4.1

714 125 8
                                    

Kalian pernah baca sebuah fiksi remaja yang ditulis oleh Rainbow Rowell berjudul Eleanor & Park? Ya, kalau kalian sulit membayangkan seperti apa aku ini, kira-kira aku mirip dengan Eleanor. Tinggi, besar dan berambut merah dengan gaya berpakaian yang eksentrik menurut orang-orang. Bedanya ibuku bukan orang Irlandia dan namaku bukan Eleanor. Ah, maaf, aku kadang-kadang lupa kalau jarang sekali penyihir yang membaca buku yang ditulis oleh Muggle.


Hai, namaku Lauren Smith. Ibuku orang Korea dan dia Muggle.


Kaget?

Tidak apa-apa kok. Aku sudah terbiasa dengan reaksi para penyihir.


Memangnya kenapa kalau aku lahir dari ayah penyihir dan ibu Muggle? Keluarga kami hidup baik-baik saja. Dad tidak butuh Ramuan Cinta untuk menikahi Eomma. Pesona Dad sudah cukup bikin Eomma jatuh cinta. Pernikahan dengan Muggle juga tidak dilarang oleh Kementerian Sihir, meskipun Statuta Internasional tentang Kerahasiaan Penyihir masih berlaku. Yah, paling aku tidak bisa pamer bersekolah di tempat sekeren Hogwarts dan kemampuan sihir lain pada sepupu Muggle-ku. Tidak banyak bedanya sih sebab aku juga masih penyihir di bawah umur.


Kadang-kadang aku memang tidak diperbolehkan ikut berkunjung ke rumah Halmeoni. Beliau itu semacam punya mata batin untuk merasakan kemampuan sihirku. Aku curiga jangan-jangan Halmeoni itu seorang Shaman atau malah Squib gara-gara beliau adalah orang pertama yang memergoki sihir insidentalku saat masih kecil.


Aku berteman baik dengan Jane Ahn. Dia juga sama sepertiku yang berdarah campuran. Dalam konteks budaya maksudku--bukan darah penyihir. Bedanya ayah Jane yang orang Korea dan kedua orangtuanya penyihir. Ciri khas Asia lebih dominan pada fisik Jane, walaupun dia juga tinggi sepertiku. Rambutnya hitam, tapi Jane suka mengecatnya menjadi cokelat gelap dan diberi highlight pirang. Sementara yang kuwarisi dari darah Asia hanyalah kemampuan bahasa standar. Aku sama sekali tidak tampak seperti punya darah Asia.


Ayahku dan ayah Jane sama-sama bekerja di Kementerian Sihir sebagai kepala departemen. Rumah kami bertetangga di Adenarora, kota kecil pemukiman penyihir yang bebaur dengan Muggle di dekat Boston. Kami berteman sejak masih kanak-kanak dan kebetulan masuk asrama yang sama.


Si pemberani Gryffindor.


Mungkin karena darah dan budaya yang bercampur dalam diriku, aku jadi senang bereksperimen. Terutama masalah gaya berpakaian. Aku suka ikut cara pakai pernak-pernik Muggle, seperti memakai banyak cincin di satu tangan atau anting-anting panjang berbentuk aneh yang nyaris menyentuh bahu. Belum lagi memakai ornamen rambut dari batu giok seperti yang dipakai perempuan Korea. Lebih cantik, walaupun kurang praktis dibandingkan memakai sihir.


Aku menyukai gayaku dengan sepenuh hati. Tidak pernah merasa aneh dengan gayaku meski itu membuatku berbeda. Justru aku baru tahu rasa tidak suka itu bisa muncul dari orang-orang yang tidak kuduga.


Tubuhku didorong dan membentur dinding lorong sekolah. Apa gunanya punya tubuh tinggi, tapi tak mau melawan mereka, Lauren Smith?


"Aku 'kan sudah bilang, Smith," Maggie Jackson menarik bi-nyeo—tusuk rambut giok—dari gulungan rambutku dengan kasar. Rambut panjangku tergerai berantakan. Aku yakin kulit kepalaku pasti tergores. "Gaya Muggle-mu jangan dibawa ke sekolah."


Kalau kalian pikir mereka yang jahat datangnya selalu dari asrama Slytherin, kalian salah besar. Maggie Jackson dan kroni-kroninya yang tampak kembar tiga itu satu asrama denganku. Sepertinya mereka salah memgartikan keberanian Gryffindor menjadi keberanian untuk menindas.


Ya, Maggie Jackson itu Gryffindor. Dia kurus dan langsing seperti model dengan rambut pirang lurus seperti kebanyakan diberi pelicin rambut. Jackson cantik dan populer dan aku tidak mengerti kenapa dia harus ambil pusing dengan aku yang nyaris tak kasatmata ini. Jelas aku bukan tandingan yang sepadan.


Thalia Han, si anak kelas tiga Ravenclaw, lewat di koridor bersama Sophia Li, si anak kelas satu Ravenclaw. Tangan Thalia memegang bahu Sophia protektif dengan mata memicing curiga. Jackson buru-buru menarikku berdiri dan merangkulku dengan gaya sok akrab. Aku tahu Jackson takut ketahuan Thalia karena apa yang dilakukannya pada Sophia Li. Thalia boleh jadi seorang kelahiran Muggle, tapi ia termasuk teman dekat Dreamies dan mengenal banyak senior berpengaruh di Hogwarts. Setidaknya Jackson cukup pintar untuk tidak mencari masalah dengan anak yang desas-desus mengatakan sudah pasti akan jadi Prefek di masa yang akan datang. Berbeda denganku yang menyedihkan. Ah ya, mungkin kalau aku tidak ikut campur urusan Sophia Li, aku masih tetap jadi tak kasatmata bagi Jackson.


Jackson mendorongku lagi begitu Thalia Han dan Sophia Li tak kelihatan. Semakin banyak saja memar yang harus kututupi dari Jane.


"Sampai ketemu di ruang rekreasi, Lauren," katanya jahat, lalu menginjak tusuk rambutku. Aku bisa mendengar dengan jelas bunyi retakan dari batu giok di bawah sol sepatu Maggie Jackson dan setelahnya dia pergi begitu saja. Kroni-kroninya mengikuti di belakang.


Kuhela napas perlahan, berusaha tidak menangis ketika menatap tusuk rambutku yang sudah hancur. Aku sudah tidak punya niat untuk memperbaikinya, tapi seseorang telah membungkuk dan memungut tusuk rambutku.


"Reparo!" Ornamen giok yang hancur kini utuh seperti semula. "Nih, ambil. Punyamu 'kan?"


Aku kenal siapa yang baru saja menyerahkan tusuk rambutku. Well, semua orang kenal cowok ini dan teman-temannya yang kesohor disebut-sebut sebagai 00-line atau The Marauders 2.0. Bagian dari Dreamies. Tapi, ini pertama kali aku bicara dengannya setelah tiga tahun berada di asrama yang sama.


Lee Haechan.

Itu namanya.


"Ayo, ambil," kata Haechan lagi menjejalkan tusuk rambut itu ke dalam tanganku. "Namamu Lauren, 'kan? Lain kali, kau lawan saja mereka, Lauren. Atau kalau butuh bantuan, kau bisa bilang padaku."


Lalu Haechan tersenyum lebar. Senyum yang di mataku tampak seperti matahari. Seolah membagi rasa senang yang membuatku mendadak merasa lebih baik. Rambut Haechan perlahan berubah warna menjadi kuning cerah, kontras dengan pencahayaan remang obor koridor. Ah, aku lupa kalau dia punya kemampuan Metamorphagus. Haechan melepaskan genggaman tangannya dariku, kemudian berbalik pergi saat teman-teman 00-line memanggilnya.


Aku membuka telapak tanganku, baru sadar bahwa Haechan tidak hanya memberikan tusuk rambut. Ada Cokelat Kodok dalam genggaman tanganku. Aku membalik kotaknya dan menemukan kartu Professor Neville Longbottom di baliknya.


Tanpa kusadari aku tersenyum.


Mulai hari itu, aku memberi Haechan julukan sendiri.


Full sun.



***

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang