1.2

1.9K 266 32
                                    

"Kudengar kau melukai Jaemin semalam."


Aku berdecak. "Jangan merusak suasana hatiku yang baik pagi ini, Huang Renjun."


Kebetulan sekali aku tidak menemukan Jaemin di Aula Besar pagi ini.


Renjun terkekeh. Memamerkan giginya yang rapi—sayang sekali gingsulnya sudah dibenarkan posisinya dan well, memang aku sadar sebab orang tuaku dokter gigi. Dia duduk di sebelahku dan berkutat dengan dasi biru-perunggu.


Tanganku gatal melihat pertikaian sehari-hari Renjun dengan dasinya. Seingatku dia sudah kuajari mantera untuk memakai dasi sejak kelas satu, tapi selalu bersikeras memakainya tanpa sihir.


Walau memang kelihatannya mantera itu tidak perlu. Sebab jawaban dari pertikaian Renjun dan dasinya sudah tiba. Tangan Naomi Cho, sahabatku si gadis blasteran Jepang-Korea, sudah menepis tangan Renjun dan mengikat dasi itu dengan cekatan. Mereka tampak seperti pengantin baru, tapi tidak ada yang berkomentar. Pemandangan seperti ini sudah terjadi sejak kami kelas satu sampai sekarang kelas tujuh.


"Aku tidak bermaksud begitu." Rupa-rupanya Renjun masih ingin membahas Jaemin. "Aku cuma mengutip langsung apa yang dikatakan Jaemin. Kata per kata."


Aku memutar bola mata. "Kau 'kan tahu dia suka melebih-lebihkan."


"Bukan cuma melukai fisik, Han, tapi juga melukai hati. Ugh." Lee Haechan, anggota 00-Line dari Gryffindor,  yang tidak diundang sudah bergabung di meja Ravenclaw.


Sejak Perang Sihir Kedua berakhir, seluruh asrama mulai terbiasa saling bergabung untuk makan atau mengobrol antar asrama. Semua orang bebas untuk duduk di meja mana saja. Walaupun tentu saja persaingan Piala Quidditch dan Piala Antar Asrama tetap ada.


Rambut Haechan kini berubah sewarna rambut Jaemin. Ia memang suka pamer kemampuan metamorphagus. Haechan membuat gestur seolah menusuk belati ke jantungnya lalu pura-pura terluka membuat Naomi dan Renjun terbahak. Aku memasang tampang ingin muntah.


"Sudahlah, Han. Sampai kapan sih kau mau membiarkan Jaemin bertepuk sebelah tangan? Mark-hyung 'kan sudah lulus."


Pipiku sudah lama tidak lagi bersemu kalau nama Mark Lee, alumni Gryffindor idolaku disebutkan. Aku sadar perasaan ini tidak akan berbalas sejak musim gugur tahun lalu memergoki Mark berciuman dengan teman satu asrama Gryffindor-nya. Tapi rasanya semacam mengalami degradasi kalau aku harus move-on ke Jaemin.


"Kasihan Jaemin terus-terusan menerima Ramuan Cinta."


"All is fair in war and love," jawabku. "Memangnya kalau sudah punya pacar, penggemar Jaemin bakal berhenti?"


"Wooo."


Sorakan dari Naomi, Renjun dan Haechan jelas bukan respons yang kuprediksi.


"Diam-diam ternyata Thalia Han memikirkan Na Jaemin!"


Kenapa pipiku jadi terasa panas?


"Ah! Aku lupa harus ketemu Professor Flitwick dulu. Sampai ketemu di kelas Mantera." Buru-buru aku berdiri dan menyambar tas.


Aku masih bisa mendengar tawa mereka di balik punggung.


Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang