VI

1.4K 182 13
                                    

Ada sesuatu yang aneh ketika kedatangan Seta ke kediamannya. Perasaan tak suka itu muncul begitu saja. Meski diketahui Seta tak melakukan apapun disana. Namun, tetap saja, hatinya tak tenang.

Melihat keakrabannya dengan Quint, baginya juga menjadi kekesalan tiada tara. "Harusnya dia mati saja dihutan."

Mata elangnya menangkap sesuatu, Quint menyiapkan dua kuda sendiri. Mereka memang menyiapkan segala sesuatunya seorang diri, tanpa bantuan dayang-dayang. Para asistennya sudah punya tugas dan wewenang masing-masing, jadi tidak perlu mengurusi.

Apa dia akan pergi, bersama Seta? "Haruskah aku ikuti mereka?" Iya, kakinya langsung melangkah begitu otaknya memerintah. Menuju kandang, dan menyiapkan kuda miliknya. Hanya beberapa menit, sebelum yang akan dia ikuti, pergi.

Sepertinya Vin tahu, kemana Quint mengajak lelaki asing itu jalan-jalan. Pasar di tengah desa. Menjual berbagai perca, keramik, porselen, sutra, makanan juga tak ketinggalan. Begitu ramai, hiruk-pikuk disana. Terlihat orang-orang, tumpah ruah disana. Soalnya, tidak setiap hari ada. Para pedagang juga datang dari berbagai desa, tidak hanya desa tempat pasar digelar.

Vin mengikuti apa yang keduanya lakukan. Meninggalkan kuda, di lokasi penitipan. Dan berjalan melewati berbagai pedangang yang menggelar barang jualannya.

Mereka tidak membeli apapun, kecuali makanan tradisional. Terlihat begitu dekat. Dan Vin benci itu. Dia benci ketika Quint dekat dengan orang lain. Cemburu, iya, selalu seperti itu. Karena Vin tidak bisa bersikap baik sebagaimana Seta perlihatkan dan mampu mengimbangi Quint. Dia selalu terlihat kurang bersahabat, bahkan dengan Kakaknya itu. Dan dirinya memang kesulitan untuk mengubahnya. Tapi kenapa, rasanya saudara yang lebih tua itu punya Adik baru? Vin tidak terima.

Menjelang sore, mereka belum pulang. Dan Vin masih setia berada disana. Mengawasi Kakaknya. Seta? Masa bodoh, Vin tidak peduli. Yang penting adalah Quint. Dia tidak boleh terluka.

Menunggu malam tiba, guna menerbangkan lampion untuk sebuah permintaan dan melarung gugusan bunga di aliran sungai dekat pasar setelahnya. Desa tempat digelarnya pasar itu memang terbelah oleh aliran sungai. Pasti Quint akan mengajak Seta melakukan itu. Huh! Vin tidak percaya akan hal-hal seperti itu. Tapi, itulah tradisi disini. Jadi Vin menghormati.

Begitu bosan mengikuti mereka. Belum ada hal menarik sampai Seta disayat lehernya oleh seseorang. Berpakaian serba hitam, dan bertudung kelambu. Vin segera mengejarnya, melewati kerumunan. Sempat kehilangan jejaknya, namun detik berikutnya, Vin segera menarik punggung sang pelaku, setelah menemukan keberadaannya. Sialan! Wajahnya ditutupi kain.

Vin segera memberikan serangan tangan kosong pada pelaku. Namun, dia mampu bertahan. Tapi tak bertahan lama. Setelah mendapat peluang. Bertubi-tubi, Vin memberikan pukulan di dada dengan telapak tangannya. Terjengkang, namun gerakan kayang dan kembali berdiri yang musuhnya lakukan, membuat Vin kembali siaga, menyiapkan kuda-kudanya. Kejadian itu pula, membuat penduduk beringsut pergi kocar-kacir.

Mereka maju bersama. Saling mengelak, dan bertahan. Disapu kaki sang lawan dengan kaki Vin sendiri. Ternyata dia mampu menghindar atas serangannya yang mendadak, dengan melompat.

Berdiri lagi dengan tegap. Berlari ke samping, melompat dan berpijak pada pilar-pilar bangunan, menggulung tubuhnya di udara, dengan kekuatan kakinya, dia menghantamkan tepat di kepala.

Tersungkur, Vin menyeringai. Tudungnya rusak dan tergeletak, bersamaan dengan orangnya. Baru saja, Vin akan membuka kain yang menutupi wajah itu, sebuah anak panah melesat tepat di jantung musuhnya tersebut. Terkejut, seketika sang musuh menjadi asap hitam, tak berjejak. Matanya kemudian awas, mencari dimana pelaku aslinya. Dia pasti ada disana.

"Penyihir sialan!"

'''

"Sihir?" Vin mengangguk.

"Bagaimana selanjutnya?" Tanya Quint. "Apa lukanya juga bahaya?"

Wyns menatap Quint. "Tidak, walau cukup dalam. Tapi, Seta baik-baik saja. Aliran darahnya sudah kuhentikan, dan lukanya sudah kututup." Wyns tidak khawatir dengan lukanya. Malah, cemas akan keselamatan Quint.

Munculnya penyihir, bukan perkara biasa. Apalagi pengguna sihir hitam. Mereka pasti punya maksud tertentu dan tujuan. Dan yang Wyns takutkan, semua berhubungan dengan kehadiran Seta.

"Kan? Aku sudah bilang. Anak itu adalah pertanda buruk." Vin melirik Quint, tanpa lelaki itu sadari.

Wyns, tidak yakin, kedatangan Seta adalah kabar buruk bagi negeri ini. Apalagi Wazee sudah memperingatinya. Memang ada suatu pergerakan dalam bayangan, yang mereka tidak ketahui. Para anak iblis adalah yang pertama tahu, ada kedatangan suatu asing ke negeri ini. Juga para penyihir hitam yang terbuang, akan mulai beraksi. Wyns membiarkan Adik-Adiknya dalam spekulasi masing-masing. Yang dia kesalkan saat ini, kenapa Noe belum pulang? Padahal sudah dua hari berlalu? Apa sekalian tebar pesona, mencari jodoh?

Memilih keluar dari kamar yang dipakai Seta. Dengan Vin mengejar di belakangnya. "Kak!" Berbalik.

"Seta, dia pemicu para penyihir itu datang bukan?"

"Bicara apa kau ini?"

"Nyatanya?"

"Aku akan mencari tahu. Lebih baik, kau tidak usah mencari perkara." Melenggang, dari hadapan Vin yang menatap, rambut panjang dan jubah milik Wyns berkibar, akibat gerakan cepat yang dia buat.

"Ini tidak benar. Seta itu berbahaya. Dia pasti salah satu anak iblis yang menyamar. Aku yakin itu." Prasangka itu semakin buruk saja. Tapi, Vin harus tetap waspada, kalau-kalau Seta berubah pada wujud aslinya.

'''

Malamnya, Seta mengalami penurunan suhu. Tubuhnya menggigil, giginya bergemelutuk, tapi rasanya sangat panas. Apalagi pada bekas luka sayat, yang bahkan sudah disembuhkan.

Seta hanya mengerang, pita suaranya seperti tidak bisa mengeluarkan teriakan. Jemarinya mencengkeram selimutnya erat. Perih, panas, terasa menjalar dari leher ke wajah.

Rasanya, ada sebuah akar serabut yang tumbuh disana. Tepat pada bekas luka, dan merangkak ke muka, separuh wajahnya terasa sangat penuh.

"Eungh!" Tangannya seolah tertahan, tak bisa terangkat. Guna memegangi lehernya. Seperti terkunci, dan kakunya luar biasa. Kenapa? Ada apa dengan tubuhnya? Apa ada racun di lukanya tadi?

Dipaksa, benar-benar dipaksa. Masih dengan mengerang mati-matian. Akhirnya dengan usaha maksimal, tangannya mampu menyentuh apa yang sedang terjadi di lehernya. Namun, saat itu juga. Seperti ombak yang surut. Guratan seperti akar yang dia rasakan itu seketika menghilang perlahan. Dan Seta menjadi normal kembali, seperti tak terjadi apapun. Aneh, pikirnya.

"Aku kenapa? Apa yang terjadi padaku?"[]

Hoiland
Wonosobo, 2021, 20 Feb.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang