2.11

726 161 16
                                    

Oke, yang tadi itu sangat canggung.

Aku terdiam kehabisan kata-kata sedangkan wajah Jeno mulai memerah seperti tempo hari di lapangan Quidditch karena kiss cam Haechan. Rona merahnya terlihat jelas meski hanya dari pencahayaan tongkat sihir kami.


Jeno berdeham—bergerak menjauh agar lutut kami tidak saling menyentuh. "Pertama, aku dan Dreamies tidak memanipulasi peri rumah. Kalau cuma untuk dapat makanan, menyurati rumah Chenle jauh lebih cepat dan aman dibandingkan ke dapur dan berisiko ditangkap Filch."


Oh, benar juga. Aku lupa mereka punya Chenle.


Itu berarti tak diragukan lagi para peri rumah memang benar-benar suka pada Lee Jeno dan Dreamies. Ayahku pernah bilang kalau kalian ingin tahu sifat sesungguhnya dari seseorang, lihatlah bagaimana dia memperlakukan makhluk yang berada di bawah, bukan yang setingkat atau lebih tinggi darinya. Aku sudah tahu kalau Jeno memang bersikap baik pada sesama murid dan para guru, tapi melihatnya bersikap baik begini pada para peri rumah adalah sesuatu yang mengejutkan. Mengingat gampang sekali memasukkan Jeno dalam kategori tipikal Slytherin: pirang, dingin dan licik.


Apa aku salah menilai si pangeran Slytherin ini?


"Kedua, perkamen ini peta," jelas Jeno lagi menunjuk perkamen lusuh di kantong jubahnya. "Aku tidak bisa bilang lebih banyak karena ini rahasia. Kecuali kau mau bergabung dalam 00-Line."


Dan berbuat onar bersama mereka? Tentu tidak.

Penjelasan Jeno tidak menjawab rasa penasaranku tentang perkamen itu, tapi aku menghargai usahanya. Aku masih diam dan menunggu ia menyelesaikan ucapannya.


"Ketiga," Jeno melanjutkan. "Aku sungguh tidak benci padamu."


Kali ini aku buka mulut. 


"Tidak usah bohong, Jeno Lee. Aku bisa lihat dari tatapanmu tahu."


Semburat merah kembali muncul di wajah Jeno bersamaan dengan matanya yang membelalak kaget. "Tatapanku?" Dia mengulang tak yakin.


Aku mengangguk. "Kau tidak pernah tersenyum padaku sama sekali. Kau selalu jadi dingin kalau kita berkontak mata. Selalu melengos saat berpapasan denganku," ujarku mengabsen satu persatu tingkah Jeno. "Kenapa? Apa karena aku lawanmu di Quidditch?"


Tiba-tiba Jeno malah tertawa membuatku terkejut karena aku baru pertama kali mendengarnya benar-benar tertawa.


Demi janggut Merlin, kenapa banyak sekali hal-hal pertama di antara aku dan Jeno malam ini? Anehnya, tawa Jeno terdengar menyenangkan. Mungkin dia memang tidak seburuk itu.


"Jadi, Jane, diam-diam kau sering memperhatikanku ya?"


Aku tahu Jeno bertanya dalam konteks bercanda, tapi seperti biasa aku justru membalasnya dengan nada mengajaknya bertengkar.


"Tidak!" bantahku sambil menyembunyikan rasa malu. Pipiku pasti mulai merah sekarang. Teringat pada ucapan Lauren tentang bikin lubang di kepala Jeno. "Jangan-jangan justru kau yang sering memperhatikanku!"

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang