XX

979 156 10
                                    

Seminggu setelahnya, Vin baru membuka matanya. Dan langsung dihadiahi Quint, pelukan. Juga kabar yang begitu mengejutkan.

"Vin, dia Jolyon! Dia benar-benar Jolyon!"

Kakinya menuju tempat perawatan Seta--maksudnya Jolyon--saat ini. Dia tidak sabar ingin segera melihatnya. Entah perasaan apa yang tengah mendiaminya.

Mungkin, tadinya dia menganggap Seta bukan siapa-siapa, disana. Tapi, sekarang, malah terdengar lucu, karena tiba-tiba saja dia mulai menyayanginya. Katakan saja begitu. Karena Vin tak mampu mendefinisikannya. Rasanya seperti saat Quint tengah terluka. Khawatir dan cemas berlebihan.

"Tuan,"

Vin disambut Alf, si kepala tabib, pria berjanggut tipis. "Bagaimana keadaannya?"

"Tuan Jolyon masih sama. Dia belum mau bangun. Lagipula, itu sedikit baik, karena Tuan masih dalam masa pengumpulan energi. Mungkin seminggu lagi."

"Lama sekali." Vin mendekati Seta.

"Tuan Jolyon termasuk kuat untuk ukuran manusia biasa. Harusnya dia sudah tewas." Vin mengangguk, mengiyakan. Dia pun heran. "Tapi, Tuan Vin tahu? Tuan Jolyon benar-benar murni, pun hatinya. Hamba tak pernah menangani kasus semacam ini. Adikmu mudah untuk di sembuhkan lukanya walau cukup lama, karena Tuan Jolyon kehabisan energi.

Butuh waktu berbulan-bulan, bahkan tahun jika selamat dari gigitan cù-sìth. Waktu pertama kali Tuan tiba. Lukanya sangat parah, bahkan hamba berpikir, Tuan tidak akan bertahan. Namun, Dewa memberi kekuatan untuk Adik kecil, Tuan. Maaf, hamba berbicara panjang."

"Tak apa Alf, aku jadi tahu. Terima kasih untuk itu. Boleh tinggalkan kami berdua?" Alf seketika mengundurkan diri dari tempat itu.

Vin menggenggam jemari Seta, mengusap punggung tangannya pelan dengan ibu jarinya. "Maaf," Selaras dengan sebuah kata dari bibirnya. Bulir kristal pun ikut luruh.

"Ini semua salahku. Jadi aku mohon, bangunlah. Aku berjanji akan memperlakukanmu lebih baik lagi, aku akan melindungimu, Adik."

Setelah itu, Vin kehilangan kalimatnya. Dia hanya tergugu disana. Tak sadar kalau Quint sudah masuk, dan memeluk Vin. Tak pernah Quint lihat Vin dalam keadaan seperti ini. Walaupun lelah, dia tak pernah menampakkan itu di depan mukanya. Quint tak pernah tahu, ternyata Vin bisa selemah ini.

'''

"Masih belum."

"Kapan dia bangun?"

"Tenang Quint, Adikmu ini sungguh kuat. Dia akan segera bangun."

"Ini sudah dua minggu lebih, ya?"

"Jolyon, bangunlah. Kami menunggumu."

Hanya suara satu orang yang tak terdengar di indera rungunya. Sepertinya Seta sudah mulai hapal dengan mereka. Dan saat Seta membuka matanya. Orang yang dia kira tak hadir, malah menjadi orang pertama yang dia lihat, dengan senyum mengembang di wajahnya. Berbeda, dari mata tajam bagai elang yang ingin memburu mangsanya.

"Kau bangun, Adik."

Apa? Adik? Apa telinga Seta tak salah dengar? Atau ini hanya ilusi. Seta ingin sekali membuka mulutnya untuk bicara. Tapi rasanya tak punya tenaga.

"Tenanglah," Ini Wyns. "Kau tak perlu memaksakan diri. Pelan-pelan saja."

"Mungkin, kau terkejut mendengarnya. Tapi, kami perlu memberi tahu kau sesuatu. Kau adalah Jolyon, Jolyon kami, Adik kecil kami."

Perasaan apa ini? Kenapa sedih sekali? Bahkan kini Seta sudah menangis. "Kau menangis bahagia?" Seta tak mengangguk atau melakukan gerakan apapun sebagai konfirmasi bahwa dia bahagia atau tidak.

Dirinya tak tahu, kenapa dia ada di antara orang-orang ini. Dan kali ini, dia disebut Jolyon, Adik mereka. Baiklah, Seta ingin sekali sebuah keluarga. Tapi bukan di tempat ini. Tadinya, mungkin Seta senang bisa di anggap keluarga disini. Namun, sepersekian sekon setelahnya. Yang dia inginkan hanyalah pulang. Persetan dengan keluarga, ataupun saudara. Dirinya hanya ingin kembali ke dunia asalnya.

Seta kecewa. Kecewa, sebab masih terbangun di tempat asing ini. Walau sudah cukup bisa beradaptasi. Tapi, itu bukan jaminan Seta akan bahagia disana. Meskipun, dengan status baru.

Sang Adik kecil.

'''

Bingung, bagaimana caranya dia makan daging di hadapannya. Dia bukan kidal, dan tangan kanannya masih belum bisa di gerakkan. Seta akan mengambil daging dengan tangan kosong, sebelum, Vin mengambil, lalu mengganti dengan piring berisi daging miliknya, namun sudah di potong kecil-kecil, tinggal dimakan.

"Makanlah, kau pasti kesulitan." Ini Quint. Perlahan, Seta menusukkan garpu ke daging dan memasukkannya ke mulut. Dia benci situasi ini. Benar-benar, tak menyenangkan.

Seta lebih banyak diam semenjak terbangun. Mungkin ada baiknya, kalau dirinya tak pernah bangun, atau mati sekalian. Daripada terus-menerus berada di sana, Entrella.

Tidak banyak hal yang bisa dia kerjakan pula di istana. Dan semua yang meminta dia panggil Kakak, itu punya urusan masing-masing. Kalian tahu? Ketika punya keluarga, tapi tak satupun dari mereka yang peduli padamu? Nah, mirip. Tentu saja, mereka semua orang penting. Lagipula, "Adik" mereka ini, masih utuh. Istana dijaga ketat, tak mungkin pula untuk kabur. Pasti mereka juga merasa aman.

"Sedang memikirkan apa?" Arsus datang penuh wibawa, tanpa ragu duduk di anak tangga serambi, di sebelah Seta.

"Tidak, tidak ada."

"Tak perlu bohong. Kau kelihatan sangat murung. Kenapa? Tidak suka menjadi Adik kami?" Kenapa Arsus blak-blakan sekali? Tidak bisakah dia berbasa-basi sedikit? Hanya untuk mencairkan suasana.

"Aku cuma mau--pulang. Rumahku bukan disini." Kernyitan muncul di dahi Arsus.

"Bukankah disini menyenangkan. Memang ada apa di rumahmu yang itu?" Iya, Arsus sedikit penasaran dengan dunia yang Seta tinggalkan. Memang mungkin terdengar sangat aneh bagi Arsus. Tetapi, Arsus tak bisa begitu saja lupa akan asal-muasal Seta.

"Tidak ada apapun, aku miskin dan tak punya apapun. Yang aku punya cuma raga dan nyawa. Juga banyak bantuan dari Flo juga Fawn. Kalau tak ada mereka, aku makin sengsara."

Masih berlanjut, "Lalu? Apa yang ingin membuatmu kesana?"

Seta menerawang. "Disanalah aku tinggal, disana aku ditempa. Menjadi Seta yang harus kuat dalam kondisi apapun meskipun sulit, menjadi Seta yang dilarang sakit. Karena semua itu menjadi aset berharga yang aku miliki."

"Bukankah disini kau bisa menikmati apa yang disana kau tidak bisa nikmati?" Arsus menatap lekat wajah Seta. Dari samping, semakin jelas, wajah Seta mirip sekali dengan Ibunda.

Seta terkekeh. "Haruskah semua diniali dengan harta? Meskipun kalian menganggap aku Adik kalian. Tapi, aku masih tidak merasakan bagaimana keluarga yang sesungguhnya. Aku masih--kesepian."

Grep!

Manik Seta membola, ketika sebuah kehangatan merengkuhnya. Tak lama setelah itu, Arsus beralih menghadapnya dengan mata basah. "Jangan, jangan merasa bahwa kau sendirian. Kami disini, panggil kami kalau kau butuh seseorang. Berikan kesempatan untuk kami, saat ini. Hanya saat ini, kami bisa memberikan kasih sayang untukmu." []

Hoiland
Wonosobo, 2021, 25 Maret.

ᴅᴇ ʟᴜᴄᴇ ᴇɴᴛʀᴇʟʟᴀ ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang