2.10

650 162 2
                                    

Wajah Jeno mendadak panik saat dia berusaha membuka pintu lemari sapu.


"Kenapa?"


"Terkunci."


Aku mengerjap dan mulai panik juga.


"Minggir," ujarku mendorong tubuh Jeno sampai dia nyaris terhantam sapu-sapu tua di dalam lemari dan mengeluarkan tongkat. "Alohomora!"


Tetap tidak terbuka. Sialan!


Jeno mencoba dengan mantera yang sama, tapi pintu lemari sapu tetap tidak mau terbuka.


"Selamat bersenang-senang di dalam sana!"


Peeves tiba-tiba muncul melayang menembus pintu lemari sapu sambil menyeringai usil. Demi janggut Merlin, kami dikerjai oleh hantu! Aku sudah mau marah-marah lagi, tapi Peeves keburu menghilang menembus dinding lemari, menyisakan gema tawa isengnya yang membuat darahku mendidih.


"Apa aku coba dengan Bombarda Maxima saja?" Aku menimbang-nimbang dengan serius setelah percobaan untuk kesekian puluh kali dengan Alohomora tidak membuahkan hasil.


Jeno yang sudah duduk di atas ember yang terbalik di sudut lemari sapu, lagi-lagi menatapku skeptis. "Silakan saja kalau mau membangunkan seisi sekolah dan mendapat detensi begitu liburan usai."


Walaupun aku tahu Jeno ada benarnya, aku jelas tidak cukup berbesar hati untuk mengakui.


"Aku sudah kirim pesan lewat Koin Protean," kata Jeno menunjukkan sekeping uang logam Knut di telapak tangannya. Wah, ternyata Dreamies cukup kreatif untuk memakai Mantera Protean. "Sebentar lagi Renjun atau Haechan akan datang menolong."


Tentu saja mereka berdua termasuk yang paling jago dalam urusan mantera di antara anggota 00-line.


"Renjun atau Haechan tidak akan datang kemari secepat itu," kata Jeno lagi setelah beberapa menit melihatku berdiri dengan tangan terlipat dan bersandar pintu lemari sapu.


Aku masih bersungut-sungut karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyelesaikan situasi ini, tapi Jeno tampak biasa saja duduk di ember yang terbalik sambil mengamati perkamen lusuh itu lagi. Dia sudah menggunakan Lumos untuk menerangi lemari sapu. Titik-titik dengan label yang tidak bisa kubaca bergerak di antara garis dan kotak. Aku sungguh penasaran dengan perkamen itu, tapi kelihatannya Jeno tidak akan menjelaskan.


Jadi, aku cuma bisa mendongkol sendiri dan akhirnya ikut duduk di atas ember yang terbalik di sisi lain lemari sapu. Ugh, menyebalkan. Lemari sapu ini betul-betul sempit membuat tempurung lututku nyaris bersentuhan dengan lutut Jeno.


"Kau masih curiga padaku ya?" tanya Jeno tiba-tiba yang membuatku tersentak. "Kalau aku memanipulasi para peri rumah?"


Aku memicingkan mata, agak kaget dengan tuduhannya. Sebenarnya aku sedang sibuk memikirkan bagaimana cara keluar dari sini atau cara agar waktu bisa berlalu lebih cepat di dalam sini. Jelas aku tidak memikirkan dia.


"Tidak," jawabku singkat dan terburu-buru membuatku diam-diam meringis karena ucapanku terdengar kasar.


Jeno melipat perkamen lusuh itu dan menyimpannya di balik jubah. Ia menghela napas, kemudian berkata dengan suara pelan sampai aku nyaris luput mendengarnya, "Jane Ahn, kenapa kau benci sekali padaku ..."


Mari  untuk sementara kita abaikan fakta bahwa ini pertama kali Jeno menyebut namaku sejauh yang bisa kuingat.


Aku menatap Jeno seolah aku salah dengar. Rambut pirang Jeno seperti lingkaran suci Santo dalam penerangan dari ujung tongkatnya, tapi dia justru sedang menuduhku dengan tuduhan tak berdasar.


"Bukannya justru kau yang membenciku, Mr Jeno Lee," aku balik menuduh tak terima.


Jeno tercengang, tampak kaget. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?"


"Terlihat jelas tahu."


"Terlihat jelas bagaimana?"


"Jangan pura-pura tidak tahu."


"Ha? Jelaskan kalau begitu."


"Tunggu ... Jadi, ini serius kau tidak benci padaku?"


"Tentu saja tidak!"


Tampaknya Jeno menjawab tanpa berpikir.


Uh ho. Apa lagi ini?



  ⏪🔛⏩  

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang