"Gue nebeng dong," ujar Eric dari meja makan saat mendapati Eno yang menuruni anak tangga.
"Motor lo ngapa?" Tanya Eno saat sudah duduk di hadapan Eric.
"Gapapa. Gue lagi males nyetir aja." Jawab Eric sembari melahap roti ditangannya.
Eno pun mendelik mendengar jawaban kembarannya itu. "Gue juga lagi males ngeboncengin lo. Nebeng Nopal sana."
"Ck, gak guna lo jadi kembaran." Celetuk Eric kesal karena Eno menolaknya.
Eno pun menatap tajam ke arah Eric sembari mengolesi selai pada rotinya. "Gue lagi pegang piso Ric."
"Ck, iya iya gue nebeng Nopal aja." Pasrah Eric. Ia hanya tidak ingin pisau yang dipegang Eno benar-benar dilemparkan kearahnya.
"Tumben lo belom berangkat? Kemarin aja berangkat pagi."
"Kapok gue berangkat pagi. Asal lo tau ya, mereka pagi-pagi dateng masuk kelas langsung pada buka buku. Pusing gue liatnya. Gak lagi-lagi deh berangkat pagi."
"Baru gitu aja udah pusing. Coba kamu lihat Bastian, dia belajar lama aja gak pernah ngeluh. Kamu baru lihat temen kamu belajar aja udah ngeluh pusing. Kamu seharusnya bisa membiasakan diri di XI IPA 1. Kamu yang memilih untuk masuk sana. Jadi kamu juga harus tanggung jawab dengan pilihan kamu itu. Kalau emang gak mampu, ngapain kamu pilih XI IPA 1 dulu?" Cerca Doni saat mendengar keluhan dari Eric.
Eric yang tidak tahu sejak kapan Doni berada disana pun tersentak. Terlebih mendengar kalimat yang diucapkan Doni membuat nafsu makan Eric hilang seketika.
Ia pun meletakkan sisa rotinya diatas piring. "Kenapa aku pilih XI IPA 1? Ya karna aku pengen buktiin ke papa kalo aku juga bisa banggain papa. Gak cuma Eno yang bisa, aku juga bisa. Tapi papa bahkan gak terlihat senang sedikitpun saat aku bilang aku masuk XI IPA 1."
"Apa yang ingin kamu buktikan? Tidak usah berusaha terlalu keras. Karna memang sudah jelas, Bastian akan selalu lebih membanggakan."
Hancur sudah mood Eric pagi itu karena ucapan dari sang ayah. Pagi ini bukannya diawali dengan obrolan ringan penyemangat sekolah, malah ia dihadiahi oleh cercaan dari sang ayah.
"Aku berangkat," ujar Eric meraih tas disebelahnya dan keluar dari rumah.
Melihat Eric yang kesal, Doni tidak ambil pusing. Buktinya ia malah dengan tenang mengoleskan selai pada rotinya seolah tidak terjadi apapun tadi.
"Gak seharusnya papa ngomong gitu ke Eric." Ucap Eno setelah tadi hanya diam.
"Apa yang salah?" Tanya Doni tidak ambil pusing.
"Pa, seenggaknya hargain usaha Eric buat bikin papa bangga." Kesal Eno tidak habis pikir dengan pemikiran sang ayah yang tidak pernah berubah itu.
"Cuma kamu yang bisa bikin papa bangga."
Eno sudah kehabisan kata-kata untuk menghadapi ayahnya itu. Entah apa penyebabnya hingga sang ayah sangat membenci kembarannya itu.
Ia pun bangkit dari duduknya hendak melangkah meninggalkan ruang makan. Sebelum pertanyaan ayahnya yang membuat langkahnya terhenti.
"Gimana, kamu udah protes lagi ke guru kamu? Kalian beneran ketuker kan kelasnya?"
Eno pun berbalik untuk menjawab pertanyaan ayahnya. "Enggak, aku sama Eric gak ketuker kelasnya. Aku emang bener di XI IPA 4 dan Eric di XI IPA 1."
"Gak mungkin Tian. Papa yakin seratus persen kalo kalian itu ketuker."
"Emang kenapa sih pa? Harus banget aku masuk XI IPA 1? IPA 1 sama IPA 4 kan juga sama-sama IPA, gak ada bedanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Class: ExSiFo
FanfictionDitempatkan di kelas yang dijuluki kelas keramat dan tak memiliki masa depan, membuat 24 anak itu menolak dengan keras. Bahkan peringkat 5 besar dalam satu angkatan yang seharusnya berada di kelas XI IPA 1, kini juga terdapar di kelas yang dipandang...