3.14

471 119 11
                                    

Aku hampir saja lari dan kabur meninggalkan Renjun di kandang burung hantu. Tapi refleks Renjun lebih cepat. Dia menangkap tanganku dan menggenggamnya dengan lebih erat tanpa membuatku sakit. Aku tidak bisa pergi ke mana-mana.


"Boleh," Renjun mengatakan dengan tegas. "Kita boleh begini. Aku tahu kamu akan bereaksi seperti ini, makanya aku selalu diam. Nggak apa-apa, Naomi. Enggak akan ada yang melarang hubungan kita."


Aku menunduk, tidak mau membalas tatapan Renjun yang tampak sangat putus asa meyakinkanku.


"Coba katakan padaku, Naomi," dia bicara dengan nada membujuk. "Kamu juga suka aku nggak?"


Perlahan aku mengangguk.


"Nah, kalau gitu, nggak ada masalah," katanya puas. "Kamu benar-benar pacarku sekarang!"


Bukannya melepaskanku, Renjun malah menarikku sampai tubuhku benar-benar menempel padanya. Renjun memelukku! Ya Tuhan! Aku dipeluk Renjun dan ini bukan pelukan biasa antar teman. Aku tahu sebab dia menumpukan kepalanya di atas kepalaku. Hatiku berdesir lagi.


"Tunggu sebentar!" Aku berusaha mendorong tubuh Renjun menjauh, namun gagal. "Bagaimana kalau Dreamies tahu? Thalia tahu? Satu sekolah tahu? Kakak-kakak? Para orang tua?"


Aku panik, tapi Renjun malah tertawa. Ah, aku merindukan gigi gingsulnya yang sudah dirapikan. Renjun menjentikkan jari di atas keningku.

"Over thinking." Renjun tersenyum. Caranya menatapku persis seperti ketika aku memergoki cara Mark menatap Anna."My favorite Ravenclaw."


"Injun, ini bukan waktu yang tepat untuk praktek ajaran gombal Jaemin," aku mengomel sebal. Aku tidak pernah membayangkan akan melihat jenis senyum dimabuk kepayang seperti itu dari Renjun. "Ayo, jawab!"


Renjun menghela napas. "Satu sekolah memang sudah tahu gara-gara kejadian tadi, jadi kamu nggak perlu khawatir. Dreamies dan Thalia mungkin akan kaget, tapi mereka nggak bisa melakukan apa pun. Aku yakin mereka bakal terima—yeah, paling aku dan Jisung kadang harus rebutan kamu."


Aku memutar bola mata mendengar lelucon yang mungkin bisa jadi kenyataan. "Lalu para kakak? Para orangtua?"


"Naomi, pernah nggak kamu berpikir kalau yang terjadi adalah hal sebaliknya?"


"Maksudmu?"


"Bayangkan alih-alih para kakak nggak pacaran dengan sesama anak Fairbourne karena peraturan tak tertulis seperti yang kamu pikirkan, bagaimana kalau ternyata mereka nggak pacaran dengan sesama anak Fairbourne karena memang nggak tertarik satu sama lain? Sesimpel mereka nggak saling suka lebih dari teman?"


Itu ... tidak terpikirkan olehku.


"Contohnya Jungwoo-hyung dan Harumi-nuna. Jungwoo-hyung boleh saja suka pada Harumi-nuna, tapi Harumi-nuna suka pada orang lain. Nggak ada yang bisa memaksa mereka berdua untuk bersama. Nggak ada juga yang melarang mereka untuk bersama. Semua murni karena hanya salah satu dati mereka yang suka," jelas Renjun panjang seperti menjelaskan bahan ramuan.


"Tapi kita—"


Renjun mengangguk. "Kita berbeda. Kita saling suka."


Aku tidak bisa membantahnya sebab itu benar. Aku terlalu terpaku pada standar sebagai keturunan dari keluarga penyihir di Fairbourne. Terlalu terpaku pada yang sudah pernah dilakukan para kakak terdahulu sampai lupa bahwa aku adalah diriku sendiri. Individu yang berbeda. Bahkan meski berasal dari satu keluarga pun, betapa berbedanya aku dan kakak-kakakku.


"Dan kalau kita putus ...?" Aku tidak bisa mengenyahkan kekhawatiran mengenai hal ini sebab apa yang terjadi di antara Mark dan Anna setelah putus jelas tidak bisa kuabaikan begitu saja. Putus bisa mengubah seluruh dinamika persahabatan kami.


"I solemnly swear that I work hard to keep our relationship last," Renjun meletakkan tangan di dada dengan sungguh-sungguh. "Lagipula Thalia, Sophia dan Dreamies tidak akan membiarkanku hidup kalau aku menyakitimu."


Aku tersenyum kecil, meskipun raut khawatir jelas masih tampak di wajahku dan Renjun kelihatannya mengerti, karena dia menggenggam tanganku lagi. "Aku tahu dan yakin ini nggak akan mudah, tapi kita 'kan berdua. Kita bisa bergantung satu sama lain, Naomi." Renjun berkata dengan sangat serius.


"Maaf, Injun," kataku pelan kini membalas genggaman tangannya. "Maaf karena aku selalu menolak untuk melihat ini semua. Maaf karena aku selalu lari."


"Nggak apa-apa. Aku tahu itu mekanisme pertahanan kamu." Genggaman tangan Renjun menguat. "Kamu boleh lari, tapi aku bakal selalu kejar kamu untuk membawa kamu kembali."


Aku tertawa. "Ih. Dasar menggelikan! Kamu harus dijauhkan dari Jaemin."


Renjun tertawa juga dan menjawil hidungku. "Memang gombalan Jaemin tuh nggak mempan ya sama kamu."


"Kalau kamu lupa, aku tumbuh besar dengan Jaemin, Haechan, Jeno dan kamu selama delapan belas tahun. Tidak ada efeknya buatku."


"Yeah, tapi kita malah naksir satu sama lain."


Benar juga. Sungguh ironi.


***

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang