Saat ini Eno, Haekal, Naufal dan juga Rendi sedang berada di lapangan basket indoor setelah tadi Eno meminta mereka untuk datang kesana.
"Udahlah No, gak usah terlalu dipikirin." Ujar Haekal memecah keheningan.
"Gak masalah berapa pun nilai yang lo dapet, karna nilai bukan patokan kesuksesan." Ujar Rendi menepuk bahu Eno.
"Gue bingung." Ucap Eno.
"Papa masih pengen gue buat masuk kedokteran di universitas terbaik. Gue masuk XI IPA 4 aja udah buat kemungkinan gue lolos kecil. Apalagi dengan nilai-nilai gue yang kayak gini." Curhat Eno dengan raut lesunya.
"Kan ini baru satu pelajaran No, fisika lagi. Kan yang penting biologi lo nilainya bagus." Ujar Naufal.
"Ya karna itu Pal. Di fisika aja nilai gue cuma dapet segini apalagi biologi? Lo tau sendiri gue paling bego pelajaran itu."
"Susah emang. Biologi aja lo kagak suka, gimana mau masuk kedokteran sih?" Heran Haekal.
Eno menggeleng, "Itu dia, gue sama sekali gak ada minat di bidang kesehatan. Tapi papa masih aja nyuruh gue buat masuk kedokteran." Ujar Eno menyandarkan kepalanya pada bahu Haekal.
"Lawan aja lah No, gapapa sekali-kali ngelawan." Celetuk Naufal.
"Pengennya. Tapi gue takut ntar papa malah nyuruh Eric buat masuk kedokteran. Eric punya impiannya sendiri, dia punya cita-cita yang mau dia wujudin. Gue gak mau dia ninggalin impiannya cuma buat wujudin keinginan papa."
"Terus lo sendiri gimana?! Lo rela ninggalin impian lo buat jadi arsitek demi masuk kedokteran?" Sarkas Rendi.
Eno tersenyum, "Rela gak rela. Tapi gue harus rela buat ngubur impian gue demi Eric."
Haekal menghela napasnya. "Nyokap lo pasti bangga punya anak kayak lo." Ujarnya mengusap kepala Eno.
Eno pun mengangkat kepalanya dan tersenyum menatap Haekal. "Menurut lo gitu?" Tanyanya yang dijawab anggukan pasti oleh Haekal.
"Kira-kira kalo mama tau gue dapet nilai 40 di ulhar fisika dia bakal marah gak ya?" Tanya Eno entah pada siapa.
"Ya nggaklah, kecuali kalo nyokap lo kayak nyokapnya Haekal." Jawab Rendi.
Haekal pun mendelik. "Kok lo jadi bawa-bawa Mak gue sih?" Ujarnya tak terima.
"Gue aduin mama Ayu mampus lo!" Ancam Haekal pada Rendi.
Eno terkekeh melihat mereka. Mereka selalu bisa membuat kekhawatirannya hilang dengan candaan-candaan receh mereka dan selalu ada saat Eno membutuhkan mereka.
"Kantin kuy, udah istirahat nih kayaknya." Ajak Naufal.
"Hayuklah, kantin lantai satu aja ya. Males gue ke lantai tiga." Ujar Haekal yang disetujui mereka semua.
***
Saat ini Rima, Jia, Qila dan juga Nina sedang berada di kantin lantai tiga. Mereka sedang menikmati semangkuk bakso dan juga segelas es jeruk untuk mengganjal perut mereka. Semuanya tampak normal hingga mereka mendengar pembicaraan yang menyulut emosi mereka.
"Tau gak sih XI IPA 4 sekarang?" Tanya seorang gadis berambut panjang memulai pembicaraan.
"Kenapa?" Sahut seorang lagi terlihat tertarik.
"Kacau banget mereka, gak beda jauh lah sama XI IPA 4 tahun lalu. Yang mengherankan tuh disana kan ada para juara olim, kok bisa mereka malah kebawa sama murid IPA 4 yang gak jelas lainnya."
"Kuat banget gak sih pengaruh murid XI IPA 4 tuh? Sampe mereka aja bisa jadi kayak gitu." Sahut gadis lainnya dengan pita merah muda dirambutnya.
"Iya anjir, gue bahkan denger sendiri para guru lagi ngomongin mereka. Nilai-nilai mereka pada anjlok sih. Para guru aja takut kalo XI IPA 4 tuh bawa pengaruh buruk buat kelas lain."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Class: ExSiFo
ФанфикDitempatkan di kelas yang dijuluki kelas keramat dan tak memiliki masa depan, membuat 24 anak itu menolak dengan keras. Bahkan peringkat 5 besar dalam satu angkatan yang seharusnya berada di kelas XI IPA 1, kini juga terdapar di kelas yang dipandang...