan batu besar muncul dari lantai.
"Kak!" Faust tersentak ketika Noe berhasil membuat Vin terpojok di dinding dan menahan kedua tangannya. "Sekarang!"
Seketika anak panah itu menyambar mata Vin setelah dilepaskan oleh Faust. Membuat Vin merosot jatuh terduduk dan menggelengkan kepalanya cepat. Mengerang lumayan keras. Sakit memang. Noe beringsut mundur mendekati Faust. Meninggalkan Vin yang berangsur pingsan.
"Apa caramu menaklukan Mala begini, Kak?" Faust mengangguk.
"Dengan ruh yang lebih kuat. Tapi hanya sementara atau paling tidak bertahan tiga hari. Kalau Amren tidak kita bunuh. Selamanya mereka bisa jadi jahat." Noe tidak mau membayangkan Vin dalam pengaruh Amren. Faust tersentak, dia baru saja ingat Wyns. Bergerak ke sana. Ke tempat di mana Wyns tergeletak bersimbah darah. Disusul Noe.
"Kak," panggil Faust bergetar. Noe memeriksa tanda-tanda kehidupan di tubuh Wyns. Namun, tak ada sama sekali. Hembus napas, detak jantung, denyut nadi, semua berhenti.
"Dia sudah tiada, Kak." Faust serta Noe terisak. Namun, juga sangat geram dengan ini semua. Mereka tidak diberi kesempatan untuk berduka.
"Amren harus mati. Tidak peduli bagaimana caranya." Keduanya bersiap untuk mendekati Amren. Namun, semua terhenti ketika Seta melawan kembali bersamaan dengan sebuah penjara mantra yang kembali terbentuk menghalangi Noe dan Faust.
"Sialan!" Faust mencoba memanah penjara tersebut berkali-kali. Berusaha menghancurkan tameng milik Amren itu. Walau tidak ada hasil apa-apa.
Usaha Seta pula sia-sia. Sang iblis lebih dulu mencekiknya. Membuat Seta terangkat tak menyentuh lantai. Meronta, Seta terus melakukan itu. Saat tubuhnya sudah menggantung, hal pertama yang dia rasakan adalah gaya gravitasi yang sangat kuat, menarik tubuh yang tertahan tangan. Lehernya tercekik dan tak bisa bernapas. Nyeri yang luar biasa menjalar ke tengkuk dan dada perlahan muncul. Mata Seta melotot dan terasa perih karena tekanan.
"Kak, sa-darlah." Seta menatap manik semerah darah itu.
"Percuma saja, Jolyon. Dia tidak mendengarmu." Sedetik setelahnya, Amren merasakan hal aneh. Perlahan, manik itu berubah hijau. "Jolyon." Suaranya terdengar sangat lembut. Seta merasa tenang mendengarnya. Hanya saja, tidak berlangsung lama. Amren geram, kala Seta mampu membuat jiwa Quint melawan di dalam sana. Padahal tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Kau! Harus mati!" Pemuda itu dibanting ke meja batu hingga terbatuk kecil. Dada Seta seketika nyeri dan sesak.
"Nikmati kematianmu, Jolyon." Secara ajaib, Amren membuat pisau dengan sihir di tangan kanannya. Seta masih tidak bisa bergerak karena masih terus dicekik dengan keadaan tubuh dikunci Amren. Bahkan dirinya hampir hilang kesadaran.
Detik berikutnya, mata Seta yang masih bisa melihat walau kadang samar-kadang jelas, Amren tengah mengangkat tinggi sebuah pisau berujung tombak. Melebur bersama sinar merah yang menyelinap lewat celah gua.
"Ini akan sedikit sakit. Jadi, nikmatilah." Seta melirik ke samping. Di mana kedua kakaknya masih berusaha membubarkan perisai. Noe dan Faust, mereka berteriak. Namun, Seta tak mendengarkan apapun. Tangan yang tadinya mencekal lengan Amren, Seta lepaskan. Berharap, dia bisa menggapai dua kakaknya. Menggenggam tangan mereka.
Bulir bening menetes pelan dari ekor mata Seta. "Ma-af."
Rasa yang tak pernah Seta bayangkan sebelumnya menghujam dada. Pelan tapi sangat menyakitkan. Hal ini membuat Seta merasa haus. Mulai terasa pusing juga bingung.
Disanalah jantung Seta berdegup lebih kencang, nafas terengah-engah, mata berkunang-kunang, dan sedikit mual. Hal yang terjadi selanjutnya adalah Amren menarik kembali pisau itu. Seta masih merasakan sakit yang luar biasa. Dia tidak bisa menjabarkannya. Perih, nyeri. Bahkan lebih dari itu. Rasanya tidak hanya seperti tertusuk. Seluruh tubuhnya hanya mampu mengungkapkannya dengan rasa dingin. Dingin yang menyiksa hingga ke tulang. Seta sangat amat kesakitan, tapi mulutnya tak kuasa berteriak. Tidak sampai di situ saja.
"Kau benar-benar kuat, Jolyon. Sedikit lagi, ya?" Kali ini, Amren menggunakan kedua tangannya. Tanpa ampun, dia melakukan ancang-ancang dan menancapkannya kuat dada kiri Seta. Tepat di mana tadi pisau itu ditusukkan. Hingga pemuda itu memuntahkan banyak sekali darah dari mulutnya. Setelah itu, Seta tak bergerak sama sekali. Tangannya terkulai lemas. Matanya terbuka dan wajahnya tepat menghadap Noe serta Faust, seakan-akan menatapnya. "Selamat malam, Jolyon."
Amren tertawa begitu keras hingga rasanya memantul. Apalagi ketika melihat Noe dan Faust tidak berdaya, meluruh di lantai dengan mulut terbuka dan mata basah. Memangnya siapa yang tega jika harus menyaksikan saudaranya tersiksa di kala kematiannya?
Sepertinya Noe dan Faust tidak diperbolehkan untuk berduka cita lebih lama atas kematian saudara-saudaranya. Karena Amren menunjukkan perubahan yang membuat keduanya membungkam mulut. Rambutnya, lebih tepatnya rambut Quint memanjang. Punggung jari-jari dan sikunya mengeluarkan tanduk-tanduk kecil. Amren menanggalkan jubahnya. Tubuhnya juga berubah, menjadi kasar dan berbintil-bintil seperti katak. Pundak dan punggungnya mengeluarkan tanduk-tanduk beragam ukuran. Tak berhenti di sana. Perlahan lutut dan kaki Amren juga berubah, seperti kaki seekor naga, membesar dan berselaput. Jangan lupakan cakarnya yang tajam.
"Rasanya sesegar itu. Terima kasih Jolyon. Kalian ... berikutnya." []
Hoiland
Wonosobo, 2021, November 3

KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓
Fantasía[FINAL] "Hei, pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa." Bermula dari jatuh ke jurang. Tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang tak dia kenal bernama Entrella. Bertemu dengan orang-orang ajaib bagi benak pemuda itu. Di sana, dia dihadapkan pe...