Ada masa di mana persahabatan begitu menyenangkan. Amren adalah orang baik. Dia memiliki kasih bak malaikat. Namun, kali ini. Untuk pertama kalinya, Eiden bisa melihat kilatan amarah dari mata Amren. Tatapan haus kuasa, haus segala-galanya. Dia tidak ingin siapapun menghalangi jalannya.
"Quint, aku tahu kau mendengarku. Bangun, hanya kau yang bisa menyelamatkan dirimu sendiri!"
Di sisi lain, di dalam tubuh Quint sendiri. Sesaat setelah kehilangan Seta, Quint merasakan ada sesuatu yang memanggil. Samar pada awalnya. Namun, kali ini perasaan itu semakin kuat. Bersamaan dengan satu kelopak mawar yang masih di genggaman mulai memudar perlahan.
"Aku harus keluar dari sini. Aku tidak mau di penjara dalam tubuhku sendiri." Dia tidak ingin berakhir menjadi korban seperti yang lain. Tidak lagi menjadi si lemah. Kesempatan tidak datang dua kali, bukan?
Sepintas, Quint ingat sebuah mantra kualitas rendah dalam sebuah buku yang pernah dia baca. Memori Quint bahkan masih mengingat halaman dan baris ke berapa mantra itu tertulis. Walau tidak terlalu penting, tetapi akan menjadi lain ketika Quint yang merapalnya dikarenakan adanya sebab akibat tertentu.
"Perdere barjera," ucap Quint, sembari menggenggam batang besi yang mengurungnya. Matanya terpejam, mencoba merasakan dan menyerap aliran energi Amren. Bahkan masih bisa merasakan apa yang iblis itu lakukan. "Scrios si lieta!"
Pendar putih berangin menguasai Quint. Monolid itu terbuka, pandangan yang nampak berbeda darinya. "Meskipun berat, aku tak akan berhenti di sini." Usahanya mulai menunjukkan sesuatu. Perlahan, besi-besi pengurung retak.
Selama Quint berusaha bangun di dalam tubuhnya sendiri. Amren juga tidak ingin kalah semudah itu dari Eiden.
"Diam kau, Ei!" Amren melayangkan belati dengan kencang. Sayangnya, Amren tidak bisa puas secepat itu. Eiden membuat telapak tangan kirinya menjadi tempat belati itu mendarat. Tentu saja, setengah dari benda itu menusuk melewati punggung tangan.
Di saat itu, Amren juga merasa aneh. Sesuatu dalam dirinya mendesak keluar. Amren mencoba mempertahankan kesadaran dirinya dengan berteriak. Eiden mengambil kesempatan untuk bangkit. Tanpa mengindahkan belati yang masih menancap di tangan, dia mencabut Zobens dari dinding.
Amren semakin menggila. Dia kembali menyerang walau terganggu dengan jiwa di dalamnya. Iya, Quint mulai berusaha memberontak.
Serangan si iblis terlihat tidak fokus pada satu titik. Asal serang, walau dengan teknik pukulan beruntun yang tak terhitung jumlahnya. Membuat kesempatan Eiden semakin besar dan mengambil langkah tepat. Menendang tulang kering Amren sekencang mungkin, hingga dia bersimpuh. Lalu, memegang kepala dan membenturkan tulang hidungnya ke lutut. Tak sampai di sana, Eiden memberi jejak kaki di dada Amren, sampai tubuh iblis itu terseret ke belakang, menabrak bebatuan.
Tak pikir panjang, Eiden segera mendekat, berdiri bertumpu pada lutut. Menatap lekat wajah Amren saat ini. Sebelah kanan, manik matanya berubah hijau. Mungkin, Amren akan kembali terkunci. Namun, Eiden tak ingin mengambil resiko lebih. Mau tidak mau Amren harus dimusnahkan.
"Aku tidak akan berhenti di sini, Ei," kata Amren yang kemudian tertawa.
"Aku tahu, kau tidak semudah itu untuk dikalahkan. Kalau bukan Quint sendiri yang melemahkanmu. Kau bisa pergi sekarang, semoga kita bertemu dalam keadaan yang lebih baik. Aku berdoa, semoga Dewa berbaik hati meringankan hukumanmu." Eiden menguatkan genggaman pada belatinya. Karena dia hanya memakai tangan kanan untuk menahan kekuatan saat menusuk Amren. Enggan rasanya menaruh belas kasih pada iblis satu ini.
"Aku akan kembali lagi membalasmu."
"Lakukan, kalau kau bisa." Eiden mengangkat tinggi Zobens, dalam hitungan detik dia menerjangkan benda keramat itu ke dada sebelah kiri, tepat di jantung. Saat itu juga, Amren berteriak ngeri, suaranya berubah serak dan dalam. Bagi Amren belati itu menusuk dalam dan menyakitkan. Namun, untuk Quint, benda tajam tersebut tak akan melukai kulitnya segores pun.
Suasananya cukup mencekam ketika proses pemusnahan Amren. Cahaya putih dan angin ribut bersuhu dingin juga menguasai sekitar, membuat silau siapapun, termasuk Faust, Noe, Vin, dan para monster. Semua melindungi diri dengan merunduk dan berpegangan pada apapun. Mereka tak mau mengambil resiko tersapu oleh angin seperti para monster yang terlalu percaya diri dengan terus berdiri.
Hampir lima menit, para manusia dan monster di sana bertahan dari temperatur udara yang turun drastis. Adanya angin dingin yang kencang semakin memperberat kondisi. Secara cepat, Faust, Noe, dan Vin mulai kehilangan panas tubuh.
Eiden juga bertahan melawan rasa sakit luar biasa yang juga menyerang tubuhnya. Sangat berbeda dari sebelumnya. Dia mulai merasakan cairan keluar dari pelupuk mata, hidung, telinga, mulut dan berakhir terbatuk. Lubang-lubang panca indera di bagian kepala ternyata mengeluarkan darah.
"Selesai, semua berakhir."
Bersamaan dengan itu, sang iblis dan Eiden musnah, serta keadaan kembali seperti semula. Berikut dengan ambruknya tubuh Seta di atas Quint yang tak sadarkan diri. Wujud Quint pun perlahan normal kembali. Para monster juga meninggalkan arena pertumpahan darah karena mereka telah kehilangan pemimpin.
Setelah memulihkan keadaan, Faust, Noe, dan Vin berlari pontang-panting ke arah dua adiknya yang tak bergerak. Faust mengambil Seta, meletakkan kepalanya di pangkuan, meskipun dia tahu itu tidak berarti apapun. Hanya jasad yang dia tangisi. Sedangkan Vin memangku Quint.
"Kumohon sadarlah, Kak." Belum ada tanda-tanda Quint bernapas. Vin dan kedua kakaknya hanya bisa menggigit bibir, melelehkan bulir kristal menanti kehadiran Quint. Namun, kekhawatiran mereka menguap tatkala adiknya batuk dan mulai bernapas.
Lega, sungguh lega. Faust dan yang lain sangat cemas ketika jiwa iblis Quint diambil, mungkin inang juga akan ikut mati. Nyatanya, tidak. Sepertinya Dewa memberikan kesempatan lolos dari maut untuk sang adik. Asrar para Dewa memang menakjubkan.
"Vin, Kak," lirih Quint.
"Iya, kami di sini." Noe menyahut pelan. Perlahan, Quint memaksa untuk duduk. Saat itu juga air matanya menetes. Hatinya begitu perih ketika matanya menangkap sesosok Seta yang telah menjadi jasad. Wajah dengan luka sayat, tapak tangan berlubang, baju compang-camping.
"Maaf, aku membunuhmu." Kata itu lagi yang keluar dari bibir plum Quint. Sembari sesenggukkan, Quint terus meminta maaf telah menjadi pangkal masalah yang terjadi dimana-mana. Bahkan membunuh para kakak.
Quint tahu, setelah ini keadaan berbeda. Mungkin dia akan ditakuti seluruh negeri atau bahkan diasingkan di suatu pulau. Quint akan terima jika harus menebus segala dosa yang dia perbuat.
Noe yang sudah berlutut, membenarkan posisinya. Mata pedangnya, dia tancapkan di tanah. Sebagai wujud rasa hormat. "Adik kecil Jolyon, terima kasih sudah berkorban untuk kami." Sedetik setelah bibir Noe terkatup. Tubuh Seta perlahan memudar menjadi partikel bubuk kerlip putih. Quint berusaha menggapainya, tetapi sia-sia. Tangannya terus menembus tubuh kaku Seta.
"Bagaimana ini, Kak?" tanya Quint putus asa, matanya menatap semua yang berada di sana tanpa terkecuali. Sedangkan, yang ditanya tidak bisa berbuat apa-apa.
"Jolyon pasti kembali ke dunianya, dunia miliknya." Noe yang bicara juga tidak sepenuhnya percaya atau sedang mencoba percaya bahwa Seta memang benar-benar bukan dari Entrella.
"Dia pasti kembali ke sana." []
Hoiland
Wonosobo, 2021, Desember 29
![](https://img.wattpad.com/cover/235342723-288-k259072.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓
Fantasy[FINAL] "Hei, pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa." Bermula dari jatuh ke jurang. Tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang tak dia kenal bernama Entrella. Bertemu dengan orang-orang ajaib bagi benak pemuda itu. Di sana, dia dihadapkan pe...