6.8

200 43 12
                                    

Korespondensiku yang terakhir untuk Jisung adalah mengirimkan kado Natal untuknya dan Dreamies. Aku menyelipkan kartu ucapan pendek untuk mengucapkan selamat Natal dan memberitahunya bahwa ini adalah usaha terakhirku menghubunginya.


Sejak saat itu, musim sudah dua kali berganti. Musim dingin yang bersalju digantikan musim semi dengan harum berbagai bunga yang mekar. Peri hutan muncul lebih sering daripada saat musim dingin di sekolah. Lalu musim semi digantikan musim panas yang terik dan lembab. Awal musim panas berarti libur sudah tiba dan tahu-tahu saja aku sudah pulang ke rumah.


Dua musim sudah terlewati, tapi aku belum sepenuhnya bisa melupakan musim panas tahun lalu. Jisung sama sekali tidak mengirimkanku surat atau apa pun setelah kado Natal. Aku berharap mungkin dia akan mengirimkan sesuatu untuk Valentine atau bahkan untuk ulang tahunku di musim semi. Tentu saja harapanku tidak terkabul. Kurasa Jisung memang benar-benar tidak mau melihatku atau yang lebih parah dia memang sudah lupa padaku. 


Ça m'est égal! Aku juga tidak akan pernah melihatnya lagi atau kembali ke Fairbourne.


Kupikir musim panas tahun ini Maman dan Papa tidak punya rencana liburan gila, tapi ternyata aku salah. Mereka tampaknya berpendapat bahwa menitipkanku pada Johnny musim panas lalu adalah keputusan tepat karena aku sampai memohon untuk berlibur di Fairbourne saat Natal tahun lalu. Jadi, mereka mengulanginya lagi. 


"Aku ditinggal lagi?!" keluhku sebal.


"Cuma satu bulan, Isabelle. Tidak akan lama," Maman menepuk punggung tanganku dengan sayang.


"Aku tinggal bersama Bibi Audrey saja," kataku ketus.


"Oh, sayang sekali tidak bisa, Sayang," sahut Maman menggelengkan kepala. "Bibi Audrey akan pergi ke perkemahan musim panas bersama kekasihnya."


Mendengar kata kekasih, semakin membuatku jengkel.


"Portkeymu akan berangkat besok pagi," ujar Maman dengan nada final. "Johnny yang menjemput, tentu saja."


Begitulah. Akhirnya aku kembali menjejakkan kaki di Fairbourne dengan ogah-ogahan. Rasanya pagar tinggi dan tanaman di baliknya masih sama seperti yang kulihat musim panas tahun lalu. 


"Kamu mau memberitahu yang lain?" tanya Johnny hati-hati.


Aku tahu persis siapa yang dimaksud 'yang lain' oleh Johnny, tapi aku menggeleng. "Tidak perlu. Aku toh tidak akan melihat mereka selama di sini."


Memang begitu. Aku sudah bertekad kalau aku akan mendekam saja di kediaman keluarga Suh dan tidak akan keluar sama sekali. Lagipula aku cuma perlu berada di Fairbourne selama sebulan dan setelah itu akan kembali ke Paris. Aku akan bersikap seolah-olah aku tidak pernah datang ke sana dan mereka tidak perlu tahu.


Namun Operation: Being Unseen in Fairbourne tidak berlangsung semudah itu. Bibi Martha, ibu Johnny, tampaknya prihatin melihatku hanya duduk-duduk saja di taman rumah atau membaca buku. Hari ini beliau memaksaku menemaninya ke Diagon Alley. Sedikit ditimpa cahaya matahari akan baik untukku, katanya.


Diagon Alley mungkin tidak sebesar dan seindah Place Cachée, tapi cukup menarik untuk melihat gaya hidup para penyihir Inggris. Para anak muda mengenakan jubah di atas pakaian Muggle mereka sementara para penyihir dewasa memakai jubah gelap atau topi kerucut tinggi. Bibi Martha menggandeng tanganku menyusuri jalanan yang dipenuhi pertokoan dan penyihir yang berjalan kaki. 


"Oh, lihat itu siapa," tunjuk Bibi Martha pada seorang anak laki-laki berambut hitam yang berjalan ke arah kami. 


Aku buru-buru menekuk lutut, berusaha menyembunyikan diri di balik punggung Bibi Martha yang kecil mungil. Duh, kenapa Bibi Martha tidak tinggi besar seperti perawakan Johnny sih?!


Jisung Park tampaknya bertambah tinggi beberapa senti sejak setahun lalu terakhir kali aku melihatnya. Rambutnya sekarang hitam, sewarna bulu burung gagak. Dia lebih tirus daripada yang bisa kuingat, mungkin bertambah usia membuat lemak bayinya menghilang dan fitur wajahnya tampak lebih tegas. Sialnya, ternyata dia masih sama menariknya seperti dalam ingatanku. 


Sudah jelas sekarang, Isabelle Suh gagal move-on!


Jisung tersenyum. Tentu tidak padaku, dia tersenyum pada Bibi Martha. Aneh sekali rasanya karena aku tidak pernah melihatnya tersenyum sebelum ini. Ekspresi yang ditunjukkan padaku selalu datar, dingin atau seperti orang yang ingin marah. Senyum Jisung bagus sekali, memamerkan deretan gigi putih dan rapi. 


"Selamat sore, Mrs Suh," sapa Jisung sopan.


 "Oh, Jisung! Kebetulan sekali kita bertemu di sini," balas Bibi Martha ramah. "Ah, ya, ini Belle, sepupu Johnny."


Jisung mengangguk singkat dan menggumamkan "halo" yang kubalas dengan membuang muka.


"Kamu sendirian, 'Nak?" tanya Bibi Martha pada Jisung.


"Ya," sahutnya. "Teman-teman yang lain sedang ada acara."


"Ah, bagus sekali. Aku punya urusan ke Aprothecary. Mungkin agak lama karena satu lain hal. Bisakah kamu temani Belle sebentar, 'Nak Jisung?" pinta Bibi Martha yang membuatku melotot tak senang. "Tentu melihat-lihat Diagon Alley bersamamu jauh lebih menyenangkan daripada menemani wanita tua melihat ramuan."


"Bibi ..." rengekku pelan. "Aku ikut dengan Bibi saja." 


Ya Tuhan, tolong jangan tinggalkan aku bersama makhluk jangkung ini!


Bukannya menolak, Jisung malah mengangguk setuju dengan permintaan Bibi Martha. Membuat Bibi Martha benar-benar meninggalkanku bersamanya. Gagal sudah Operation: Being Unseen in Fairbourne. Bibi Martha mendorongku ke arah Jisung sambil tersenyum menenangkan, lalu melangkah pergi menuju Apothecary. Saat-saat seperti ini membuatku berharap aku sudah lulus ujian ber-Apparate supaya aku bisa kabur.



---


Note:

Ça m'est égal! = I don't care

Place Cachée = area dunia sihir di Paris, mirip Diagon Alley. Muncul di film Fantastic Beast and How to Find Them.

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang