Tidak terjadi apapun. Seta bahkan sudah menahan napas. Mungkin parasnya bak mayat, sekarang. Kalau sebuah suara tak membangunkannya dari ketakutan.
"Buka matamu."
Perlahan, Seta langsung dihadapkan oleh Vin, yang tengah membuat pedangnya menari. Menusuk, menyayat, hingga menebas, tubuh sampai kepala si serigala.
Terpaku, terpana ketika melihat Vin bertarung. Ayunan pedangnya mantap, tanpa keraguan. Matanya seawas elang. Dia mampu membaca gerakan lawan, meski bukan manusia.
"Seta! Sadarkan dirimu!"
Terkesiap, Seta hampir saja jadi santapan, kalau Vin tak menusuk tubuh binatang itu. "Sudah melamunnya?"
Vin mengedarkan pandangan, bunyi banyak langkah kaki, yang pasti kawan-kawan dari kelompok yang Vin habisi, mulai terdengar samar. Darah hitam mereka akan segera terendus oleh yang lain, dan memanggil bala tentara untuk segera memburu pelakunya. Ya, Vin sendiri.
"Cù-sìth namanya, menurut legenda, makhluk itu mampu berburu secara diam-diam, tetapi kadang-kadang mengeluarkan tiga gonggongan yang menakutkan, dan hanya tiga, yang dapat terdengar bermil-mil jauhnya oleh mereka yang mendengarkannya, bahkan jauh di laut. Mereka yang mendengar gonggongan cù-sìth harus mencapai keselamatan pada gonggongan ketiga atau diatasi dengan teror sampai mati. Mereka membuat rumahnya di celah-celah batu dan berkeliaran di dataran-dataran tinggi."
(Cù-sìth : Re ; Ku-si. Berasal dari mitologi Irlandia)
Seta membuka mulutnya, namun sedetik kemudian dia mengurungkan niatnya untuk bertanya. Bukan, bukan tentang binatang itu. Tapi, tentang, kenapa Vin ada disini, di hadapannya, karena Vin sudah mendahului.
"Aku kesini, karena harus membawamu pulang, kembali ke kastil. Jangan banyak bertanya, mari pergi. Kalau tak mau di makan makhluk besar itu."
"Kau tahu jalan keluar?"
"Tidak," Vin menjeda kalimatnya. "Tapi yang penting kita harus hidup dulu." Masih tertegun dengan ucapan Vin. Namun tak berselang lama. "Seta! Lari!"
Mendadak, jantungnya berpacu lebih cepat. Apalagi tidak hanya 3 atau 5, tapi lebih banyak. Seta tak menghitungnya, yang penting lari.
Napasnya seakan habis. Vin seperti atlet sprint. Dia sangat cepat, sedangkan Seta? Dia sangat lelah. Hampir pula ketinggalan Vin. Yang pada akhirnya, Vin menggapai jemari Seta, membawanya berlari lebih cepat.
Mungkin nasib mereka belum beruntung, karena kawanan sudah sangat dekat, bahkan di kanan-kiri keduanya, berlari beriringan. Terasa sekali hentakan kaki mereka. Tentu saja mereka berdua kalah jumlah. Harus berhenti berlari, dan sudah dihadang di depan, belakang, samping. Pokoknya segala penjuru.
Vin juga Seta, otomatis menempelkan punggung satu sama lain, dengan napas sama-sama putus-putus. Tak lupa Seta menarik sebatang dahan, menggenggamnya erat. Baiklah, meskipun tidak kuat, namun bisa menahan, itu lebih baik, daripada tidak sama sekali.
"Kau bisa bertarung?"
"Maaf, aku tidak bisa." Vin memejam sebentar. Dia tengah memikirkan sesuatu, perkara Seta yang tak bisa bertarung.
"Tak apa, pukul kepalanya. Buat mereka kehilangan fokus saja. Kau tahu, orang yang tidak bisa apa-apa, kadang menjadi hebat, dikala terdesak."
Itu memuji atau menyindir? Batin Seta.
Sejurus kemudian, yang terjadi pada dua manusia itu adalah saling melindungi diri dengan apa yang mereka punya. Seta memukul kepala cù-sìth, terkadang hidungnya yang kena sampai binatang itu geleng-geleng, mungkin seperti di tabok saja baginya.

KAMU SEDANG MEMBACA
ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓
Fantasy[FINAL] "Hei, pemuda! Kau akan mengalami kejadian luar biasa." Bermula dari jatuh ke jurang. Tiba-tiba terbangun di sebuah tempat yang tak dia kenal bernama Entrella. Bertemu dengan orang-orang ajaib bagi benak pemuda itu. Di sana, dia dihadapkan pe...