Bagian 43 : Pergi

868 86 100
                                        

B a g i a n 43 : Pergi.

dan pada akhirnya, setiap pertemuan akan selalu berakhir dengan perpisahan yang menyakitkan.

***

Tama terdiam, "Inikah alasan Papa maksa aku untuk masuk ke kedokteran?"

Ana mengangguk pelan, "Papa punya alasan di balik itu semua, awalnya Mama juga menentang tuntutan Papa, tapi dengan keadaan seperti ini Mama tidak bisa menghentikannya."

"Selama ini Papa pulang malam atau keluar kota bukan soal pekerjaan, tapi pengobatan, Nak."

"Kenapa di sembunyikan?"

"Awalnya Mama dan Papa berencana untuk membiarkan kamu tau kebenarannya sendiri, ingat saat kita menginap di Bandung? Papa tidak mengurus pekerjaan saat itu, karena tujuannya memang bukan untuk pekerjaan, tetapi mengunjungi salah satu klinik milik teman Papa yang mempunyai obat herbal untuk membantu pengobatan Papa."

"Rencana awalnya kami ingin menjelaskan sekaligus mengajak kamu ikut Papa berobat, namun karena kedatangan teman-teman kamu, Papa membatalkan rencana tersebut."

"Kamu mau tau alasannya?"

Tama mengangguk, ia memalingkan wajahnya, karena hatinya sudah tidak sanggup lagi melihat air mata terus mengalir dan membasahi pipi Ibundanya.

"Papa nggak mau merusak kebahagiaan kamu, Papa nggak mau masa mudamu terbebani dengan penyakit orang tua-nya."

Tama terduduk di kursi rumah sakit, ia meraih kedua tangan Ana, "Jangan nangis, Mah. Papa pasti sedih liat wanita yang dia cinta sedih."

Ana menghambur di pelukan Tama, suara isak tangis memenuhi lorong rumah sakit pada malam itu.

"Jenguk dulu Papamu, Nak."

Tama mengangguk, "Nggi, jagain Mama sebentar ya."

"Iya, aku jagain."

Setelah mendapatkan jawaban dari Anggi, barulah Tama beranjak masuk ke dalam ruangan dimana pahlawannya tengah berbaring lemah dengan berbagai macam alat yang menempel di tubuhnya.

Hening, tak ada suara apapun selain bunyi dari mesin yang ada di ruangan itu.

"Tama harus apa, Pah?" lirihnya.

"Semuanya akan Tama lakukan, asal Papa bangun dulu ya?"

"Mama nunggu di luar sana, Tama tau bagaimana cinta-nya Papa sama Mama, setidaknya bertahan demi Mama ya, Pah?"

"Jangan demi anakmu yang bodoh ini, karena dia nggak pantas mendapatkannya," monolog Tama sembari menatap kedua bola mata yang masih setia terpejam itu.

"Seharusnya Tama menuruti apa ucapan Papa kemarin, Tama menyesal."

"Tapi jangan hukum Tama seperti ini, Pah."

Suara dari sebuah mesin yang tak asing di telinganya berhasil membuat perhatian Tama teralihkan, seketika lututnya melemas saat melihat monitor itu menunjukkan sebuah garis lurus.

Rahasia HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang