XVIII

1K 160 18
                                    

"Seta!"

"Aku tidak kuat."

"Berdirilah," Vin menelan ludahnya pahit, ketika tubuh Seta merosot. Wajah Seta sudah pucat pasi, darah dari lengannya terus saja mengalir. Walaupun Vin sudah memapahnya, tapi semakin lama, Seta semakin tak bertenaga. Sudah lama semenjak Seta terkena gigitan.

Berjongkok, lalu memeriksa suhu tubuh Seta. Yang Vin rasakan, tubuh Seta mulai dingin. "Kau mulai kesulitan bernapas?" Seta mengangguk lemah. Kenapa? Kenapa Seta berbeda dari kebanyakan orang? Diceritakan, mereka bahkan menjerit, menggeliat, seperti cacing kepanasan. Tapi Seta bahkan hanya seperti digigit binatang biasa.

"Tanganku mati rasa." Ah! Vin mulai berpikiran jelek sekarang. Ini pertanda baik atau burukkah? "Pergilah, lagipula, bukankah darahku berceceran? Para binatang buas pasti terpancing." Benar, harusnya mereka sudah terpancing sejak tadi. Tapi, satu pun bahkan tidak ada. Perasaannya mulai terbilang tidak baik malah. Seperti tenang sebelum badai.

"Aku gendong kau."

Seta menggeleng. "Tak perlu, pergilah."

"Diam kau bodoh. Meski aku terpaksa menjemputmu. Setidaknya kau harus kembali dalam keadaan hidup." Seta menunjukkan senyum simpulnya. Bukan mengejek.

"Kau saja tidak tahu jalan keluar." Vin meringis. Iya, dia juga tak tahu bagaimana caranya keluar dari sana.

"Tapi, setidaknya kita berusaha. Kalaupun kita mati disini, ayo, mati bersama. Aku tak akan meninggalkanmu. Sendirian."

Terdengar tulus di rungu Seta--yang bahkan sudah menangis tanpa suara. "Janji?" Vin mengangguk. "Tapi bagaimana dengan Kakak-Kakakmu?"

Vin tersenyum. "Mereka tahu, apa yang aku lakukan. Ayo pergi, aku akan menggendongmu."

"Aku berat,"

"Diamlah."

Seta sudah berada di punggung Vin. Benar, memang berat. Apalagi, Seta dalam keadaan tak berdaya untuk ketiga kalinya. Baiklah, Vin akan mencoba menebus kesalahannya dengan ini. Akhirnya dia merasa bahwa berguna bagi orang lain itu berharga. Dan saat ini, dia mampu menerima orang asing untuk pertama kalinya.

Dewa, ku mohon, beri kami kesempatan.

Meneruskan langkahnya, dengan Seta yang setengah sadar. "Kau mau dengar sebuah kisah?"

"Apa?" Jawab Seta lemah.

"Kisah bagaimana Raja dan Ratu kami meninggal."

"Ayah dan Ibumu? Bukankah nanti kau terluka?" Baik sekali Seta mengingatkan itu.

"Aku baik-baik saja."

"Bohong." Lagi-lagi benar. "Tidak ada yang baik, ketika menceritakan sebuah luka." Entah kenapa, Vin ingin saja bercerita mengenai masa lalu keluarga dan kerajaannya. Hanya untuk mengingatkan, dan memastikan agar Seta tetap terjaga dalam gendongannya.

"Tapi, ku pikir kau perlu tahu. Setidaknya, anggap saja aku berdongeng." Seta terkekeh, entah karena apa. "Aku akan mulai, jangan tidur."

"Hem," Seta mengeratkan tangan kirinya di leher Vin. Lalu menyandarkan kepalanya nyaman. Tapi sebenarnya Seta hanya benar-benar lemas.

"Mereka meninggal ketika aku dan Kak Quint masih kecil, tapi masih bisa mengingat segalanya. Kakak, dia sama sekali tidak sehat sejak lahir. Suatu ketika, dia sekarat, tidak ada obatnya. Kakak hampir kehilangan nyawa. Dan saat itu, Ayah dan Ibunda punya rencana, meminta jiwa pada iblis. Ide itu ditolak oleh para Kakak. Namun, mereka tetap menjalankannya, demi kesembuhan Kak Quint.

Setelah beranjak remaja, iblis menemui kedua orang tua kami. Meminta Kak Quint dikembalikan pada iblis. Karena mereka menekankan bahwa Kakak adalah anak iblis, lalu akan mengambilnya. Ayah dan Ibunda tidak mau memberikannya. Dan akhirnya, sang iblis tidak terima, peperangan antara iblis dan manusia pun terjadi. Tentu saja kami, para manusia kalah dengan sihir iblis dan bala tentaranya.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang