Di tengah acara makan, gadis kecil yang duduk persis di sebelah Hanah terlihat sedang kesulitan. Dia ingin mengambil makanan dari piring yang diletakkan di tengah meja. Hanah memperhatikan kursi sebelah anak itu kosong, tidak ada kehadiran orang tuanya. Anak itu jadi berusaha mengambil makanannya sendiri.
"Biar aunty bantu ya," ucap Hanah sambil meraih piring di tengah meja itu lalu menggesernya dekat ke arah gadis kecil itu duduk. Kemudian dia menyendok makanan dari piring itu lalu meletakkannya di piring milik gadis kecil itu.
"Thank you, aunty," kata gadis kecil itu manis.
"Nama kamu siapa?" tanya Hanah dengan senyum lebar.
"Molita." Gadis kecil itu membalas senyum Hanah.
"Makan yang banyak ya, Molita," ujar Hanah sambil mengelus lembut puncak kepala anak itu.
Saat Hanah menoleh ke arah Sam, laki-laki itu membuka suara. "Molita yang akan menjadi salah satu pengapit pengantin saat kita menikah." Dia tersenyum ke arah gadis kecil itu. Gadis kecil itu sekali lagi tersenyum malu-malu memandang kedua calon pengantin tersebut.
Hanah sekali lagi mengelus ringan puncak kepala Molita. "Makasih ya sudah mau jadi pengapit aunty," ujarnya lembut. Molita menganggukkan kepalanya pelan.
Suasana di meja makan dipenuhi dengan obrolan. Sesudah makanan utama dihidangkan, Sam pun memperkenalkan Hanah sebagai calon istrinya di hadapan saudara-saudaranya. Dia menyampaikan harapannya agar semua bisa hadir dalam acara pernikahan. Undangan pernikahan sudah disebar sejak dua minggu lalu. Tim yang mengurus pernikahan juga sudah mengerjakan semuanya secara efisien.
Sesudah semua piring kotor disingkirkan, acara dilanjutkan dengan obrolan ringan. Simon duluan undur diri karena dia merasa lelah. Sementara itu, satu per satu saudara yang diundang mulai berpamitan juga. Akhirnya, yang tersisa di rumah itu hanya tinggal Sam dan Hanah.
Gadis itu sedikit memiringkan kepalanya. Bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka akan pulang sekarang? Namun, rupanya Sam menggandeng tangannya lalu mengajaknya masuk ke dalam rumah. Laki-laki itu menuntunnya melewati ruang keluarga dengan chandelier kristal di langit-langit, menaiki tangga, lalu berhenti di depan sebuah pintu bercat coklat tua.
"Kakek sudah menunggu di dalam," ucapnya pelan.
Hanah mengangguk singkat. Memang seharusnya mereka bertemu kakek dulu apalagi acara pernikahan sudah dekat. Bunyi jantungnya berdetak dua kali lebih cepat di rongga dada. Dia mengepalkan tangannya yang bebas dari genggaman Sam, mengumpulkan keberanian. Bagaimanapun, rasanya tetap gugup untuk bertemu keluarga dari pihak calon suaminya. Apalagi kalau yang ditemui adalah kerabat terdekatnya.
Sam mengawalinya dengan mengetuk pintu di hadapannya. Sesudah mendengar suara yang mempersilakannya masuk, dia membuka pintu itu perlahan. Wajah Simon yang tersenyum lembut menyapa mereka saat pintu coklat tua itu terbuka.
"Kalian sudah kenyang, 'kan?" tanya sang kakek berbasa-basi.
"Sudah," jawab Hanah mewakili keduanya.
"Sam." Panggilan bernada serius itu membuat Hanah menoleh ke arah laki-laki yang berdiri di sampingnya. Wajah Sam terlihat datar, di sisi lain, Hanah tidak bisa mengontrol detak jantungnya yang tidak karuan.
"Bagaimana persiapan pernikahan kalian?"
"Semua sudah siap. Tinggal menunggu hari H saja, kek." Sam menjawab. Tangan kanannya masih tenang menggenggam telapak tangan kiri Hanah.
"Bagus, ini adalah hari pernikahan calon penerus perusahaan. Jadi, kakek berharap tidak ada satu hal pun yang berakhir mencoreng nama Grup Handoko." Kalimat itu terkesan keras. Namun tidak asing di telinga Hanah. Apalagi dia sudah mengenal Sam sejak masih kecil. Dia yang paling tahu seberapa keras kakek Sam mendidik laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Behind Marriage (Completed)
RomanceBagi Sam, Hanah adalah alat yang ia perlukan untuk membuat kakek memilihnya menjadi penerus bisnis keluarga. "Buktikan pada kakek bahwa kamu bisa membentuk sebuah keluarga. Dengan begitu, kakek akan membuat kamu menjadi penerus satu-satunya bisnis k...