2.7

694 158 9
                                    

Tak kusangka makan malam Natal yang tadinya hanya terdiri dari sepuluh siswa termasuk aku, Lauren dan Thalia serta para guru dan hantu tiba-tiba menjadi ramai dengan kehadiran para Dreamies dan Naomi Cho. Meja-meja disatukan untuk makan bersama dengan hidangan mewah yang nyaris seperti santapan pesta besar.


Aku duduk di ujung meja bersama Lauren, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari Jeno.


"Lihat, dia menatapmu."


"Sst! Jangan keras-keras!"


Lauren menggelengkan kepala prihatin. "Kau sih cari gara-gara dengan Lee Jeno."


"Aku enggak cari gara-gara!" elakku sewot.


"Ck, Jane Ahn dan temperamennya," decak Lauren dengan lagak sok dewasa. "Topi seleksi memang tidak salah pilih asramamu."


Aku hanya mendengus. Lauren sudah kuceritakan mengenai konfrontasiku dengan Jeno di pesta Klub Slughorn tempo hari. Terutama rasa penasaranku dengan alasan si Kapten Slytherin itu harus membawa-bawa nama mantan pacarku.


"Jangan-jangan dia mau mendekatiku untuk tahu taktik Quidditch," tebakku asal setelah kami kembali ke ruang rekreasi Gryffindor.


Mumpung hanya ada kami berdua saja sebab yang lain masih tinggal di Aula Besar, kesempatan ini harus kumanfaatkan untuk membahas Jeno. Aku segera mengajak Lauren kembali ke asrama setelah Thalia yang disusul Jaemin keluar dari Aula Besar terlebih dulu. Juga sebelum Haechan muncul dan mulai memonopoli Lauren.


Lauren mencibir. "Ck, pantas saja Jeno menuduhmu begitu. Kau ini percaya diri sekali kalau dia mendekatimu. Siapa tahu Jeno cuma mau berteman? Kalian 'kan sama-sama kapten."


"Justru itu," potongku bersemangat. "Taktik Quidditch."


"Jane Ahn, bukan berarti karena kau jarang pakai rok atau sesuatu yang berumbai dan lebih sering pakai seragam Quidditch, semua orang melihatmu hanya sebagai kapten," ujar Lauren dengan nada lelah seolah menasehati anak kecil. "Kau itu teman yang baik dan gadis yang menarik."


"Tadi katamu Jeno mungkin tidak mendekatiku, sekarang kau bilang aku gadis yang menarik. Kenapa kau bikin aku bingung sih, Smith?"


Tawa Lauren berderai mendengar aku frustrasi. Setelah kuperhatikan Lauren tampak lebih bahagia daripada biasa. Apa dekat dengan Haechan memberi efek sangat baik padanya?


Oi, Jane Ahn! Urus dulu urusan Jeno, baru mengurusi hubungan Lauren dan Haechan.


"Maksudku, aku dan Jeno 'kan sudah saling kenal sejak kelas satu. Kenapa dia baru memutuskan mendekatiku di saat aku baru jadi kapten Quidditch?"


Lauren yang kini duduk di depan perapian sambil mengoleskan cat kuku tanpa sihir di jari kaki tampak berpikir serius. "Entahlah. Tapi, tahun ke-lima, kau 'kan pacaran dengan McMillan dan tahun lalu pacaran dengan Goldstein. Tentu saja Jeno tidak punya kesempatan untuk mendekatimu —itu pun kalau dia benar-benar berniat mendekatimu sebagai 'calon pacar'." Ia mengangkat tangan dengan gestur mengutip.


Obrolan kami terpaksa terhenti saat pintu lukisan berayun terbuka dan Haechan muncul dari lubang lukisan dengan kantong kertas cokelat di tangannya.


"Kenapa kalian buru-buru banget tadi?" tanyanya dengan senyum sumringah yang biasa.


"Jane sakit perut," dusta Lauren lancar sambil menahan tawa sementara aku mendelik tajam. Bohong sih bohong, tapi jangan menistakan teman sendiri dong. Haechan kelihatannya suka sekali dengan jawaban Lauren karena ia mulai cekikikan sendiri.


"Apa itu di tanganmu?" Lauren bertanya.


Haechan mengeluarkan dua buah baju rajut hangat dari dalam kantong kertas cokelat. Yang satu berwarna merah tua dan satu lagi berwarna hijau tua. Modelnya sama persis seperti baju hangat merah dengan huruf H besar berwarna emas yang sedang dipakai Haechan.


"Hadiah dari Chenle," jelasnya. "Ibu Chenle merajut terlalu banyak baju hangat tahun ini. Dia bilang aku boleh berikan untuk siapa saja, jadi kubawa saja untuk kalian. Tidak ada rajutan inisial namanya sih, jadi kalau kalian tidak mau ya tidak apa-apa."


Tapi Lauren sudah menyambar baju hangat itu dari tangan Haechan dan menyerahkan yang berwarna hijau tua padaku.


Sekali sentuh aku juga tahu kalau benang rajut yang dipakai Ibu Chenle jelas berbeda kualitas dengan yang biasa dipakai oleh nenekku. Baju hangat ini terasa lembut dan sepertinya disihir supaya menyimpan kehangatan. Aku tahu kami tidak akan mungkin merasakan kebaikan hati (baca: kemewahan) dari Chenle seperti ini kalau bukan karena hubungan Haechan dan Lauren yang semakin dekat.


"Bilang terima kasih pada Ibu Chenle dan Chenle. Ini bagus sekali," kata Lauren yang sudah memakai baju hangat di atas kausnya. Dia jadi seperti kembaran baju dengan Haechan.


Haechan mengangguk puas, lalu menjentikkan jari. Ekspresi wajahnya kini tampak penuh konspirasi. "Ah, satu lagi. Kami mau kumpul-kumpul di kamar kebutuhan malam ini. Kalian mau ikut?"


"Kami?"


"Ya, aku dan para Dreamies. Kami cuma bermain atau mengobrol santai. Thalia sudah oke kok, dia bahkan izin pada Professor McGonagall," jelas Haechan panjang. Tumben betul 00-Line izin segala. Aku yakin pasti karena Renjun dan Thalia sekarang jadi Ketua Murid. "Jadi, ikut?"


Aku tahu sebenarnya ajakan Haechan lebih ditujukan untuk Lauren, tapi aku juga tahu kalau Lauren tidak akan mau ikut bergabung dengan para Dreamies—kami yang dimaksud oleh Haechan—tanpa aku ikut serta. Lihat saja tatapan penuh harap Haechan padaku.


"Terdengar menarik," aku pura-pura tertarik. "Menurutmu bagaimana?"


"Ikut ...?" Lauren terdengar kurang yakin, tapi kepingin.


Aku mengangguk saja dan Haechan bersorak. Sungguh aku tidak menduga kalau liburan musim dingin tahun terakhirku di Hogwarts bisa begitu berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Dan oh, masa bodohlah dengan Lee Jeno. 


  ⏪🔛⏩       


an. ramaikan chapter ini dengan komentar kaliaan :)


Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang