2.2

911 175 16
                                    

"Minggu depan libur, tapi aku tidak menantikan libur sama sekali gara-gara pertandingan ini," celetuk Logan Thomas, salah satu Beater, dan ditanggapi anggukan oleh Art Parkinson, Beater yang lain.


"Ugh, kenapa lawan pertama kita tahun ini harus Slytherin sih?" keluh Felix Lee—yang bermain sebagai Seeker—bergidik. Mungkin masih teringat pertandingan final tahun lalu saat ia nyaris jatuh dari sapu gara-gara Seeker Slytherin.


"Kau lihat sapu baru mereka? Wah, Nimbus 2010-ku sih tidak ada apa-apanya," Ben Pucey, si Keeper ikut berkomentar.


"Tapi pemain Slytherin semuanya ganteng, terutama si Kapten," seru Lisa Price, si Chaser tak tahan untuk mengaku sebagai penggemar.


"Uh huh, eye-smile and face-genius Lee Jeno," Mary Cohen yang juga bermain sebagai Chaser menambahkan dengan nada penuh damba.


"Cih, ganteng dari mana," decih Logan tak setuju.


Art menyetujui sentimen Logan dan bergidik. "Rasanya bulu kudukku berdiri kalau melihat Kapten Slytherin tersenyum di lapangan. Bagaimana bisa senyumnya bikin aku ingat pada Grim?"


Aku mengetuk papan keras-keras untuk menghentikan celoteh para anggota tim. "Dengarkan aku. Slyhterin mungkin punya sapu bagus, Seeker yang gesit dan Kapten yang ambisius. Tapi, kerjasama tim Gryffindor adalah yang terbaik di sekolah. Kita punya kesempatan besar untuk menang."


Kami menyudahi latihan setelah matahari terbenam. Aku memanggul sapu dan kembali ke Menara Gryffindor setelah mengembalikan peralatan Quidditch yang kami pinjam dari Madam Hooch. Gulungan perkamen berisi strategi melewan Slytherin, kugenggam di tangan kanan.


Ah, tiba-tiba aku merindukan Mark Lee yang selalu cengengesan saat menjelaskan taktik pada kami.


Tahun lalu Gryffindor memenangkan Piala Quidditch dengan Mark Lee sebagai kapten. Gryffindor menang seratus angka dari Slytherin setelah Felix nyaris terjungkal dari sapu akibat saling susul-menyusul dengan Park Jisung, si seeker Slytherin yang kemudian benar-benar jatuh. Itu pertama kalinya Jisung gagal menangkap Snitch. Jeno sendiri sudah menjadi kapten saat itu dan aku tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di antara Jeno dan Mark sebab aku tahu mereka dekat sebagai sesama anggota Dreamies.


"Jane! Kau sudah selesai latihan?" Lauren berlari menghampiriku dari pintu Aula Depan. Rambut merah stroberinya melambai ditiup angin malam.


"Jangan peluk-peluk! Aku ini berkeringat dan bau, tahu," aku mendorongnya risih.


Kami berdua tidak termasuk golongan gadis dengan bentuk tubuh mungil mengingat aku bermain di Tim Quidditch dan Lauren mendapat gen Kaukasia dari ayahnya, tapi dia hobi sekali peluk-peluk atau menempel padaku dengan sok imut. Sungguh tidak cocok dengan image kami.


"Kau menungguku?" Aku bertanya setelah melepaskan diri dari pelukan Lauren.


Lauren mengangguk dan mengacungkan sehelai surat di depan hidungku. "Eomma bilang lebih baik aku tidak pulang saat Natal."


"Kenapa?"


"Mereka mau mengunjungi Halmoeni." Bibir Lauren mengerucut sedih.


Ah, aku mengerti ke arah mana pembicaraan ini, tapi aku juga tidak bisa mengajak Lauren berlibur di rumahku karena aku juga tidak pulang Natal kali ini. Ayah dan Ibu sedang dalam paket perjalanan ulang tahun pernikahan di Mesir dan baru kembali setelah tahun baru. Aku sih biasa saja. Sudah cukup besar untuk melalui Natal sendiri.


"Well, jadi kita akan tinggal di kastil bersama-sama." Aku merangkul Lauren—berusaha menghibur. "Ini kan pertama kali kita tidak pulang saat Natal."


Wajah Lauren masih ditekuk.


"Oh, ayolah, banyak hal seru yang bisa kita lakukan di kastil saat Natal. Kau mau ke Hogsmeade? Aku temani beli hadiah Natal untuk Haechan deh."


Bujukanku kali ini berhasil menerbitkan senyum di wajah Lauren.


"Sungguh? Kau tidak boleh menarik ucapanmu lagi ya," Lauren mewanti-wanti—menggandeng lenganku yang tidak membawa sapu menuju Aula Besar.


Kami berpapasan dengan Jeno dan Jaemin, si charming flirt saat menuju meja Gryffindor.


"Selamat sore, Nona-nona," sapa Jaemin ramah dengan senyum lebar. Jeno di sebelahnya diam saja seperti patung. Tuh 'kan tatapan matanya kembali dingin. Bagaimana dua orang berbeda kepribadian ini bisa berteman dekat mungkin bisa jadi salah satu misteri dunia Sihir.


"Jangan lupa datang ke Klub Slughorn setelah pertandingan Quidditch minggu depan," Jaemin, yang memang semacam ketua tidak resmi Klub Slughorn, mengingatkan. "Dan semoga berhasil untuk pertandinganmu, Ahn."


Aku mengerjap, lalu nyengir kikuk. Bingung harus bereaksi bagaimana mengingat Jaemin mendoakan aku sukses di depan temannya yang akan menjadi lawanku.


Apa Jaemin sedang mengejekku?


Ah, tidak mungkin. Jaemin itu baik meski agak tukang gombal.


Berarti dia sedang mengerjai temannya sendiri?


Jeno mendelik pada kami, lalu berjalan menuju meja Slyhterin —meninggalkan Jaemin tanpa berkata apa-apa. Jaemin hanya nyengir dan melambai sebelum menyusul Jeno yang kini tampaknya tak mau berdekatan dengan Jaemin.


"Mereka aneh ya?" celetuk Lauren menyuarakan pemikiranku.


"Kau lebih aneh tahu!" balasku lalu meraih kantong jubah Lauren yang menggembung. "Kenapa kau benar-benar beli krim buatan Haechan?!"


    ⏪🔛⏩    




Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang