6.9

231 44 37
                                    

Menit-menit setelah Bibi Martha pergi berjalan lambat dan sangat canggung. Sungguh deh kalau aku benar-benar sudah punya lisensi ber-Apparate, aku akan segera menyingkir dari hadapan Jisung. 


Melihat wajahnya membangkitkan amarah terpendam musim panas tahun lalu. Belum lagi ditambah orang-orang yang menatap kami penasaran. Penampilanku memang selalu menarik perhatian orang, tapi jelas bukan untuk dipermalukan. Aku sudah berbalik ingin pergi saja daripada tidak diacuhkan lagi, tanpa kuduga, Jisung sudah bicara lebih dulu dengan suaranya yang berat dan dalam itu.


"Shall we?"


Aku menatapnya dengan gusar, menggertakkan gigi sebal. "Kau tahu kan kau tidak perlu melakukan ini?"


Jisung mengangkat sebelah alis dengan ahli. Ah, lagi, ekspresi yang belum pernah kulihat. "Maksudmu?"


"Berpura-pura ramah begini!" ujarku nyaris berteriak saking frustrasinya. Sama sekali tidak cantik kalau aku marah-marah di tengah jalan begini. Apalagi banyak penonton. Jadi, aku cuma bisa mendelik pada Jisung, "kau bisa pergi dan aku bersumpah aku tidak akan bilang apa-apa pada Bibi Martha."


Ledakan amarahku hanya ditanggapi dengan ekspresi bingung. "Sepertinya kau kepanasan ..." kata Jisung menundukkan wajah sampai sejajar wajahku, membuatku mundur selangkah. Ngapain coba dia dekat-dekat begini?! "Bagaimana kalau kita makan es krim? Aku tahu kita punya beberapa hal yang harus diluruskan," ajaknya membuatku curiga. 


Bagaimana bisa Jisung bersikap seperti orang yang diberi Jampi Memori? Apa dia sudah lupa dengan sikap tidak acuhnya padaku sepanjang tahun lalu dan sekarang mendadak sok gentleman begini?


Dengan dongkol, aku mengikuti langkahnya menuju Kedai  Es Krim Florean Fortescue. Aneh juga rasanya pertama kali berjalan bersebelahan dengan Jisung. Aku menegakkan kepala dan mengibaskan rambut dengan cantik ketika beberapa kepala menoleh atau beberapa pasang mata terus-menerus menatapku saat melewati mereka. Meskipun beberapa dari mereka buru-buru bertingkah pura-pura tidak melihat. Ternyata mereka dipelototi balik oleh Jisung yang membuatku bingung kenapa dia bersikap begitu.


Aku memilih duduk di salah satu kursi sementara Jisung membeli es krim. Kursi itu diteduhi payung merah besar di depan kedai yang langsung membuatku merasa lebih baik. Payung ini pasti dipasangi Mantera Penyejuk selama musim panas. Amarahku lumayan menguap meski tidak sepenuhnya hilang setelah berada di tempat teduh.


"Hai, Cantik," penyihir cowok berjubah hijau muncul mendadak entah dari mana. "Sendirian?"


Dari wajahnya, mungkin usianya tidak jauh berbeda denganku. Untuk ukuran cowok Inggris, dia lumayan, tapi sama sekali bukan tipeku. Biasanya aku akan menatapnya dengan tatapan merendahkan sampai dia tersinggung dan pergi sendiri. Namun Jisung muncul sebelum aku bisa melakukan apa pun.


Jisung berdeham keras sampai cowok itu berbalik. Dia mengangkat alis dengan menantang dengan dua cone es krim yang di tangan kiri dan kanannya. "Ada masalah, Bolton?"


Si Bolton menatap Jisung sinis. "Dia pacarmu?" tanyanya, lalu berdecih. "Lebih baik kau banyak latihan daripada pacaran, Park, kalau mau menang dari Gryffindor."


Ooh, menarik. Jadi ... mereka ini rival?


"Urus urusanmu sendiri, Bolton," tukas Jisung yang bahkan tidak berkedip saat membalas Bolton. "Berusahalah. Kudoakan kali ini kau bisa masuk tim Quidditch. Ini try out-mu yang keberapa ya? Empat?"


Oooh, savage!


Wajah Bolton memerah menahan marah, tapi dia tidak berkata apa-apa lain dan langsung pergi. Sengaja benar menabrak bahu Jisung saat melewatinya. 


Jisung menggelengkan kepala, lalu duduk di hadapanku. "Dia dengki karena aku sudah jadi Kapten Quidditch sedangkan dia masih belum lolos try out-nya yang entah kesekian. Sori kalau dia membuatmu tak nyaman."


Aku cuma menggeleng, meskipun agak heran kenapa Jisung merasa perlu menjelaskan hal tersebut dan bukannya menjelaskan kenapa dia tidak mengoreksi dugaan si Bolton kalau aku bukan pacarnya. 


"Kau mau yang mana? Earl Grey and Lavender atau Butterbeer?" tanyanya merujuk pada cone es krim di tangan kiri dan kanannya. 


"Earl Grey, please," kataku menerima es krim dari Jisung. "Merci."


Selama beberapa menit, kami menikmati es krim dalam diam. Aku mengamati para pejalan kaki yang melewati kami di depan kedai, sama sekali tidak berniat untuk membuka topik pembicaraan. Biar saja Jisung merasakan bagaimana tidak enaknya diabaikan. Kalau kata orang Inggris, make him taste his own medicine.


"Terima kasih, omong-omong," ujar Jisung memecah keheningan, "untuk hadiah Natal."


Oh. Ternyata dia menerimanya. Sarung tangan kulit naga yang kupilih dengan penuh pertimbangan. 


Aku tidak menjawab dan cuma mengangkat bahu. Es krimku tinggal setengah dan begitu habis, aku akan segera menyingkir dan mencari Bibi Martha. 


Tapi, rupanya Jisung memutuskan bertanya. 

"Kenapa kau tidak mengirimkanku surat lagi?"





---



an. minggu depan Dear Mochisung kelar. Kita lanjut punya Chenle dulu atau Mark?

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang