Tok tok tok
Ketukan pelan pada pintunya membuat pak Sulaiman atau yang akrab disapa pak Suman mengalihkan atensinya dari berkas-berkas dihadapannya.
"Ya, masuk." Ujar pak Suman mempersilakan orang tersebut untuk masuk.
Paling juga guru yang mau minta tanda tangan. Pikir pak Suman.
Melihat sosok yang baru saja muncul dari balik pintu membuat pak Suman secara refleks berdiri untuk menyambut.
"Selamat pagi pak Surya. Silakan duduk." Sapa pak Suman mempersilakan tamunya tersebut untuk duduk di kursi yang terletak di hadapannya.
Pak Surya atau lengkapnya Surya Pramudya Diningrat pun mendudukkan dirinya dihadapan pak Suman. Melihat pak Surya yang sudah duduk, pak Suman pun kembali mendudukkan dirinya juga.
"Saya mintakan OB untuk dibuatkan teh dulu pak." Tawar pak Suman yang langsung dibalas lambaian tangan oleh pak Surya.
"Tidak usah, tidak perlu repot-repot. Saya hanya ingin menanyakan suatu hal." Tolak pak Surya.
Melihat pak Suman yang tidak bereaksi membuat pak Surya tersenyum penuh arti.
"Saya tau bapak sudah menunggu kedatangan saya sejak lama, atau bahkan sejak awal? Sayang sekali saya baru mengetahuinya saat ini. Bukan begitu pak?" Sambung pak Surya dengan pertanyaan retorisnya di akhir.
Pak Surya berdeham pelan sembari memperbaiki posisi duduknya. "Bapak tahu, saya menjadi donatur di sekolah ini bukan karena saya ingin anak saya, oh anak laki-laki saya satu-satunya, mendapat perlakuan istimewa dibanding murid lainnya. Bukan, bukan karena itu." Ujar pak Surya menekankan kalimat anak laki-laki saya satu-satunya. Ia seperti tak membiarkan pak Suman untuk sekedar membalas ucapannya sampai ia selesai berbicara.
Pak Suman pun hanya duduk dengan tenang sembari mendengar semua yang ingin disampaikan oleh salah satu wali dari anak didiknya itu. Karena memang benar, ia sudah memprediksi beliau akan datang untuk menemuinya sejak awal. Tepatnya sejak pembagian kelas bagi kelas 11 diumumkan.
"Saya selalu menjadi donatur di yayasan tempat anak saya menimba ilmu. Bahkan sejak dia pertama kali bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Bapak tahu apa alasannya? Karena saya merasa sangat berterima kasih kepada yayasan tersebut karena sudah mewakili saya sebagai orang tua dari anak saya untuk dapat mendidiknya dan mengajarkan apa yang tidak dapat saya dan istri saya ajarkan langsung kepada anak saya. Bukan untuk mengistimewakan anak saya apalagi membuatnya terlihat seperti memiliki kuasa. Karena saya tahu, anak kesayangan saya dapat meraih apa yang ia inginkan dengan usahanya sendiri. Tapi saya sangat tidak menyangka, anak semata wayang saya menerima perlakuan yang sangat tidak adil seperti ini. Padahal saya sangat menghormati bapak dan seluruh staf yang bekerja di bawah yayasan ini. Bapak tahu seberapa kecewanya saya sekarang?" Ujar pak Surya dengan raut yang semakin menunjukkan bahwa ia sedang kecewa dan menahan amarahnya.
"Begini pak, saya bisa menjelaskan mengapa saya menempatkan ananda Leo di kelas XI IPA 4." Ucap pak Suman cepat sebelum lawan bicaranya tersebut semakin salah paham.
Mendengar itu pak Surya menarik salah satu ujung bibirnya. "XI IPA 4. Bapak tahu, seberapa besar keinginan anak saya untuk bisa masuk XI IPA 1? Seberapa senang dia bisa meraih peringkat 5 di satu angkatan? Seberapa yakin dia bisa mewujudkan keinginannya?" Tanya pak Surya dengan nada suara meninggi.
Pak Surya menghela napas untuk meredakan emosinya sebelum melanjutkan. "Saya sebenarnya tidak pernah mempermasalahkan di kelas mana ia ditempatkan. Tapi melihat keinginan besar dan usaha keras anak saya, saya sebagai orang tua Leo merasa dibohongi pak. Kalau memang ujung-ujungnya peringkat tersebut tidak berpengaruh pada penempatan murid kelas 11, untuk apa peringkat tersebut diberitahukan. Lalu untuk apa para murid itu berjuang keras untuk bisa mendapatkan peringkat 30 besar agar bisa masuk XI IPA 1? Saya saja yang hanya melihat usaha anak saya merasa kecewa, apalagi anak saya yang sudah berusaha mati-matian untuk belajar." Sarkas pak Surya mengeluarkan seluruh uneg-uneg yang sedari kemarin ia tahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Class: ExSiFo
FanfictionDitempatkan di kelas yang dijuluki kelas keramat dan tak memiliki masa depan, membuat 24 anak itu menolak dengan keras. Bahkan peringkat 5 besar dalam satu angkatan yang seharusnya berada di kelas XI IPA 1, kini juga terdapar di kelas yang dipandang...