1.8

1K 212 8
                                    

Rambut merah muda di Aula Besar.


Aku tidak salah lihat 'kan?


Na Jaemin ada di sekolah pada malam Natal. Bukanhkah seharusnya dia ada di Mansion Zhong seperti makan malam Natal tahun-tahun sebelumnya?


Oh, tapi rupanya aku hanya besar kepala.


Bukan hanya Jaemin yang kembali ke sekolah, tapi juga para Dreamies dan Naomi yang memutuskan merayakan Natal di asrama. Setidaknya Aula Besar kini tidak terlalu sepi.


Langit-langit Aula Besar yang disihir agar persis sama seperti langit di luar mulai menurunkan salju saat makan malam usai. Kekenyangan dan mulai mengantuk satu persatu kembali ke asrama setelah mengucapkan makan malam. Aku baru ingin mengajak Naomi kembali ke Menara Ravenclaw, tapi Jaemin bangkit dari kursinya bersamaan denganku.


"Bisa kita bicara sebentar?"


"Kau mau bicara denganku?" tanyaku agak sangsi.


Wah, kupikir kami sedang saling menghindari.


Jaemin mengangguk.


Aku bisa melihat wajah usil Haechan yang ingin melempar komentar, tapi Renjun sudah lebih dulu memiting lehernya sehingga anak itu terpaksa bungkam. Rambut Haechan sampai berubah warna setiap detik karena ledakan emosinya yang ditahan Renjun. Naomi hanya melemparkan senyum penuh makna. Jeno tampak tidak peduli. Matanya terarah pada dua anak perempuan kelas tujuh Gryffindor di ujung meja. Oh, aku ingat dua-duanya terlibat dengan insiden Haechan sebelum pesta Klub Slughorn. Chenle masih sibuk mengobrol —atau berusaha mengajak Sophia mengobrol lebih tepatnya.


"Kalian bakal menarik perhatian orang lain kalau tidak pergi sekarang," ujar Jisung dan ia ada benarnya sebab beberapa murid yang tinggal mulai menoleh ke arah kami.


"Ayo," aku memimpin Jaemin keluar dari Aula Besar.


Ini sungguh canggung. Lebih canggung daripada saat kami bersama di kelas Arithmancy minggu lalu atau saat Jaemin memojokkanku di rak ramuan Professor Slughorn. Sial, mengingatnya saja sudah bikin pipiku panas.


"Aku senang kalian di sini," kataku membuka pembicaraan sementara menaiki tangga menuju menara Ravenclaw.


"Ini semua ide Chenle. Lagipula kudengar dari Naomi, kau tidak pulang liburan Natal kali ini, jadi begitulah."


Ah, itu menjelaskan makan malam Natal yang tak biasa tadi. "Tapi aku tidak sangka Jisung akan menuruti ide Chenle. Bukannya ia tidak suka merayakan Natal di sekolah?"


Jaemin terkekeh. "Anak itu punya alasan kenapa dia tidak mau di rumah. Bukan tanpa alasan Jisung ditempatkan di Slytherin, semua hal harus terjadi sesuai keinginannya."


Lalu kami saling diam lagi. Tangga yang kami naiki mendadak bergerak. Tubuhku kehilangan keseimbangan dan menubruk tubuh Jaemin. Jaemin nyaris memelukku dalam usahanya membuat kami tidak jatuh terguling. Kami saling menatap dengan bingung karena biasanya tangga ini tidak berubah arah.


"Hei, baik-baik saja, Thalia?"


Aku mengangguk. Jantungku mulai bereaksi dengan liar.


"Ayo, sebelum tangganya bergerak lagi," Jaemin menarik lenganku menjauhi tangga.


Alih-alih membawa kami menuju tangga spiral Menara Ravenclaw, sebuah lorong kosong kini terhampar di hadapan kami seolah memberi kami kesempatan untuk bicara dan menuntaskan masalah ini.


"Lewat sini," Jaemin membawaku ke arah lorong lain.


Oh, ya, aku lupa Na Jaemin jelas sudah hafal seluk-beluk lorong sekolah berbekal petualangannya bersama 00-line.


Aku berdeham canggung. "Um, Jaemin..."


"Kenapa? Kau terluka?" Jaemin tampak khawatir dan menghentikan langkahnya. Mengamati tubuhku dari kepala sampai kaki dengan wajah panik.


"Kau sudah tidak marah padaku?" Aku bertanya hati-hati sambil mengamati ekspresi wajah Jaemin.


Jaemin menghela napas. "Aku tidak pernah marah padamu, Thalia."


Ah, aku baru sadar cuma Jaemin yang memanggilku dengan nama depan.


"Lalu?"


"Aku cuma kecewa berat." Jaemin menghela napas lagi. "Sebab kau meragukan ketulusanku."


Sudah kuduga Mark akan membocorkan percakapan kami.


Jaemin meneruskan ucapannya. "Dengar, aku tahu Amortentia tidak jadi ukuran seberapa besar rasa sukaku padamu. Tapi bukankah itu bukti yang cukup kalau aku benar-benar tertarik padamu? Hanya padamu karena aku cuma mencium aromamu."


Sisi logis Ravenclaw-ku membenarkan ucapan Jaemin.


"Tidak apa-apa kalau kau memang menolakku, tapi percayalah aku tulus. Kalau aku tidak menerima penolakanmu dengan lapang dada, aku akan merasa semakin kalah dari Mark-hyung di matamu. Mulai sekarang aku tidak akan menganggumu lagi dengan perasaanku, oke? Akan kusimpan sendiri saja."


"Padahal aku berniat memberikanmu kesempatan," gumamku tak bisa menahan kecewa karena arah pembicaraan yang berubah drastis.


Kupikir Jaemin tidak mendengar, tapi ia menghadang jalanku. "Apa maksudmu?"


"Tidak ada. Ayo, kembali ke asrama," dustaku.


Namun aku tidak bisa melangkah semeter pun dari Jaemin seolah kakiku ditempel dengan Mantera Perekat paling canggih. Kulihat Jaemin mendongak menatap langit-langit koridor. Jangan bilang ...


"Mistletoe!" Peeves melayang menembus tembok sambil bernyanyi dengan nada yang bikin jengkel. "Kalau kalian tak lakukan, sepanjang tahun akan diikuti kemalangan."


Aku menghela napas.


Jaemin menyeringai. "Anggap ini berarti aku mengambil kesempatan yang kauberikan."


Menyebalkan, tapi tampan.


Saat bibir Jaemin menyentuh bibirku, aku tahu kuncup bunga Mistletoe di atas kepala kami mulai bermekaran.






Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang