Setelah pulang dari sekolah, pikiran Malvin kini dipenuhi dengan kalimat yang dilontarkan papanya tadi malam. "Secepatnya papa akan urus kepindahan kamu." Bagaimana bila papanya benar-benar akan memindahkannya? Bagaimana nanti respon teman-temannya? Bagaimana nanti nasib teman-temannya?
"Lagi mikirin apa sih bang? Kok kayaknya lagi banyak pikiran gitu." Tanya Yesi ketika melihat putranya sedang melamun di meja makan.
"Ma, Malvin beneran bakal pindah sekolah ya?" Tanya Malvin balik tak menjawab pertanyaan mamanya.
"Kalo papa udah bilang gitu ya berarti iya. Bukannya dulu abang juga keberatan ada disana?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Malvin mengulum bibirnya ke dalam. "Tapi sekarang Malvin gak mau pindah." Jawab Malvin lesu.
"Papa pulang." Seru Sofyan ketika memasuki rumah. Ia pun langsung menuju ke kamar usai melihat keberadaan putra dan istrinya di meja makan.
"Tuh papa udah pulang. Coba kamu diskusi dulu sama papa." Tutur Yesi yang diangguki oleh Malvin.
Ia pun langsung beranjak menuju kamar orang tuanya. Dengan perasaan ragu ia mengetuk pelan pintu dihadapannya. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya Malvin dipersilakan untuk masuk oleh papanya.
"Ada apa bang?" Tanya Sofyan to the point.
Malvin duduk di kursi rias mamanya untuk berhadapan dengan Sofyan yang duduk di pinggir ranjang.
"Pa, Malvin beneran bakal pindah sekolah ya?" Tanya Malvin pelan sembari menunduk.
"Iya, keputusan papa udah final gak bisa diganggu gugat." Jawab Sofyan tegas.
"Tapi pa...gimana sama temen-temen Malvin kalo Malvin pindah?"
"Ya emang mereka kenapa? Apa mereka gak bisa hidup tanpa ketua kelas mereka? Apa mereka selalu bergantung sama kamu?" Tanya Sofyan dengan nada sarkas.
Tak membiarkan Malvin untuk bicara, Sofyan kembali berujar. "Bang, papa gak pernah bermasalah kamu ada di kelas mana aja. Papa juga gak masalah kamu mau jadi ketua kelas. Tapi ngeliat nilai rapor kamu yang kayak gitu papa kecewa bang. Kamu melalaikan kewajiban kamu sebagai pelajar dengan terlalu mengurus kelas kamu itu. Mama juga sempet cerita, katanya temen-temen sekelas kamu itu susah diatur, pasti kamu banyak ngabisin waktu kamu buat ngurus mereka bukannya malah belajar. Iya kan?" Sarkas Sofyan yang ada benarnya tapi tidak seluruhnya.
"Pa nilai rapor aku jelek karna kelas aku ada masalah sama guru, bukan karna temen-temen aku." Bela Malvin tak ingin teman-teman sekelasnya dijelekkan.
"Masalah apa? Kenapa bisa sampe bermasalah sama guru?" Tanya Sofyan meninggikan suaranya.
"Sebenernya aku juga baru tau alasannya kemarin. Katanya tahun lalu ada salah satu anak XI IPA 4 yang ketauan nyogok panitia olimpiade buat menangin dia. Akibatnya, nama baik sekolah dan guru pembimbing olimpiade jadi jelek. Para guru akhirnya dendam sama kelas IPA 4 karna dianggap udah mencoreng nama baik sekolah. Dan para guru pun gak mau ngajar kelas IPA 4 lagi. Aku sama temen-temen yang lain akhirnya mutusin buat belajar sendiri tanpa guru. Padahal aku yakin aku bisa ngerjain soal-soal PAS nya pa, aku juga gak tau kenapa nilai-nilainya bisa kayak gitu. Bahkan guru-guru aja gak pernah lagi ngasi tugas habis PTS, terus darimana aku sama temen-temen bisa dapet nilai? Aku rasa guru-guru itu cuma mengada-ada aja pa ngasih nilainya. Coba papa liat bagian pelajaran bahasa Indonesia, PPKN, sama penjas, pasti nilainya lebih tinggi dari pelajaran yang lain. Karna emang cuma pelajaran itu aja yang selalu ada gurunya dan dikasih penjelasan materi, yang lainnya udah gak pernah." Ungkap Malvin.
Sofyan pun langsung memeriksa pelajaran yang tadi disebutkan oleh Malvin. Benar saja, disana Malvin mendapat nilai A. Sedangkan rata-rata nilainya C.
Sofyan menghela napas pelan. "Kenapa gak pernah cerita sama papa? Kenapa kamu malah diem aja dikayak giniin?" Tanya Sofyan kembali merasa kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Class: ExSiFo
FanfictionDitempatkan di kelas yang dijuluki kelas keramat dan tak memiliki masa depan, membuat 24 anak itu menolak dengan keras. Bahkan peringkat 5 besar dalam satu angkatan yang seharusnya berada di kelas XI IPA 1, kini juga terdapar di kelas yang dipandang...