6.10

185 41 15
                                    

"Kenapa kau tidak mengirimkanku surat lagi?"


Aku mendelik. Berani-beraninya dia bertanya kenapa aku tidak mengirimkannya surat lagi setelah diabaikan sekian lama?! Setidaknya Jisung cukup bijak untuk menanyakan pertanyaan tersebut saat es krimku sudah habis. Kalau tidak bisa kupastikan rambut hitamnya akan belepotan es krim.


"Wah, aku baru tahu kau menunggu suratku," responsku sarkastik. "Apa perapianmu kekurangan kayu bakar?" 


"Aku tidak membakar suratmu kalau itu yang kau maksud," ujar Jisung. Matanya yang kecil memicing tak suka mendengar tuduhanku.


"Oh, begitu? Hmm ... sepertinya jadi ganjalan pintu juga bisa. Jumlah surat yang kukirim mestinya cukup tebal kalau disatukan."


Jisung membuka mulut seperti ingin membalas ucapanku, tapi menutupnya lagi. Kelihatan seperti sedang menahan diri untuk tidak mengatakan sesuatu yang membuatku atau dia menyesal.


"Apakah itu juga alasan kenapa kau tidak mau menemui kami padahal kau sudah beberapa hari berada di Fairbourne?" tanyanya lagi.


Aku mengangkat alis sangsi. "Wah, tidak juga. Aku hanya terlalu penting untuk sekadar diabaikan," sahutku ketus, lalu tiba-tiba menyadari sesuatu, "tunggu dulu, bagaimana kau tahu aku sudah beberapa hari ada di sini?"


Jisung cuma mengangkat bahu, tapi ujung telinganya mulai memerah. Aku curiga Johnny pasti bilang sesuatu walaupun aku sudah melarangnya. 


"Aku minta maaf," ujar Jisung lagi. Matanya menatapku dengan tekad pasrah. "Aku tidak akan memberi alasan karena sikapku memang buruk sekali. Awalnya aku tidak suka padamu karena kupikir kamu cuma cewek cantik yang sok seperti kebanyakan. Maaf, aku menilaimu tanpa benar-benar mengenalmu. Aku minta maaf karena tidak membalas suratmu padahal kamu bahkan mengirimkan aku hadiah Natal. Aku minta maaf juga sudah bersikap brengsek padamu selama liburan musim panas tahun lalu. Aku minta maaf sudah menghindarimu sepanjang tahun lalu. Dan aku minta maaf juga untuk ..." 


Kalimat Jisung dibiarkan menggantung, tapi aku tahu untuk apa permintaan maafnya yang terakhir ini. 


Ciuman itu.


Kalau wajah Jisung bisa lebih merah lagi, inilah dia. Rasanya wajah Jisung seperti akan meledak kalau aku menyentuhnya dengan jariku. Lucu sekali meski ini jelas-jelas bukan situasi yang pantas untuk tertawa. 


"Err, soal ciuman," aku menjeda sesaat, merasa pipiku ikut merah dan memanas, "aku juga minta maaf. Aku tidak seharusnya menggunakan aura Veela dengan sengaja. Sori, Jisung."


Kupikir Jisung akan marah, tapi dia malah menghela napas. "Sudah kuduga sih, tapi kalau aku tidak tertarik kepadamu kurasa efeknya tidak akan sebesar itu."


Aku mengerjapkan mata dengan bingung. Apa barusan yang dikatakannya? Tertarik padaku?


Jisung merogoh sesuatu dari saku jubahnya. "Ini," lalu dia meletakkan sebuah kotak beludru kecil di atas meja. "Aku tidak tahu kau suka apa, jadi ... yeah ... begitulah, ermm ... kupilihkan yang kira-kira cocok ..."

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang