Jenguk

49 38 59
                                    

"Enaknya Nazli dibawain apa ya?" gumam Kazeo. Sore ini Kazeo ingin menjenguk Nazli tapi sebelum kesan Kazeo ingin memberikan barangkali buah-buahan atau martabak untuk buah tangan.

"Napa Kaz?" Ada seseorang menepuk pundak Kazeo dari belakang. Kazeo langsung menoleh kebelakang, ternyata hanya Navi.

"Kenapa kau menghela nafas kecewa seperti itu?" gerutu Navi.

"Nggak kok," jawab ku singkat. "Oh ya Nav, bisa tolongin nggak buat nyari buah tangan untuk orang sakit."

"Kasih aja bunga tujuh rupa."

"Apa kamu bilang?"

"Ingat Kazeo yang ada disini cuma sementara, kelak Nazli pun akan kembali kepangkuan bumi." Sejenak Kazeo ingin marah dan menampol Navi. Tapi niat itu dia urungkan setelah mendengar sajak puitis dari Navi.

"Wahahaha! Navi sejak kapan kamu jadi penyair, sepertinya kamu kebanyakan nonton acara Mario Tegang." Kazeo tertawa sangat kencang sampai orang-orang yang lalu lalang berhenti dan menoleh sebentar ke Kazeo.

"Kazeo stop! Bikin malu," seru Navi yang langsung membekap mulut Kazeo. "Maafkan teman saya ini, dia memang begini kalau efek obatnya sudah habis."

Orang yang tadinya berhenti langsung bergidik ngeri mendengar cerita Navi yang tentu sudah pasti bohong.

"Gilak enak aja dikatain gila!" Kazeo sudah melepaskan bekapan Navi dan sedikit meludah. "Gila tangan lo bau banget kayak terasi basi habis ngapain sih?"

"Maaf tangan yang tadi habis buat cebok kayaknya dan lupa cuci tangan," jawab Navi dengan wajah tanpa dosa.

"Gila nih bocah, kalau bukan dijalan udah aku banting kamu." Desis Kazeo kesal.

"Iya, aku minta maaf. Tapi katanya kau tadi mau nyari buah tangan buat Nazli. Emang dah dapet?" Mampus. Hampir saja Kazeo lupa kalau Navi tidak mengatakan itu. Keributan tadi membuat Kazeo lupa sejenak apa niatnya tadi.

"Kalau aku boleh kasih saran, kamu beliin apa aja, kayak martabak, buah-buahan. Apapun itu terserah kamu, tapi yang dimau Nazli itu elu," Navi menepuk pundak Kazeo. "Cuman kamu yang ditunggu Nazli. Walaupun kayaknya Nazli bilang 'jangan jenguk aku' itu tuh cuma gengsinya doang. Yang asli dia tuh kangen banget sama kamu."

Kazeo hanya bisa menganga terkejut. Dia tidak menyangka Navi bisa jadi pujangga yang handal. Padahal statusnya sangat menyedihkan, dari 10 wanita yang dia tembak dia dapat 11 penolakan.

"Makasih Nav, tapi sebelum itu aku boleh pinjam gocap. Uangku habis buat beli kado dan bensin motor udah satu garis."

Urat wajah Navi langsung kencang. Setelah dikasih wejangan bisa-bisanya Kazeo membalasnya dengan meminjam uang. Dengan terpaksa karena Kazeo merengek-rengek Navi akhirnya mengeluarkan dompetnya. Di dalam dompet Navi penuh dengan berbagai kartu dari kartu pelajar, KTP, SIM, kartu kredit tanpa limit.

"Nih gocap," Navi menyodorkan selembar uang 100 ribu.

"Ini kagak kebanyakan Nav?" tanya Kazeo tidak percaya.

"Udah ambil aja, atau kamu nggak mau?" Kazeo langsung menyambar cepat uang seratus ribu itu.

"Iya mau dong gila aja nggak mau."

Selepas membeli banyak buah tangan seperti, buah, martabak, beberapa parasetamol. Kazeo mantap menuju ke rumah Nazli setelah diberitahu alamatnya oleh Eri. Nazli memang banyak rumah, entah ada berapa rumahnya soalnya Kazeo sering kerumah Nazli dan banyak.

"Gila kayaknya aku berlebihan deh bawa bingkisan. Ah biarin deh yang penting Nazli suka." Monolog Kazeo.

Perjalanan dari pusat kota menuju rumah Nazli memakan waktu 30 menit. "Gila jauh bet rumahnya si Nazli. Pantes aja dia sering berangkat pagi."

Akhirnya Kazeo sampai depan gerbang perumahan. "Perumahan Tarakarta?" Kazeo menggaruk kepalanya. Bahkan siswa jenius seperti Kazeo bisa mengernyit dahi ketika membaca nama perumahan Nazli yang cukup aneh.

"Maaf mau ketemu siapa?" Satpam perumahan menghadang Kazeo.

"Saya mau ke rumah teman saya pak," jawab Kazeo sekenanya.

"Siapa nama temannya?"

"Nazli pak."

"Apa keperluannya?"

"Saya mau jenguk pak, dia sedang sakit."

"Baik bisa ditinggal kartu pelajarnya untuk keamanan, maaf ini sudah sop saya." Kazeo mengangguk paham. Dia meninggalkan kartu pelajarnya dan langsung dipersilahkan masuk ke area perumahan. Tidak seperti namanya yang aneh perumahan disini sangat megah dan mewah.

Rata-rata rumahnya memiliki tiga lantai dan punya berbagai kendaraan, anak kecil lalu-lalang bermain, ada yang bermain sepeda, bermain sepatu roda, sebagian bermain bola. Pandangan yang sangat langka mengingat banyak anak sekarang lebih suka menatap gadget daripada berinteraksi dengan dunia luar.

Akhirnya setelah berkeliling perumahan Kazeo sampai di depan rumah Nazli. "Rumah Nomer 77." Kazeo memastikan alamat pemberian Eri dengan rumah didepannya dan cocok. Kazeo menekan bel rumah, satu kali tekan tidak ada respon, pencet kedua kali masih sama, hingga akhirnya setelah pencetan yang ketiga ada tukang kebun yang berjalan agak terburu-buru membukakan pintu gerbang Nazli yang sangat besar. Saking besarnya kalau mau manjat harus memakai peralatan mendaki lengkap.

"Mari pak saya bantu." Kazeo menawarkan diri membantu tukang kebun tersebut karena sepertinya kesusahan. Wajar saja dengan tubuh setua itu mana mungin beliau kuat mendorong gerbang sebesar itu.

"Nggak papa nak, bapak kuat," tolak bapak itu mendorong Kazeo lembut.

"Nggak Pak saya maksa," Kazeo tidak mau kalah. Bukannya membuka gerbang, Kazeo dengan tukang kebun tadi malah saling ingin membuka gerbang.

"Ayah ngapain sih berisik dipagar!" seru seseorang. Kazeo sepertinya hafal intonasi suara tersebut, dan siapa yang dipanggil Ayah tadi? Tukang kebun ini?

"Ayah! Kan Nazli udah bilangin berkali-kali jangan kerja yang berat." Nazli menyeka keringat bapak tua tersebut. Jadi Ayah Nazli tukang kebun?

"Nggak papa nak, Ayah cuma pengen olahraga aja," jawabnya lembut. "Oh ya kamu kedatangan tamu tuh."

"Siapa..... Kazeo!?"

NazliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang