2.9

681 158 9
                                    

Para peri rumah menyambut Jeno seperti menyambut pahlawan. Tubuh kecil yang tak lebih tinggi dari anak-anak dengan serbet berlambang Hogwarts terikat di leher mengerubungi si Kapten Quidditch Slytherin seolah sudah menantikan kedatangannya sejak lama. Suara-sura cempereng mereka dengan penuh semangat bertanya apa yang Mr Lee butuhkan. Jeno menjawab dengan ramah lengkap dengan senyum yang membuat matanya tampak seperti bulan sabit. Aku tertinggal di belakang nyaris tidak percaya dengan apa yang sedang kusaksikan.


"Miss butuh sesuatu?" Peri rumah kecil bertelinga seperti kelinci dengan bola mata biru sebesar bola pingpong berdiri di hadapanku. "Tinky tidak pernah lihat Miss bersama Mr Lee sebelumnya."


Tentu saja tidak pernah. Aku bahkan baru tahu letak dapur di belakang lukisan semangkuk buah-buahan dan kalau pirnya digelitik akan berubah jadi pegangan pintu. Tentu aku tidak bilang begitu pada si peri rumah—apakah dia perempuan?—dan hanya tersenyum tipis.


"Aku tidak butuh apa-apa. Mr Lee sudah mengurus semuanya," jawabku.


"Apa Miss juga teman Mr Lee? Biasanya Mr Lee selalu datang bersama teman-temannya yang lucu-lucu."


Sudah pasti yang dimaksud oleh si peri rumah adalah Renjun dan yang lainnya. Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab sebab aku memang tidak tahu jawabannya. Aku masih belum bisa dikategorikan teman Jeno walaupun ikut acara mereka malam ini.


Jeno menyelamatkanku dari menjawab pertanyaan si peri rumah. Ada setumpuk panekuk dan kue-kue lain dalam bungkusan di masing-masing tangannya. Beberapa peri rumah menyodorkan bungkusan makanan juga padaku.


"Terima kasih banyak ya," ujar Jeno masih ramah.


Para peri rumah membungkuk dan melambai gembira. "Sampai jumpa lagi, Sir."


Kami keluar dari dapur dengan aku yang masih bengong menyaksikan semuanya. Aku mengikuti Jeno yang menyerahkan satu bungkusan di tangannya padaku supaya dia bisa mengeluarkan perkamen lusuh yang diberikan Jaemin.


"Itu apa?" tanyaku tak bisa menahan rasa penasaran setelah sekilas melihat seperti denah kastil dengan titik-titik kecil dan berbagai label.


"Warisan turun-temurun," jawab Jeno singkat membuatku mendengus.


Dasar pelit!


"Kau ini tadi sok baik ya pada para peri rumah," celetukku terpancing emosi gara-gara Jeno tidak mau berbagi rahasia si perkamen lusuh padaku. "Memanipulasi mereka supaya memberi kalian makanan."


Jeno mendelik. "Apa memang hobimu berpikir buruk tentangku? Atau jangan-jangan kau juga sering menuduh McMillans atau Goldstein yang aneh-aneh?"


Cih, dia bawa-bawa nama mantanku lagi. "Aku cuma menebak," ujarku mengangkat bahu walaupun masih emosi. "Ya kalau salah, silahkan klarifikasi."


Tapi Jeno tidak mengatakan apa-apa yang entah kenapa justru membuatku semakin sebal.


Kami melanjutkan perjalanan dalam diam dan sudah nyaris mendekati lorong lantai tujuh di mana kamar kebutuhan biasa muncul saat tiba-tiba Jeno menarikku masuk ke dalam lemari sapu terdekat.


"APA—"


"Ssh, diam, Bodoh!" Jeno menutup mulutku dengan telapak tangan. "Flich cuma beberapa langkah dari kita."


Aku langsung membeku dan menahan napas. Mataku memelototi telapak tangan Jeno yang masih menutupi mulutku. Jeno buru-buru melepaskan tangannya dengan tampang canggung. Ugh, lemari sapu ini sempit sekali. Aku jadi ikut canggung mengingat ini jarak terdekat kami setelah insiden nyaris berciuman gara-gara Kiss Cam Haechan tempo hari.


Kami sama-sama menempelkan telinga pada daun pintu dengan waspada—samar-samar mendengar suara langkah dan kucing yang mengeong. Siapa lagi kalau bukan Mrs. Norris. Setelah beberapa menit berlalu, Jeno kembali mengecek perkamen lusuh yang entah untuk apa tujuannya dan suasana sepertinya sudah aman.


Tapi aku tahu ada yang salah ketika melihat ekspresi wajah Jeno mendadak panik saat dia berusaha membuka pintu lemari sapu.


"Kenapa?"


Jeno tampak seperti nyaris dilindas Hippogriff saat menjawab. "Terkunci."


Astaga! Malam ini tidak bisa jadi lebih aneh lagi.


     ⏪🔛⏩         


an. miss me?

-Ki

Dear DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang