2.8

681 157 23
                                    

"Wah, kembar!" Chenle berseru riang menunjuk ke arahku lalu Jeno.


"Chenle, kau bikin Jane jadi canggung," tegur Naomi halus, yang kubalas dengan gelengan pelan.


Aku cuma kaget saat menyadari Jeno memakai baju hangat berwarna hijau yang sama dengan huruf J besar dan N kecil berwarna perak. Sekarang aku mengerti kenapa Ibu Chenle merajut baju hangat berwarna hijau dan merah. Pasti anak Dreamies lain juga punya sesuai dengan warna asrama masing-masing. Tadinya aku tidak ingin memakainya, tapi Lauren dan Haechan memakai dan aku jadi tidak enak kalau tidak ikut pakai. Ternyata hanya kami berempat yang memakai baju hangat dari Ibu Chenle. Jadi, aku hanya bisa meringis mendengar seruan Chenle.


Jeno terlihat biasa dan malah cenderung tidak peduli.


Aku mulai menyesali kenapa mengiyakan ajakan Haechan. Tapi melihat Lauren tertawa bersama Haechan mau tak mau membuatku merasa sudah membuat keputusan yang benar. Naomi dan Thalia juga baik sekali mau menerimaku dan Lauren yang menjadi tamu dadakan.


Sudah kuduga sejak awal kalau acara kumpul malam Natal ini aneh. Dugaanku terbukti benar karena ternyata Haechan berbohong. Mana mungkin 00-Line minta izin segala. Di pojok kamar kebutuhan, Jaemin sedang diomeli habis-habisan oleh Thalia. Ketua Murid perempuan itu tampak jengkel sekali sampai mukanya merah padam, tapi ia juga terlihat tidak tega pada Jaemin yang justru tampangnya tidak seperti orang yang sedang dimarahi.


Dasar budak cinta!


Renjun juga sepertinya sedang diomeli dengan cara yang lebih anggun oleh Naomi. Tapi alih-alih kelihatan pasrah saja seperti Jaemin, Renjun malah saling sahut-menyahut dengan Naomi membuatku teringat pada kakek dan nenekku.


Di dekat mereka ada Chenle dan anak kelas lima Ravenclaw yang baru kuketahui namanya Sophia Li. Ia duduk di sebelah Chenle dengan buku di depan hidung dan aku memperhatikan usaha ekstra Chenle mengajaknya bicara. Di hadapan mereka ada Jisung yang berwajah serius. Anak itu tampaknya tak begitu suka padaku, tapi bersikap biasa saja pada Lauren. Mungkin ia masih terbawa persaingan Quidditch. Jisung juga satu-satunya yang tampak tidak membawa 'gadis'nya ke acara kumpul ini.


Chenle dan Jisung sedang bermain Gobstone dan ...


Hei, apa itu Gobstone emas?!


Wah, gila! Aku bisa mengosongkan setengah isi tabunganku di Gringgots hanya untuk membeli mainan itu. Kurasa bagi Chenle dan mungkin orang-orang yang tinggal di Fairborne itu bukan masalah. Cih, aku jadi ingat sapu baru mereka. Bikin iri saja. Walau begitu, aku tetap ikut main saat diajak.


Setelah banyak ronde permainan dan aku kalah secara spektakuler (dan memalukan), tibalah waktunya untuk hukuman.


"Dapur? Serius? Bagaimana caranya?" tanyaku kaget saat Haechan memberitahukan apa hukumannya.


Mengambil makanan di dapur yang dijaga para peri rumah. Tujuh tahun aku bersekolah di Hogwarts, aku baru tahu kalau ternyata benar-benar ada peri rumah di sini dan ada akses khusus menuju dapur. Kupikir itu cuma bualan Haechan yang kerap kali kembali dengan tangan penuh makanan kalau Gryffindor sedang berpesta.


"Hei! Jangan ajari Jane yang aneh-aneh!" protes Thalia, tapi tentu saja tidak digubris oleh Haechan.


"Kalau begitu, Jane-nuna enggak bisa disuruh pergi sendiri dong," celetuk Chenle. "Kan dia enggak tahu letaknya dimana."


Oh ho, jadi rahasia tentang dapur Hogwarts bukan cuma 00-Line saja yang tahu.


"Suruh saja yang kalah kedua terbanyak buat menemani," sahut Jisung yang kini mulai rewel sebab lapar. "Ayo, cepat dong, Hyung! Aku bisa makan Hippogriff saking laparnya!"


Yang kalah terbanyak selain aku, berarti ...


Demi janggut Merlin!


Jeno menghela napas. "Hukum aku dengan misi lain saja," tolaknya.


"Iya, suruh siapa pun yang lain." Asal bukan Jeno, sambungku dalam hati menyetujui sentimen Jeno. Cih, dia pikir dirinya saja yang keberatan dengan hukuman itu. Aku juga keberatan tahu!


"Yang sportif dong," ujar Renjun dengan nada tenang, tapi menusuk perasaan. "Apa gunanya kalian jadi atlet Quidditch kalau kalah begini tidak sportif?"


"Betul itu," Jaemin menimpali mentang-mentang dia juga pemain Quidditch. "Lagian kasihan Jane kalau jalan sendirian di koridor malam-malam begini. Kalau dia nyasar ke kantor Filch, bagaimana?"


Aku kehabisan argumen, sementara Jeno sudah berdiri.


"Ayo!" ajaknya. "Mau sampai kapan diam saja? Keburu Jisung benar-benar makan Hippogriff."


Tapi aku masih tak sepenuhnya percaya dengan Jeno yang tiba-tiba mengajukan diri. Bagaimana kalau tiba-tiba dia mengutukku saat kami hanya berdua? Sepertinya keraguanku tertampang jelas sebab Jeno memutar bola mata jengah.


"Aku enggak bakal aneh-aneh," janji Jeno tampak sungguh-sungguh. "Lagipula kalau aku aneh-aneh juga bakal kau balas 'kan?"


Ya betul juga sih. Aku tidak bakal tinggal diam kalau Jeno berbuat macam-macam. Masa bodoh dengan tatapan dingin Jeno yang sampai sekarang masih ditujukan padaku. Akhirnya aku berdiri dan mengikuti Jeno menuju pintu yang mendadak muncul di dinding kamar kebutuhan.


"Jeno, bawa ini." Jaemin menggunakan sihir untuk mengirim selembar perkamen yang ditangkap oleh Jeno. "Kita enggak mau tanggung jawab lho kalau kalian sampai tertangkap oleh Filch. Kasihan pacarku nanti ikut terseret juga," tambahnya sembari merangkul Thalia yang menggeliat melepaskan diri.


Mereka ... berpacaran?


Jeno hanya menggangguk dan mengantongi perkamen lusuh itu dalam jubahnya, lalu memberi isyarat agar aku mengikutinya. Lauren melambai sambil mengucapkan 'jaga temperamenmu' tanpa suara untukku.


Aku berdecih. Selama tidak diprovokasi, aku tidak akan terpancing. Yang membuatku justru tidak siap adalah melihat langsung sikap Jeno saat kami berada di dapur.


Jeno tidak seperti Lee Jeno yang selama ini kuketahui.


    ⏪🔛⏩       



Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang